kisah nabi muhammad SAW, baiklah
kali ini kita akan membahas mengenai kisah Nabi Muhammad SAW yang kita
idolakan. sampai lah kita ke Nabi kita, idola kita Rasulullah SAW.
marilah kita sering2 bersalawat kepada baginda, agar kita mendapatkan
syafa'atnya.
dalam sebuah hadis dikatakan umat yg paling
sombong adalah umat yang apabila diajak untuk berselawat dia acuh.
nah ini mudah mudahan bermanfaat untuk
sodara semua.
Ketika cahaya tauhid padam di muka bumi,
maka kegelapan yang tebal hampir saja menyelimuti akal. Di sana tidak
tersisa orang-orang yang bertauhid kecuali sedikit dari orang-orang yang
masih mempertahankan nilai-nilai ajaran tauhid. Maka Allah SWT
berkehendak dengan rahmat-Nya yang mulia untuk mengutus seorang rasul
yang membawa ajaran langit untuk mengakhiri penderitaan di tengah-tengah
kehidupan. Dan ketika malam mencekam, datanglah matahari para nabi.
Kedatangan Nabi tersebut sebagai bukti terkabulnya doa Nabi Ibrahim as
kekasih Allah SWT, dan sebagai bukti kebenaran berita gembira yang
disampaikan oleh Nabi Isa as.
Allah SWT menyampaikan salawatnya kepada
Nabi itu, sebagai bentuk rahmat dan keberkahan. Para malaikat pun
menyampaikan salawat kepadanya sebagai bentuk pujian dan permintaan
ampunan, sedangkan orang-orang mukmin bersalawat kepadanya sebagai
bentuk penghormatan. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Allah dan
malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya." (QS. al-Azhab: 56)
Sebelumnya Allah SWT mengutus para nabi-Nya
sebagai rahmat kepada kaum dan zaman mereka saja, namun Allah SWT
mengutus beliau saw sebagai rahmat bagi alam semesta. Beliau saw datang
dengan membawa rahmat yang mutlak untuk kaum di zamannya dan untuk
seluruh zaman. Allah SWT berfirman, "Dan aku tidak mengutusmu kecuali
sebagai rahmat bagi alam semesta."
Hakikat dakwah para nabi sebelumnya adalah
menyebarkan Islam, begitu juga ajaran yang dibawa oleh Nabi yang
terakhir adalah Islam. Beliau saw adalah Muhammad bin Abdillah bin Abdul
Muthalib, anak seorang wanita Quraisy. Beliau saw adalah pemimpin
anak-anak Nabi Adam as. Beliau saw adalah hamba Allah SWT dan Rasul-Nya,
serta rahmat Allah SWT yang dihadiahkan kepada umat manusia.
Beliau saw lahir di tanah Arab. Ketika itu
malam gelap, tiba-tiba Abdul Muthalib membayangkan bahwa matahari telah
terbit, lalu ia bangun dan ternyata mendapati dirinya di pertengahan
malam, keheningan yang luar biasa menyelimuti gurun yang terbentang. Ia
menuju pintu kemah, lalu menyaksikan bintang-bintang bersinar di langit,
dan dunia tampak di selimuti dengan malam. Ia kembali menutup pintu
kemah dan tidur. Belum lama ia dikuasai oleh rasa kantuk yang amat
sangat, sehingga ia kembali bermimpi untuk kedua kalinya. Segala
sesuatunya tampak jela s kali ini, Sesungguhnya sesuatu yang besar
memerintahnya untuk melaksanakan perintah yang sangat penting, "Galilah
zamzam!" Dalam mimpinya Abdul Muthalib bertanya: "Apakah itu zamzam?"
Kemudian untuk kedua kalinya perintah itu mengatakan bahwa ia
diperintahkan untuk menggali zamzam. Belum lama Abdul Muthalib melihat
sesuatu yang bersembunyi itu, sehingga ia berdiri di tempat tidurnya dan
hatinya berdebar dengan keras. Abdul Muthalib bangkit, lalu ia membuka
pintu kemah kemudian pergi ke gurun yang luas. Apakah arti zamzam?
Tiba-tiba pikirannya dipenuhi dengan cahaya yang datang dari jauh, bahwa
pasti zamzam adalah sebuah sumur, tetapi apa yang diinginkan oleh suara
yang datang dalam tidur itu agar ia menggali sumur, di sana tidak ada
jawaban selain satu jawaban dari pertanyaan ini, yaitu agar orang-orang
yang berhaji dan berkeliling di sekitar Ka'bah dapat meminumnya. Tetapi
apa nilai dari sumur itu sendiri, bukankah di sana terdapat banyak sumur
yang dapat diminum oleh orang-orang yang berhaji.
Abdul Muthalib duduk di tengah-tengah pasir
gurun pada pertengahan malam, ia memikirkan bintang-bintang sembari
merenungkan cerita-cerita kuno yang mengatakan tentang sumur yang
memancar darinya air sebagai akibat dari pukulan kaki Nabi Ismail as, di
sana juga ada cerita yang mengatakan bahwa sumur itu telah binasa
sesuai dengan perjalanan zaman.
Matahari terbit di atas gurun Jazirah Arab,
Abdul Muthalib keluar menemui orang-orang, dan menceritakan kepada
mereka bahwa ia akan menggali sebuah sumur di tempat tertentu, ia
menunjukkan ke tempat yang di situ ia diberitahu oleh suara yang ada
dalam mimpinya. Orang-orang Quraisy menolaknya, Sesungguhnya tempat yang
diisyaratkan oleh Abdul Muthalib terletak di antara dua berhala dari
berhala-berhala yang biasa disembah oleh masyarakat setempat, yaitu di
antara berhala yang bernama Ashaf dan NAllah. Abdul Muthalib merasa
bahwa usahanya sia-sia untuk meyakinkan kaumnya agar mengizinkannya
untuk menggali sumur. Mereka mengetahui bahwa Abdul Muthalib tidak
mempunyai sesuatu selain hanya seorang anak. Bahwasanya ia tidak
memiliki anak-anak yang dapat menolong dan memperkuatnya serta
melaksanakan keinginan-keinginannya.
Pada saat itu di kawasan negeri Arab
dipenuhi dengan kabilah-kabilah yang terjalin suatu ikatan fanatisme
atau kesukuan yang kuat dan usaha untuk melindungi keluarga yang sangat
menonjol. Akhirnya Abdul Muthalib pergi dalam keadaan sedih, lalu ia
berdiri di hadapan Ka'bah dan mengungkapkan suatu nazar kepada Allah
SWT. Ia berkata: "Jika aku mendapat sepuluh anak laki-laki, dan mereka
menginjak usia dewasa, sehingga mereka mampu melindungiku saat aku
menggali sumur Zamzam, maka aku akan menyembelih salah seorang dari
mereka di sisi Ka'bah sebagai bentuk korban."
Pintu langit pun terbuka untuk doanya.
Belum sampai berlangsung satu tahun, istrinya melahirkan anaknya yang
kedua dan setiap tahun ia melahirkan anak laki-laki sampai pada tahun
yang kesembilan, sehingga Abdul Muthalib mempunyai sepuluh anak
laki-laki. Kemudian berlalulah zaman dan anak-anak Abdul Muthalib
menjadi besar.
Abdul Muthalib akhirnya menjadi seseorang
yang memiliki kemampuan. Kemudian Abdul Muthalib berusaha melakukan
rencananya yang diisyaratkan dalam mimpinya itu, yaitu ia bersiap-siap
untuk mengorbankan salah satu anaknya sebagai bentuk pelaksanaannya dari
nazarnya. Maka dilakukanlah undian atas sepuluh anaknya, lalu keluarlah
nama anaknya yang paling kecil yaitu Abdullah. Ketika nama anak itu
keluar dalam undian, maka orang-orang yang ada disekitarnya berusaha
memberontak, mereka mengatakan bahwa mereka tidak akan membiarkan
Abdullah disembelih.
Abdullah saat itu terkenal sebagai
seseorang yang bersih dikawasan Arab, ia telah dapat menarik simpati
masyarakat di sekitarnya. Ia tidak pernah menyakiti seseorang pun.
Bahkan ia tidak pernah meninggikan suaranya lebih dari orang lain.
Senyuman khas Abdullah terkenal sebagai senyuman yang paling lembut di
kawasan Jazirah Arab. Muatan ruhaninya demikian jernih, dan hatinya yang
mulia menyerupai sebuah kebun di tengah-tengah gurun hati-hati yang
keras, oleh karena itu semua manusia datang kepadanya dan menentang
usaha penyembelihannya. Para pembesar Quraisy berkata, "Lebih baik kami
menyembelih anak-anak kami daripada ia harus disembelih, dan menjadikan
anak-anak kami sebagai tebusan baginya. Kami tidak akan menemukan
seseorang pun yang lebih baik dari dia seandainya kami menyembelihnya,
pertimbangkanlah kembali masalah itu, dan biarkan kami bertanya kepada
dukun."
Abdul Muthalib tampak tidak mampu
menghadapi tekanan ini, lalu ia mempertimbangkan kembali apa yang telah
ditetapkannya. Kemudian mereka mendatangi seorang dukun. Si dukun
berkata: "Berapakah taruhan yang kalian miliki?" Mereka menjawab:
"Sepuluh ekor unta." Dukun itu berkata: "Datangkanlah sepuluh unta, lalu
lakukanlah kembali undian atasnya dan atas nama Abdullah, jika undian
datang padanya, maka tambahlah sepuluh ekor unta lagi, lalu ulangilah
terus undian tersebut, demikian hingga tidak keluar lagi nama Abdullah."
Kemudian dilakukanlah undian atas nama
Abdullah dan atas sepuluh ekor unta yang besar. Undian itu pun
mengeluarkan terus nama Abdullah, hingga Abdul Muthalib menambah sepuluh
ekor unta lagi, kemudian lagi-lagi yang keluar nama Abdullah sehingga
mereka pun menambah sepuluh ekor unta lagi sampai jumlah unta itu telah
mencapai seratus ekor unta. Setelah itu, datanglah nama unta tersebut.
Maka saat itu, masyarakat demikian gembiranya sehingga berlinangan air
mata, kegembiraan dari mereka karena melihat Abdullah berhasil
diselamatkan. Kemudian disembelihlah seratus ekor unta di sisi Ka'bah,
dan mereka membiarkannya di situ sehingga korban itu tidak disentuh oleh
seseorang pun dan juga disentuh oleh binatang-binatang buas.
Abdul Muthalib sangat gembira atas
keselamatan anaknya, Abdullah. Lalu ia menetapkan untuk menikahkannya
dengan gadis terbaik di Jazirah Arab, kemudian ia keluar dengannya pada
suatu hari dari Ka'bah ke rumah Wahab, dan di sana ia meminang untuknya
Aminah binti Wahab. Kemudian Aminah binti Wahab menikah dengan Abdullah
bin Abdul Muthalib, seorang pemuda yang paling mulia dan paling dicintai
oleh orang-orang Quraisy.
Dinyalakanlah api-api di gunung-gunung
Mekah, agar para musafir dan para tamu mengetahui tempat diadakannya
acara tersebut, yaitu acara pernikahan antara Abdullah dan Aminah. Lalu
disembelihlah hewan-hewan korban, dan manusia dari kalangan orang-orang
fakir bahkan binatang-binatang buas dan burung makan darinya. Abdullah
tinggal bersama istrinya dua bulan di rumah pernikahan, hingga suatu
hari ada kabar bahwa kafilah akan berangkat, lalu Abdullah pun mengikuti
kafilah tersebut dan melakukan perjalanan bersama kafilah perdagangan
Quraisy menuju Syam, itu adalah kesempatan terakhir yang diperoleh
Aminah binti Wahab bersamanya. Wajah Abdullah yang mulai tampak
berseri-seri mengucapkan selamat tinggal kepada Aminah, lalu setelah itu
bayang-bayang wajahnya tersembunyi bersama kafilah dan rnereka pun
hilang. Aminah tidak mengetahui bahwa itu adalah kesempatan terakhirnya
setelah dua bulan dari perkawinannya. Abdullah mengunjungi
paman-pamannya dari kabilah bani Najar di Madinah, dan di sana ia
meletakkan jasadnya di muka bumi, ia meninggal dunia.
Abdullah bin Abdul Muthalib kini telah
meninggal. Saat itu ia berusia dua puluh lima tahun. Kabar kematiannya
tiba-tiba tersebar dan sangat memilukan hati orang-orang yang
mendengarnya, sehingga kabar itu sampai ke istrinya. Aminah tampak
menangis tersedu-sedu dan ia tampak menyampaikan pertanyaan-pertanyaan
pada dirinya dan tidak mengetahui jawabannya, mengapa Allah SWT
menebusnya dengan seratus unta jika kemudian Dia menetapkan kematian
baginya.
Tidak lama kemudian, lalu bergeraklah
dirahimnya janin dengan gerakan yang sedikit, ia tampak mulai mengetahui
bahwa ia sedang hamil. Aminah menangis dua kali, pertama ia menangis
untuk dirinya sendiri dan kali ini ia menangis untuk anak yang ditinggal
mati ayahnya sebelum ia sempat dilahirkan. Aminah tidak pernah
mengetahui sebelumnya bahwa janin yang dikandungnya akan menjadi anak
yatim, ayahnya meninggal saat ia dilahirkan.
Anak yatim ini harus menanggung beban
anak-anak yatim dan orang-orang fakir serta orang-orang yang sedih di
muka bumi. Ia akan menjadi Nabi yang terakhir dan rasul-Nya kepada
manusia. Ia akan menjadi rahmat yang dihadiahkan kepada manusia dan
tidak akan mengetahui makna rahmat kecuali orang yang merasakan
penderitaan dan kepahitan. Inilah anak kecil yang sebelum dilahirkan
telah menelan kesedihan. Dan berlalulah hari demi hari, lalu hilanglah
tangisan penderitaan dan mata Aminah pun telah mengering, namun
kesedihannya tampak menyerupai sebuah pohon yang turnbuh bersama
kehausan.
Kemudian kesedihannya hari demi hari
semakin ia rasakan tetapi kesedihannya itu mulai tidak tampak ketika ia
mendapatkan bahwa janin yang dikandungnya tidaklah memberatkannya,
sebaliknya ia merasakan betapa ringannya janin yang dikandungnya
bagaikan merpati yang berkeliling di seputar Ka'bah, dan seandainya
kesedihannya yang selalu mengitarinya, maka tidak ada wanita yang lebih
bahagia darinya dengan kehamilan yang ringan ini. Janin itu adalah
manusia yang mulia di sisi Tuhan, kemudian semakin dekatlah hari
kelahirannya. Sementara itu, pasukan Abrahahh mendekati Mekah.
Abrahahh adalah seorang penguasa Yaman,
yaitu pada saat Yaman tunduk kepada Habasyah setelah penguasa Persia
diusir. Di Yaman ia membangun suatu gereja yang menunjukkan bangunan
yang menakjubkan. Abrahahh membangunnya dengan niat agar orang-orang
Arab berpaling dari Baitul Haram di Mekah. Ia melihat betapa orang-orang
Yaman tertarik dengan rumah tersebut. Dan ketika ia tidak melihat
gereja yang dibangunnya memiliki daya tarik seperti itu dan tidak mampu
menarik hati orang-orang Arab, maka ia berkeinginan kuat untuk
menghancurkan Ka'bah, sehingga orang-orang tidak menuju ke Ka'bah lagi
melainkan ke gerejanya. Demikianlah akhirnya ia menyiapkan pasukan yang
besar yang dipenuhi dengan berbagai senjata, kemudian pasukan itu menuju
Ka'bah.
Pasukan Abrahahh terdiri dari kelompok
gajah yang besar yang digunakannya untuk menghancurkan Ka'bah.
Gajah-gajah itu bagaikan tank-tank yang kita gunakan saat ini.
Orang-orang Arab pun mendengar rencana tersebut. Memang orang-orang Arab
saat itu terkenal sebagai penyembah berhala, meskipun demikian mereka
sangat memberikan penghargaan dan penghormatan terhadap Ka'bah, karena
mereka meyakini bahwa mereka adalah anak-anak Nabi Ibrahim as dan Nabi
Ismail as pemelihara Ka'bah.
Perjalanan pasukan tiba-tiba dihadang oleh
seorang lelaki yang mulia dari penduduk Yaman yang bernama Dunaher. Ia
mengajak kaumnya dan dari kalangan orang-orang Arab untuk memerangi
Abrahahh, sehingga ada beberapa orang yang mengikutinya. Abrahahh
berhadapan dengan tentara tersebut tetapi pasukan yang sedikit itu dapat
dengan mudah dipatahkan oleh pasukan kafir yang besar itu. Kemudian
Dunaher pun kalah dan menjadi tawanan Abrahahh. Pasukan Abrahahh
tersebut juga sempat ditentang oleh Nufail bin Hubaid al-Aslami, namun
Abrahahh pun dapat mengalahkan mereka dan berhasil menawan Nufail.
Kemudian ketika Abrahahh melewati kota
Taif, menghadaplah kepadanya beberapa orang tokoh setempat, dan mereka
tampak gemetar ketakutan dan berkata kepadanya bahwa sesungguhnya
'rumah' yang ditujunya tidak berada di tempat mereka, tetapi berada di
Mekah. Hal itu mereka sampaikan dengan maksud untuk memalingkannya dari
rumah berhala mereka, di mana mereka membangun di dalamnya berhala yang
bernama Latha kemudian mereka mengutus seseorang yang akan menunjukkan
kepada Abrahahh letak Ka'bah. Ketika Abrahahh berada di antara Taif dan
Mekah, ia mengutus seorang pemimpin pasukannya sehingga ia melihat
keadaan Mekah. Di sana ia merampas banyak harta dari kaum Quraisy dan
selain mereka, dan di antara yang dirampasnya adalah dua ratus unta
milik Abdul Muthalib bin Hasyim. Saat itu Abdul Muthalib adalah salah
seorang pembesar Quraisy dan pemimpin mereka, serta pengawas sumur
Zamzam.
Kedatangan utusan Abrahahh di Mekah telah
menimbulkan gejolak pada kabilah-kabilah. Akhirnya kaum Quraisy
bergerak, begitu juga kaum Khananah. Kemudian mereka mengetahui bahwa
mereka tidak memiliki kemampuan untuk melawan Abrahahh, sehingga mereka
membiarkannya, lalu tersebarlah di Jazirah Arab berita tentang datangnya
pasukan yang kuat yang sulit untuk ditandingi. Dalam surat yang dibawa
oleh utusannya itu, Abrahahh menyampaikan bahwa ia tidak datang untuk
memerangi mereka, namun ia datang hanya untuk menghancurkan Ka'bah. Jika
mereka tidak menentangnya, maka darah mereka tidak akan ditumpahkan.
Lalu utusan itu menemui Abdul Muthalib, ia menceritakan tentang
keinginan Abrahahh. Abdul Muthalib berkata: "Kami tidak ingin
memeranginya karena kami tidak memiliki kekuatan. Ka'bah adalah rumah
Allah SWT yang mulia dan suci, dan rumah kekasih-Nya Ibrahim. Jika Ia
mencegahnya, maka itu adalah rumah-Nya dan tempat suci-Nya, namun jika
Ia membiarkannya, maka demi Allah kami tidak memiliki kekuatan untuk
mempertahankannya." Kemudianutusan itu pergi bersama Abdul Mutihalib
menuju Abrahahh.
Abdul Muthalib adalah seseorang yang sangat
terpandang dan sangat mulia. Ia memiliki kewibawaan dan kehormatan yang
mengagumkan. Ketika Abrahahh melihatnya, Abrahahh menampakkan
penghormatan kepadanya. Abrahahh memuliakannya dan mendudukannya di
bawahnya, ia tidak suka bahwa ia duduk bersamanya di kursi kekuasaannya.
Lalu Abrahahh turun dari kursinya dan duduk di atas sebuah permadani
dan mendudukkan Abdul Muthalib di sisinya. Kemudian ia berkata kepada
penerjemahnya: "Katakan padanya apa kebutuhannya?" Abdul Muthalib
berkata: "Kebutuhanku adalah agar Abrahahh mengembalikan dua ratus ekor
unta yang diambilnya dariku" Ketika Abdul Muthalib mengatakan demikian,
wajah Abrahahh berubah, lalu ia berkata kepada penerjemahnya: "Katakan
padanya sungguh aku merasa kagum ketika melihatnya, kemudian aku
merasakan kehati-hatian saat berbicara dengannya, apakah engkau
berbicara denganku tentang dua ratus ekor unta yang telah aku ambil,
lalu engkau membiarkan rumah yang merupakan simbol agamanya dan
kakek-kakeknya, yang aku datang untuk menghancurkannya dan dia tidak
menyinggungnya sama sekali" Abdul Muthalib menjawab: "Aku adalah pemilik
unta, sedangkan pemilik rumah itu adalah Tuhan yang melindunginya."
Abrahahh berkata: "Dia tidak akan mampu melindunginya dariku." Abdul
Muthalib menjawab: "Lihat saja nanti!"
Selesailah dialog antara Abdul Muthalib dan
Abrahahh. Abrahahh pun mengembalikan unta yang telah dirampasnya. Abdul
Muthalib pergi menemui orang-orang Quraisy dan menceritakan apa yang
dialaminya, dan ia memerintahkan mereka untuk meninggalkan Mekah dan
berlindung dibalik gua-gua di gunung. Akhirnya kota Mekah dikosongkan
oleh pemiliknya. Aminah binti Wahab keluar ke gunung-gunung di dekat
kota Mekah kemudian malaikat turun di bumi Jarzirah Arab.
Abdul Muthalib berdiri dan memegangi pintu
Ka'bah dan berdiri bersama dengan sekelompok orang-orang Quraisy, mereka
berdoa kepada Allah SWT dan meminta perlindungan-Nya, agar para
malaikat memerintahkan gajah-gajah tidak melangkahkan kakinya sehiginya dariku." Abdul
Muthalib menjawab: "Lihat saja nanti!"
Selesailah dialog antara Abdul Muthalib dan
Abrahahh. Abrahahh pun mengembalikan unta yang telah dirampasnya. Abdul
Muthalib pergi menemui orang-orang Quraisy dan menceritakan apa yang
dialaminya, dan ia memerintahkan mereka untuk meninggalkan Mekah dan
berlindung dibalik gua-gua di gunung. Akhirnya kota Mekah dikosongkan
oleh pemiliknya. Aminah binti Wahab keluar ke gunung-gunung di dekat
kota Mekah kemudian malaikat turun di bumi Jarzirah Arab.
Abdul Muthalib berdiri dan memegangi pintu
Ka'bah dan berdiri bersama dengan sekelompok orang-orang Quraisy, mereka
berdoa kepada Allah SWT dan meminta perlindungan-Nya, agar para
malaikat memerintahkan gajah-gajah tidak melangkahkan kakinya sehingga
gajah itu pun tetap di tempatnya dan menaati perintah para malaikat,
kemudian ga
ngga
gajah itu pun tetap di tempatnya dan menaati perintah para malaikat,
kemudian gajah-gajah itu menerima pukulan yang dahsyat namun gajah-gajah
itu tetap berdiam di tempatnya, gajah-gajah itu tampak gemetar dan
berteriak tetapi lagi-lagi gajah-gajah itu menolak untuk bergerak dan
tidak bergerak selangkah pun. Abrahahh bertanya: "Mengapa pasukan tidak
bergerak?" Kemudian dikatakan kepadanya bahwa gajah-gajah menolak untuk
bergerak. Abrahah mengangkat cemetinya. Dengan muka emosi, ia ingin
melihat apa yang sebenarnya terjadi dengan gajah-gajahnya.
Matahari saat itu bersinar dan ia duduk di
kemahnya. Ketika ia keluar, matahari bersembunyi di balik segerombolan
burung. Abrahah mengangkat pandangannya ke arah langit. Mula-mula ia
membayangkan bahwa ia melihat sekawanan awan yang hitam. Kemudian ia
mengamat-amati awan itu. Dan ternyata ia bukan awan biasa. Itu adalah
sekelompok burung yang menutupi cahaya matahari dan menyerupai awan yang
tebal. Burung ababil, burung yang banyak.
Gajah-gajah semakin berteriak dengan
kencang dan tampak ketakutan. Dan rasa takut itu kini menghinggapi
seluruh pasukan. Abrahah berteriak di tengah-tengah pasukannya agar
gajah diusahakan untuk maju secara paksa. Kemudian terbukalah salah satu
jendela dari jendela al-Jahim, dan burung-burung itu menghujani pasukan
dengan batu dari Sijil, yaitu batu yang sama yang pernah dihujankan
kepada kaum Nabi Luth. Batu itu menyerupai bom-bom atom yang digunakan
saat ini.
Jika Anda membaca buku-buku kuno, maka Anda
akan mengetahui bagaimana peristiwa yang menimpa pasukan Abrahah. Anda
akan membayangkan bahwa Anda berada di hadapan suatu kekuatan yang
menghancurkan yang tidak diketahui asal muasalnya. Dunia mengenali
sebagian darinya setelah empat belas abad dari peristiwa tersebut.
Buku-buku itu mengatakan bahwa pasukan itu dihancurkan dengan
penghancuran yang dahsyat.
Para tentara Abrahah kembali dalam keadaan
binasa di mana daging-daging dari tubuh mereka berceceran di jalan.
Abrahah pun mendapatkan luka dan mereka keluar dari tempat itu dalam
keadaan dagingnya terpisah satu persatu. Abrahah pun terbelah dadanya
dan mati. Kemudian jasad para pasukannya tersebar dan berceceran di
bumi, seperti tanaman yang dimakan oleh binatang. Setelah mendekati
setengah abad, turunlah suatu surah di Mekah yang menceritakan tentang
peristiwa itu:
"Apakah kamu tidak memperhatikan bagimana
Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara gajah? Bukankah Dia telah
menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka 'bah) itu sia-sia?
Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang
melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu
Dia menjadihan mereka seperti daun yang dimakan (ulat)." (QS. al-Fil:
1-5)
Pasukan gajah yang ingin
memporak-porandakan Mekah dikalahkan. Kemudian mereka dihancurkan dan
Tuhan pemilik Ka'bah berhasil melindungi rumah suci-Nya. Perlindungan
tersebut bukan sebagai penghormatan bagi orang yang tinggal di rumah itu
dan bukan sebagai bentuk pengkabulan doa kaum yang menyembah berhala
yang memenuhi tempat itu. Allah SWT sebagai Pelindung Ka'bah
memeliharanya karena adanya hikmah yang tinggi; Allah SWT menginginkan
sesuatu bagi rumah itu; Allah SWT ingin melindunginya agar tempat itu
menjadi tempat yang damai bagi manusia dan supaya tempat itu menjadi
pusat dari akidah yang baru dan menjadi tanah bebas yang aman, yang
tidak dikuasai oleh seseorang pun dari luar dan juga tidak didominasi
oleh pemerintahan asing yang akan membatasi dakwah. Yang demikian itu
karena di sana terdapat rumah dari rumah-rumah di Mekah yang lahir di
sana seorang anak di mana ibunya bernama Aminah binti Wahab dan ayahnya
adalah Abdullah, salah seorang tokoh Arab. Anak itu belum dilahirkan dan
belum dapat tugas kenabian dan ia belum memikul Islam di atas pundaknya
dan belum menjadi rahmat bagi alam semesta. Kemudian datanglah Abrahah
yang ingin menghancurkan semua ini tanpa ia mengetahui semua rahasia
ini.
Tragedi yang menimpa Abrahah adalah karena
bahwa ia berusaha menentang kehendak Ilahi sehingga kehendak Ilahi itu
menghancurkannya dengan mukjizat yang mengagumkan. Datanglah banyak
burung dengan membawa batu-batuan yang tidak didengar suaranya. Kemudian
burung-burung melemparkan batu-batu itu kepada Abrahah beserta
tentaranya. Semua ini berdasarkan rencana Ilahi terhadap rumah-Nya dan
agama-Nya serta nabi-Nya sebelum orang mengetahui bahwa Nabi Islam telah
bersiap-siap untuk meninggalkan tempat tidurnya di perut ibunya dan
mulai memasuki kehidupan yang keras di muka bumi.
Di tengah-tengah kegembiraan Mekah karena
keselamatan penghuninya dan selamatnya Ka'bah, Aminah binti Wahab
bermimpi: di tengah suatu malam ia menyaksikan dirinya berdiri sendirian
di tengah-tengah gurun, dan telah keluar dari dirinya suatu cahaya
besar yang menyinari timur dan barat dan terbentang hingga langit.
Aminah tiba-tiba terbangun dari tidurnya namun ia tidak mengetahui
tafsir dari mimpinya.
Berlalulah hari demi hari dari tahun gajah.
Dan pada waktu sahur dari malam Senin hari keduabelas dari bulan Rabiul
Awal, Aminah melahirkan seorang anak kecil yang yatim yang bernama
Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib, seorang cucu dari Ismail bin
Ibrahim bin Adam.
Sebelum ia dilahirkan, dunia mati karena
kehausan padanya. Kehausan dunia sangat besar kepada cinta, rahmat, dan
keadilan. Sekarang teiah berlalu 600 tahun dari kelahiran al-Masih dan
orang-orang Masehi telah menjauhi ajaran cinta, bahkan
keyakinan-keyakinan berhalaisme telah meresap kepada sebagian kelompok
mereka dan kejernihan ajaran tauhid telah ternodai. Sedangkan
orang-orang Yahudi telah meninggalkan wasiat-wasiat Musa dan mereka
kembali menyembah lembu yang terbuat dari emas. Dan setiap orang dari
mereka lebih memilih untuk memiliki lembu emas yang khusus. Demikianlah,
berhalaisme telah menyerang di bumi. Bumi dipenuhi oleh kegelapan. Akal
disingkirkan dan Tuhan diiupakan dan mereka menyerahkan diri mereka
kepada pembohong.
Ketika jantung dunia telah terkena
kekeringan, maka memancarlah dari timur suatu mata air keimanan yang
jernih yang menjadi puas dengannya separo dunia. Dan mukjizat besar
terjadi ketika mata air ini mengeluarkan air yang jernih dari jantung
gurun yang paling besar ketandusannya di dunia, yaitu gurun jazirah
Arab. Berkenaan dengan penggambaran masa tersebut, dalam hadis yang
mulia dikatakan: "Sesungguhnya Allah melihat penduduk bumi lalu Dia
murka kepada mereka, baik orang-orang Arab maupun orang-orang Ajam
kecuali sebagian kecil dari Ahlulkitab."
Di tenda yang kasar, lahirlah seorang anak
yatim yang kemudian bertanggung jawab untuk memberikan minum kepada
dunia yang haus pada cinta, keadilan, kebebasan, serta kebenaran.
Sementara itu, beberapa langkah dari tempat kelahirannya terdapat
berhala-berhala yang memenuhi Baitul 'Athiq dan sekitar Ka'bah yang
dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail agar menjadi rumah Allah SWT
dan Dia disembah di dalamnya dan manusia merasa tenteram di dalamnya. Di
rumah yang kuno ini—yang dibangun sebelumnya oleh Adam—dipenuhi
patung-patung tuhan yang terbuat dari batu dan kayu. Ini menunjukkan
betapa akal orang-orang Arab saat itu mengalami titik terendah.
Sementara itu nun jauh di sana, tepatnya di
Yatsrib atau Madinah dipenuhi oleh orang-orang Yahudi yang mereka
datang di sana karena melarikan diri dari penindasan orang-orang Romawi.
Mereka tinggal di situ bagaikan srigala-srigala di atas tanah yang
tersubur di mana mereka melakukan monopoli dalam perdagangan. Mereka
membagun kejayaan mereka dengan memanfaatkan orang-orang Arab dan
keheranan mereka terhadap diri mereka sendiri.
Para cendikiawan Yahudi memperdagangkan
segala sesuatu, dimulai dari emas sampai Taurat. Mereka menyembunyikan
kertas-kertas darinya dan menampakkan sebagiannya; mereka mengubah
kertas-kertas Taurat itu untuk memperkaya diri mereka. Pada saat
orang-orang Yahudi menyembah emas dan sangat lihai melakukan
persekongkolan, orang-orang Arab justru menyembah batu dan mereka pandai
berperang. Mereka juga lihai dalam membuat syair lalu menggantungkannya
di atas tirai-tirai Ka'bah. Orang-orang Arab hidup di bawah naungan
sistem kesukuan di mana kepala suku adalah pemimpin dan nilainya
sebanding dengan anak buahnya, dan kemampuan mereka dalam berperang. Dan
keutamaan seseorang dilihat dari asal muasalnya serta nilainya juga
dilihat dari kefanatikannya serta kebanggannya kepada nasab yang
merupakan kemuliannya, juga kefanatikannya terhadap berhala tertentu
yang merupakan agamanya. Jadi, segala bentuk kemuliaan dan kewibawaan
tidak terbentuk kecuali dalam ruang lingkup yang sempit dalam kabilah
atau kesukuan.
Sedangkan di tempat yang jauh dari Mekah,
Romawi menyerupai burung rajawali yang lemah, namun belum sampai
kehilangan kekuatannya. Orang-orang Romawi sangat menyanjung kekuatan.
Sedangkan di belahan timur dari utara negeri Arab, orang-orang Persia
menyembah api dan air. Api tetap menyala di tempat peribadatan mereka di
mana manusia rukuk untuknya. Dan di sana terdapat danau Sawah yang
dianggap suci oleh mereka.
Sementara itu, Kisra, raja kaum Persia
duduk di atas singgasananya dan memberikan keputusan terhadap manusia.
Keputusan Kisra selalu didengar dan dilaksanakan. Tidak ada seorang pun
yang berani menentangnya dan menolaknya. Orang-orang Persia berhasil
mengalahkan Romawi dan Yunani, sehingga mereka menjadi kekuatan yang
dahsyat di muka bumi. Meskipun mereka memiliki kekuatan yang sangat luar
biasa, namun penyembahan api jelas-jelas menunjukkan betapa bodohnya
mereka dan betapa kekuatan mereka diliputi oleh kebodohan sehingga akal
mereka tercabut dan mereka terhalangi untuk mencapai kebenaran. Alhasil,
kegelapan semakin meningkat di setiap penjuru bumi dan kehidupan
berubah menjadi hutan yang lebat di mana di dalamnya seorang yang kuat
akan menyingkirkan seorang yang lemah dan di dalamnya yang menang adalah
kebatilan.
Di tengah-tengah suasana yang demikian
kelam, lahirlah seorang anak di tenda Mekah. Ketika anak tersebut lahir,
maka padamlah api yang disembah oleh kaum Persia dan keringlah danau
Sawah yang disucikan oleh manusia, bahkan robohlah empat belas loteng
dari istana Kisra. Dan setan merasa bahwa penderitaan yang besar telah
merobek-robek hatinya. Ini semua sebagai simbol dimulainya kehancuran
kejahatan atau keburukan di muka bumi dan terbebasnya akal manusia dari
penyembahan terhadap sesama manusia atau terhadap hal-hal yang bersifat
khurafat. Manusia diajak hanya untuk menyembah kepada Allah SWT.
Kelahiran Rasul sebagai bukti hilangnya kelaliman, sebagaimana kelahiran
Nabi Musa yang menunjukkan kebebasan Bani Israil dari kelaliman
Fir'aun.
Ajaran Muhammad bin Abdillah merupakan
ajaran revolusi yang paling meyakinkan dan yang paling penting yang
pernah dikenal di dunia; ajaran yang bertugas untuk menyelamatkan dan
membebaskan akal dan materi. Tentara Al-Qur'an adalah tentara yang
paling adil dan paling berani untuk menghancurkan orang-orang yang
lalim. Kita akan melihat dalam sejarah Nabi bahwa kejadian-kejadian luar
biasa telah mengelilingi Ka'bah sebelum kelahirannya. Kemudian
terjadilah peristiwa luar biasa setelah kelahirannya di mana terjadilah
peristiwa pembelahan dada pada saat beliau masih kecil, begitu juga
beliau dinaungi oleh awan di waktu kecil, bahkan beliau terkenal pada
saat masih kecil dengan kecenderungan untuk meninggalkan
permainan-permainan yang biasa dimainkan oleh anak-anak kecil seusia
beliau. Allah SWT memberikan penjagaan khusus kepadanya sehingga Jibril
as turun kepadanya dengan membawa wahyu.
Selanjutnya, mukjizatnya yang pertama
adalah mukjizat yang terdapat pada kepribadiannya dan
pemikiran-pemikirannya. Itulah yang menjadi mukjizatnya yang terbesar
setelah Al-Qur'an; itu adalah bangunan ruhani yang tinggi di mana beliau
mampu menahan penderitaan di jalan Allah SWT. Dan dalam menegakkan
kebenaran, beliau memikul berbagai macam rintangan. Beliau melaksanakan
amanat yang diembannya secara sempuma dan sebaik-baik mungkin. Hal yang
indah yang dikatakan tentang mukjizat Nabi setelah diutusnya beliau
adalah bahwa beliau tidak mempunyai mukjizat selain usaha membebaskan
akal: tanpa memiliki kekuatan luar biasa selain membebaskan pikiran,
tanpa dalil selain kalimat Allah SWT.
Sedangkan Isa bin Maryam telah berdakwah
dan mengajak manusia untuk menciptakan kesamaan, persaudaraan, dan cinta
kasih di antara mereka, namun Muhammad saw diberi karunia untuk
mewujudkan persamaan, persaudaraan, dan cinta kasih di antara
orang-orang mukmin di tengah-tengah kehidupannya dan setelah
kehidupannya.
Ketika Nabi Isa mampu menghidupkan
orang-orang yang mati dan mengeluarkan mereka dari kuburan, Muhammad bin
Abdillah menghidupkan orang-orang hidup dari kematian mereka yang tidak
pernah mereka sadari. Itu adalah bentuk kematian yang paling berat.
Beliau juga mengeluarkan rnereka dari kegelapan dan kebodohan menuju
cahaya ilmu, dan dari belenggu syirik dan kekufuran menuju dunia tauhid.
Sulaiman sebagai seorang Nabi dan raja
mampu memperkerjakan jin untuk mengabdi padanya, bahkan mereka mampu
terbang beribu-ribu mil untuk menghadirkan singgasana musuh-musuhnya
agar mereka semua tercengang terhadap kemampuannya, sehingga mereka
masuk Islam. Namun Muhammad saw justru mengabdi kepada Islam hanya
sebagai seorang tentara yang sederhana. Beliau mengetahui bahwa ketika
beliau lalai sesaat saja dari dakwah di jalan Allah SWT, maka
kesempatannya dalam menyebarkan agama Islam akan hilang.
Di saat terjadi peristiwa besar dalam
peperangan, tiba-tiba azan salat dikumandangkan, sehingga para pasukan
yang berperang mengerjakan salat. Tidak ada malaikat yang turun untuk
melindungi mereka ketika salat atau mencegah datangnya anak-anak panah
dari punggung mereka saat sujud. Karena itu, hendaklah para pasukan
melindungi dirinya sendiri. Para pasukan mukmin berusaha salat secara
bergantian: sebagian mereka salat dan sebagian mereka bertugas untuk
menjaga.
Allah SWT berfirman:
"Dan apabila kamu berada di tengah-tengah
mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama
mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu
dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka sujud (telah
menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu
(untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang
belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan
hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir
ingin agar kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu
mereka menyerbu kamu dengan sekaligus."(QS. an-Nisa': 102)
Selesailah masalah itu dan tidak adak
malaikat yang turun untuk melindunginya dan menolongnya. Ini adalah masa
kematangan akal dan masa keletihan para nabi dan orang-orang mukmin.
Dan sesuai kadar keletihan mereka dalam menyampaikan ajaran Islam,
mereka pun akan mendapatkan balasan yang besar.
Pada masa para nabi sebelum Nabi Muhammad
saw, mereka menghadirkan mukjizat-mukjizat kepada kaum mereka saat
memulai dakwah, sehingga kaum tersebut mempercayai apa saja yang mereka
bawa, sedangkan Nabi Muhammad bin Abdillah tidak menghadirkan kepada
kaumnya selain dirinya dan ketulusannya.
Allah SWT telah memutuskan untuk melindungi
Musa dan memerintahkannya untuk mengangkat gunung di atas kaumnya
hingga mereka beriman kepada Taurat, atau untuk menjatuhkan gunung
tersebut di atas mereka. Ketika mengetahui hal yang Demikian itu,
orang-orang Yahudi sujud dengan meletakkan pipi mereka di atas tanah dan
mereka mengamati bukit batu yang berada di atas kepala mereka yang
diangkat oleh tangan yang tersembunyi. Sedangkan Nabi Muhammad bin
Abdillah tak pernah memaksa seseorang pun. Berimanlah beberapa orang
kepadanya dan puaslah beberapa orang kepadanya dan matilah bersamanya
orang-orang yang mati dalam keadaan puas. Beliau tidak membawa pedang
kecuali saat panah yang beracun mendekati jantung Islam dan
mengancamnya.
Dakwah para nabi menuntut terjadinya
mukjizat demi mukjizat. Ini karena masa kekanak-kanakan manusia serta
kelemahan akal dan hilangnya panca indera menuntut rahmat Allah SWT
untuk mendatangkan mukjizat yang sesuai dengan masa turunnya mukjizat
tersebut dan budaya masyarakat setempat. Adalah hal yang maklum bahwa di
tengah-tengah penduduk Mekah saat itu tidak terdapat orang-orang yang
cerdas atau orang-orang yang bijak yang mampu menyerap kata-kata yang
baik. Dan kesulitan yang dihadapi oleh Islam adalah bahwa ia tidak
diturankan pada masa ini saja, tetapi Islam diturunkan untuk setiap
masa. Allah SWT mengetahui bahwa manusia telah memasuki masa kematangan
berpikir yang mengagumkan, maka hikmah-Nya menuntut bahwa pernyataan
yang pertama kali disebutkan dalam risalah-Nya adalah "iqra'" (bacalah).
Di samping itu, risalah tersebut mengandung pemikiran yang universal,
sistem yang membangun, dan hukum yang mempesona, serta kebebasan yang
diidamkan, dan manusia yang sempurna.
Adalah tidak mengurangi kehormatan para
nabi sebelum Nabi Muhammad saw di mana mereka tidak diutus di masa-masa
kematangan pemikiran, tetapi yang menambah kehormatan Nabi Muhammad saw
bahwa beliau diutus di tengah-tengah masa kematangan berpikir, dan
beliau diutus sebelum datangnya masa ini. Beliau memikul berbagai lipat
cobaan yang pernah dipikul oleh para nabi; beliau berdakwah dengan
menanggung berbagai lipat godaan dan cobaan; beliau mengalami siksaan
yang pernah dialami oleh semua para nabi; beliau mencintai Allah SWT
sebagaimana para nabi mencintai-Nya. Allah SWT memuliakannya ketika
beliau mengimami mereka di saat salat pada saat beliau melakukan Isra'
dan Mi'raj. Meskipun demikian, ketika beliau keluar pada suatu hari
menemui sahabat-sahabatnya dan mendapati mereka mengutamakan para nabi
dan mendahulukannya atas mereka, maka beliau justru menampakkan
kemarahan dan wajahnya berubah. Beliau berkata: "Janganlah kalian
mengutamakan aku atas Yunus bin Mata."
Melalui pernyataan itu, beliau berusaha
meletakkan suatu pondasi pemikiran yang harus dilalui oleh kaum Muslim
di mana para nabi memang memiliki derajat tertentu di sisi Allah SWT.
Boleh jadi ada nabi yang lebih afdal atau yang lebih mulia daripada yang
lain. Siapakah yang menetapkan hal itu? Tidak ada seorang pun selain
Allah SWT. Ada pun kaum Muslim hendaklah mereka berhenti pada batas
tertentu yang seharusnya mereka berikan berkaitan dengan sopan santun
terhadap para nabi. Selama Allah SWT menyampaikan shalawat kepada rasul
sebagai bentuk penghormatan dan memerintahkan mereka untuk menyampaikan
shalawat kepadanya, dan selama Rasulullah seperti nabi-nabi yang lain,
maka hendaklah mereka juga bershalawat kepada semua nabi tanpa
perbedaan, meskipun pada bentuk shalawat itu sendiri.
Sementara itu, bayi yang mungil itu yang
lahir di Mekah bergerak setelah tahun gajah. Kemudian berita tersebar di
sana sini dan Sampailah ke telinga kakeknya bahwa cucunya telah
dilahirkan. Abdul Muthalib segera menuju ke tempat itu dan membawa
cucunya yang yatim lalu berkeliling dengannya di Ka'bah sambil
memikirkan namanya. Abdul Muthalib tidak merasa terpukau dengan
nama-nama yang mulai beredar di benaknya. Ia tampak bingung menentukan
nama yang paling tepat buat cucunya, bahkan kebingungannya itu berlanjut
sampai enam hari, sehingga sang Nabi disunat. Ketika malam telah
menyelimuti kawasan Mekah, datanglah kepadanya suara yang sama yang dulu
pernah dilihatnya dan didengarnya yang memerintahkannya untuk menggali
zamzam. Di tengah-tengah tidurnya, suara itu membisikkan kepadanya bahwa
nama cucunya berasal dari al-Ham, yang berarti Muhammad atau Ahmad.
Orang-orang Quraisy bertanya kepada Abdul
Muthalib: "Nama apa yang engkau berikan kepada cucumu?" Abdul Muthalib
menjawab sambil mengingat bisikan suara yang didengarnya saat mimpi,
"Muhammad." Nama tersebut sebenamya tidak umum di kalangan orang-orang
Jahilliyah. Mereka bertanya, "Mengapa Abdul Muthalib tidak memakai
narna-nama kakek-kakeknya dan nama-nama yang biasa dipakai di kalangan
mereka." Abdul Muthalib menjawab: "Aku ingin Allah SWT memujinya di
langit dan manusia memujinya di bumi."
Kami tidak mengetahui dorongan apa yang
mendikte Abdul Muthalib untuk menyatakan kalimat tersebut. Apakah
kalimat itu bersumber dari realitas kebanggaan orang-orang Arab yang
populer atau berasal dari realitas kebanggaan tradisional? Atau, apakah
berangkat dari realitas kegembiraan yang dalam dengan kelahiran si cucu,
ataukah kalimat itu bersumber dari suasana ruhani yang jernih dan
bisikan alam gaib? Tentu kami tidak bisa menjawab. Yang dapat kami
ketahui adalah bahwa seseorang tidak akan layak menyandang predikat
manusia yang dipuji di bumi dan dipuji oleh Allah SWT di langit seperti
predikat yang disandang oleh Muhammad bin Abdillah.
Nabi Muhammad saw muncul ke alam wujud
dalam keadaan yatim. Beliau ditinggalkan oleh ayahnya saat beliau masih
janin di dalam perut ibunya. Allah SWT berfirman:
"Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang
yatim, lalu Dia melindungimu?" (QS. adh-Dhuha: 6)
Allah SWT melindunginya. Orang-orang sufi
mengatakan bahwa sebab-sebab kemanusiaan seperti adanya kakeknya Abdul
Muthalib dan bagaimana ia mengasuhnya dan melindunginya tidak lain hanya
bentuk lahiriah yang tidak begitu penting, sedangkan bentuk batiniah
yang sebenarnya adalah kita berada di hadapan manusia yang dilindungi
dan diasuh oleh Tuhannya sejak masih kecil. Allah SWT mendidiknya saat
beliau masih kecil, dan mengujinya dengan keyatiman saat beliau masih
janin serta mengujinya dengan kelaparan sejak masih kecil, dan dewasa
dengan kematian si ibu, saat beliau masih kecil dengan keterasingan di
tengah-tengah keramaian, dan dengan terjaga di tengah-tengah tidur serta
dengan penderitaan demi penderitaan. Allah SWT telah menyiapkannya
sejak usia dini untuk memikul beban risalah terakhir.
Selanjutnya, ibunya seringkali memeluknya
lebih dari sebelumnya. Ia melihat bahwa banyak dari wanita-wanita yang
menyusui tidak berkenan untuk mengasuhnya. Adalah sudah menjadi tradisi
yang berkembang di Mekah di mana keluarga-keluarga yang mulia mengirim
anaknya ke kawasan dusun agar anak tersebut menyerap dan menghirup udara
segar serta memperoleh mainan yang memadai. Dan biasanya wanita-wanita
yang menyusui anak-anak lebih tertarik menyusui anak-anak dari
orang-orang kaya. Namun ketika pemimpin manusia seorang yang fakir, maka
wanita-wanita yang biasa menyusui tidak berminat kepadanya.
Marilah kita telusuri bagaimana Halimah
binti Abi Duaib menceritakan kisahnya bersama anak kecil yang
disusuinya: "Saat itu terjadi musim tandus dan kami tidak memiliki
sesuatu sehingga aku dan suamiku mengalami kemiskinan yang luar biasa.
Lalu kami menetapkan keluar ke Mekah dan menemani wanita-wanita dari
Bani Sa'ad. Kami semua mencari anak-anak yang masih menvusu agar orang
tua mereka dapat membantu kami untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Binatang yang aku tunggangi sangat lemah
dan sangat kurus yang itu semua disebabkan oleh kekurangan makanan.
Bahkan kami khawatir kalau-kalau ia berhenti di tengah perjalanan dan
mati. Dan kami tidak tidur semalaman karena melihat kondisi anak kecil
yang bersama kami. Ia menangis karena tidak menemukan makanan yang dapat
dimakannya. Ia menangis karena kelaparan dan tidak mendapat air susu,
baik dari air susuku maupun air susu unta yang dibawa oleh suamiku,
sehingga kami tidak dapat memuaskan dahaganya. Di tengah-tengah malam,
aku merasakan keputusasaan. Aku bertanya-tanya bagaimana aku dapat
melakukan sesuatu dalam keadaan yang demikian.
Akhirnya, kami sampai di Mekah. Sementara
itu, wanita-wanita yang ingin mencari anak-anak yang dapat mereka susui
telah mendahului kami. Mereka mengambil anak-anak kecil yang mereka
sukai, kecuali satu anak, yaitu Muhammad di mana ayahnya telah meninggal
dan ia berasal dari keluarga yang miskin meskipun sebenarnya
kedudukannya sangat mulia di antara tokoh-tokoh Quraisy. Oleh karena
itu, wanita-wanita enggan untuk mengasuhnya. Namun aku dan suamiku tidak
sepaham dengan mereka karena aku tidak peduli dengan keyatiman dan
kcfakirannya. Kemudian aku malu untuk kembali dan tidak mengambil bayi
yang dapat aku susui kemudian. Di samping itu, aku malu jika mendapat
cercaan dari wanita-wanita itu. Lalu aku merasakan adanya kasih sayang
yang memenuhi hatiku terhadap anak kecil yang tampan itu yang akan
diganggu oleh udara yang kotor."
Kisah tersebut mengatakan bahwa saat
anak-anak kecil mendapatkan wanita-wanita yang menyusuinya, maka
Muhammad bin Abdillah sedang tidur dalam keadaan lapar di ranjangnya
yang kasar, tanpa disusui oleh siapa pun. Suatu hikmah yang tinggi
berkehendak agar bayi yang masih menyusui itu menghadapi dunia dalam
keadaan yatim dan dalam keadaan kelaparan agar ia dapat merasakan
penderitaan anak-anak yatim dan orang-orang yang lapar sebelum ia
menyelamatkan mereka.
Halimah mengatakan bahwa ia meyakinkan
suaminya bahwa ia merasakan keinginan yang kuat untuk mengambil anak
yatim ini, sehingga suaminya menyetujuinya. Halimah tidak mengetahui
rahasia keinginannya yang samar agar ia kembali untuk mengambil anak
yatirn yang masih menyusu ini. Ia tidak mengetahui bahwa Allah SWT telah
menanamkan rasa cinta kepada anak kecil itu dalam hatinya seperti Allah
SWT menanamkan cinta kepada Musa pada hati isteri Fir'aun. Jika Musa
menolak wanita-wanita lain untuk menyusuinya kecuali ibunya setelah
Allah SWT mencegahnya dari susuan wanita-wanita lain agar ibunya merasa
bahagia dan tidak bersedih, maka Muhammad bin Abdillah—seorang anak
kecil yang masih menyusu dan mulia—-justru ditolak oleh wanita-wanita
yang menyusui, sedangkan ia sendiri tidak pernah menolak seseorang pun.
Halimah kembali kepadanya dan ia
memberitahu bahwa ia akan mengasuhnya. Nabi Muhammad saw adalah seorang
yang mulia. Halimah meletakkan tangannya di dadanya, sehingga anak kecil
itu tertawa. Halimah mencium di antara kedua matanya. la meletakkannya
di kamarnya. Halimah mengetahui bahwa kedua air susunya telah kering,
namun tiba-tiba air susunya memancar dengan keras sebagai bentuk kasih
sayang dan tanda kebesaran dari Allah SWT. Kini Halimah pun dapat
menyusuinya. Apakah itu merupakan hikmah yang tinggi di mana anak kecil
tersebut merasa cukup dengan sesuatu yang sedikit? Ataukah anak kecil
itu sudah dapat mendidik dirinya untuk zuhud dan qanaah sebelum ia
mendidik orang-orang dewasa tentang pengorbanan dan kesatriaan?
Halimah kembali ke gurun Bani Sa'ad dan ia
membawa Muhammad bin Abdillah. Belum lama ia menyaksikan tanahnya yang
tandus sehingga tiba-tiba kebaikan dunia terbuka dan mekar di hadapanya,
di mana bumi dipenuhi dengan kehijau-hijauan setelah mengalami masa
tandus. Pohon-pohon berbuah dan buah kurma tampak berseri-seri setelah
sebelumnya layu, bahkan susu-susu binatang pun mulai tampak banyak.
Allah SWT memberikan berkah-Nya kepada tempat tersebut. Halimah
mengetahui bahwa kabaikan ini telah datang bersama kedatangan anak kecil
yang diberkahi, sehingga cintanya kepada anak itu semakin bertambah.
Bahkan suaminya pun menjadi tawanan cinta yang lain kepada Muhammad saw.
Pada suatu hari ia berkata kepada
isterinya: "Apakah engkau mengetahui wahai Halimah bahwa engkau telah
mengambil seorang anak yang mulia?" Halimah berkata: "Anak kecil itu
tidak menangis dan tidak berteriak kecuali ketika ia telanjang." Ketika
anak kecil itu gelisah di tengah malam dan tidak tidur, maka Halimah
membawanya keluar dari kemah dan ia berhenti bersamanya di bawah sinar
bintang. Saat itu anak itu tampak bergembira ketika menyaksikan langit.
Setelah kedua matanya terpuaskan oleh pandangan ke arah langit, ia pun
mulai tidur.
Ketika anak itu mencapai tahun yang kedua,
maka ia telah disapih, sehingga ibunya ingin mengambilnya, tetapi
Halimah tidak kuat untuk menahan perpisahan ini. Halimah menjatuhkan
dirinya di hadapan kedua kaki sang ibu dan ia mulai menciuminya dan ia
meminta agar membiarkannya bersama anaknya sehingga anak itu benar-benar
kuat dan dapat kembali menghirup udara segar gurun. Akhirnya,
Rasulullah saw tinggal di tempat Bani Sa'ad sampai lima tahun. Dan pada
masa lima tahun ini terjadi peristiwa penting yang terkenal dengan
peristiwa pembelahan dada. Kehendak Ilahi telah menetapkan kepada Ruhul
Amin, yaitu Jibril untuk menemui Muhammad bin Abdillah dan membelah
dadanya dengan perintah Ilahi serta menyuci hatinya dengan rahmat dan
mengeringkannya dengan cahaya dan mengeluarkan bagian dunia darinya.
Seperti biasanya Rasulullah saw keluar pada
suatu hari bersama saudara susuannya dengan menunggangi sekawanan domba
menuju tempat pengembalaan. Di tengah hari, saudaranya berlari-lari
dalam keadaan takut dan menangis sambil berteriak bahwa Muhammad telah
terbunuh. Muhammad diambil oleh dua orang laki-laki yang memakai baju
yang putih lalu kedua orang itu menelentangkannya dan membelah dadanya.
Mendengar hal itu, Halimah sangat kaget dan
terpukul. Ia segera pergi sambil berlari mencari Muhammad dan diikuti
oleh suaminya yang mengikuti petunjuk anak kecil dari saudara Muhammad.
Akhirnya, mereka menemukan Muhammad sedang duduk di atas tanah di mana
wajahnya tampak pucat dan kedua matanya menyala.
Halimah dan suaminya mencium dengan lembut
dan mulai menampakkan kasih sayangnya. Kemudian mereka bertanya, "apa
yang terjadi?" Muhammad menjawab: "Ketika aku memperhatikan domba-domba
yang sedang bermain aku dikagetkan dengan kedatangan dua orang yang
memakai pakaian yang putih. Mula-mula aku menyangka bahwa mereka adalah
burung yang besar, namun ternyata aku salah. Mereka adalah dua orang
yang tidak aku kenal yang memakai pakaian warna putih. Salah seorang
dari mereka berkata kepada temannya dengan menunjuk ke arahku, "Apakah
ini anaknya?" Yang lain menjawab, "benar." Aku merasakan ketakutan yang
luar biasa. Lalu mereka mengambilku dan menidurkan aku serta membelah
dadaku dan mereka mengambil sesuatu darinya hingga mereka mendapatinya
dan membuangnya jauh-jauh. Setelah itu, mereka bersembunyi laksana
bayangan."
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Anas dan
juga diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad. Para mufasir berbeda pendapat
tentang simbolisme yang dalam ini. Sebagaian besar ulama menakwilkan
peristiwa tersebut. Pakar-pakar klasik, seperti Qurthubi berpendapat
bahwa peristiwa itu diisyaratkan oleh firman-Nya: "Bukankah Kami telah
melapangkan untukmu dadamu?. " (QS. Alam Nasyrah: 1)
Sedangkan tokoh-tokoh hadis, seperti
Ghazali berpendapat bahwa manusia istimewa seperti Muhammad saw tidak
mungkin terlepas dari bimbingan Ilahi dan tidak mungkin terkena waswas
sekecil apa pun yang biasa menimpa manusia biasa. Jika suatu kejahatan
menjadi suatu gelombang yang memenuhi cakrawala, maka di sana terdapat
hati yang segera memungutnya dan terpengaruh dengannya, namun hati para
nabi dengan adanya bimbingan Allah SWT tidak akan terpanggil dan tidak
terkena arus kejahatan tersebut.
Dengan demikian, usaha para nabi terfokus
pada peningkatan kemajuan atau ketinggian, bukan memerangi kerendahan.
Diriwayatkan oleh Abdillah bin Mas'ud bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Tidak ada seseorang di antara kalian kecuali ia diawasi oleh temannya
dari kalangan jin dan temannya dan dari kalangan malaikat." Para sahabat
berkata: "Apakah hal itu juga berlaku kepadamu wahai Rasulullah?"
Beliau menjawab: "Ya, tetapi Allah SWT membantuku, sehingga ia berserah
diri dan tidak memerintahkan kepadaku kecuali dalam kebaikan."
Begitulah sikap orang-orang yang dahulu dan
para ahli hadis berkaitan dengan peristiwa pembelahan dada. Kami kira
bahwa kejadian yang luar biasa tersebut berhubungan dengan persiapan
Nabi untuk melalui Isra' dan Mi'raj. Ia merupakan perjalanan di mana
Rasulullah saw akan menebus alam angkasa dan akan mencapai alam langit.
Kemudian beliau akan melampaui alam ini, sehingga sampai di Sidratul
Muntaha yang di sana terdapat Janatul Ma'wah.
Pandangan tersebut kembali kepada pendapat
kami yang mengatakan bahwa peristiwa pembelahan dada berulang lebih dari
sekali saat Rasul saw mencapai usia lima puluh tahun. Dan peristiwa
pembelahan dada terjadi kedua kalinya pada malam Isra' dan Mi'raj.
Bukhari meriwayatkan dari Malik bin
Sh'asha'a bahwa Rasulullah saw menceritakan kepada mereka peristiwa
malam Isra' di mana beliau bersabda: "Ketika aku berada di Hathim—atau
beliau berkata di Hijr—saat aku dalam keadaan antara tidur dan bangun,
maka seorang datang kepadaku lalu ia membelah antara ini dan ini. Yaitu
antara kerongkongan dan perutnya. Beliau melanjutkan: Lalu ia
mengeluarkan hatiku dan membawa mangkok dari emas yang penuh dengan
keimanan lalu ia menyuci hatiku. Kemudian diulanginya."
Kami kira bahwa pembelahan dada merupakan
bentuk simbolis yang menunjukkan kesucian Rasul saw dan sebagai bentuk
penyiapannya untuk melalui Isra' dan Mi'raj. Itu merupakan pemberitahuan
dari Ilahi bahwa anak ini akan mencapai suatu kedudukan yang belum
pernah dicapai oleh manusia dan tidak akan dicapai manusia sesudahnya.
Setelah peritiwa pembelahan dada, berubahlah kehidupan anak kecil itu di
mana sebagian besar waktunya digunakan untuk merenung dan menyendiri.
Dari roman wajahnya tampak keseriusan yang biasanya menghiasi wajah
orang-orang dewasa.
Berlalulah hari demi hari, tahun demi tahun
dan Selesailah masa menetapnya bersama Halimah di dusun Bani Sa'ad.
Beliau sangat terpengaruh dan sangat terkesan dengan keadaan di sana.
Diriwayatkan bahwa beliau pemah mengingat masa kecilnya di Bani Sa'ad
dan beliau membanggakannya. Beliau menyebutkan pengorbanan mereka dan
sikap mereka yang baik. Beliau berkata: "Aku termasuk dari Bani Sa'ad,
tanpa bermaksud menyombongkan diri. Jika mereka berhadapan atau
menyaksikan salah seorang mereka lapar, maka mereka akan membagi makanan
di antara mereka."
Kemudian Muhammad bin Abdillah kembali ke
Mekah saat usianya lima tahun. Beliau hidup beberapa hari bersama ibunya
di mana si ibu merasakan kesedihan yang dalam atas kepergian ayahnya.
Sesuai janji untuk mengingat ayahnya yang telah pergi, Aminah menetapkan
untuk mengunjungi kuburannya di Yatsrib. Jarak antara Mekah dan Yatsrib
lebih dari lima ratus kilo meter di gurun yang kering yang jauh dari
tanda-tanda kehidupan. Anak itu menempuh peijalanan yang berat. Setelah
perjalanan yang berat ini, Muhammad bin Abdillah tinggal di tempat
paman-paman dari ibunya di Madinah selama satu bulan. Muhammad melihat
rumah yang di situ ayahnya meninggal sebelum ia dilahirkan. Ia berziarah
bersama ibunya ke kuburan yang sederhana yang ayahnya dikuburkan di
dalamnya. Mula-mula pikirannya terfokus pada keadaan yatim sambil ia
mulai memperhatikan linangan air mata ibunya yang diam.
Selesailah masa satu bulan keberadaannya di
sisi paman-pamannya. Kemudian ibunya menemaninya untuk kembali ke
Mekah. Kedua anak manusia itu sampai di pertengahan jalan. Muhammad bin
Abdillah tidak mengetahui rahasia kepucatan wajah ibunya. Lalu
malaikatul maut turun di suatu tempat yang yang bernama Abwa. Di situlah
Aminah binti Wahab telah bertemu dengan kekasihnya, Allah SWT.
Sang ibu meninggal dan meninggalkan anak
satu-satunya bersama seorang pembantu. Pembantu itu menampakkan rasa
kasihnya terhadap anak kecil yang kehilangan ayahnya saat masih janin
dan kehilangan ibunya saat berusia enam tahun. Muhammad bin Abdillah
kini menjadi sendiri dan ia dalam keadaan menangis. Ia mencapai
kematangan setelah ia melewati kesedihan kehidupan dan kerasnya
kehidupan sebagai anak yatim.
Rasulullah saw pernah ditanya setelah masa
diutusnya: "Bagaimana pandanganmu?" Beliau menjawab: "Pengetahuan adalah
modalku. Akal adalah dasar agamaku. Cinta adalah pondasiku. Zikrullah
adalah kesenanganku. Dan kesedihan adalah temanku."
Allah SWT telah menyiramkan kepadanya
sungai-sungai kesedihan sehingga beliau dapat memberikan kepada manusia
buah dari kegembiraan dan ketulusan.
Anak kecil itu kembali ke Mekah dalam
keadaan sedih dan ia tampak terpaku. Lalu Abdul Muthalib, kakeknya
menampakkan cinta yang luar biasa dan penghormatan padanya. Setelah dua
tahun ketika Muhammad bin Abdillah berusia delapan tahun, maka
meninggallah salah satu benteng yang terbaik yang menjaganya, yaitu
kakeknya Abdul Muthalib. Kemudian anak kecil itu kini merenungi kakeknya
laksana orang dewasa. Ia tampak tegar seperti layaknya orang dewasa.
Kita tidak mengetahui mengapa terjadi
demikian. Mengapa hikmah Allah SWT mencegah Nabi yang terakhir untuk
mendapatkan kasih sayang seorang ayah, kasih sayang seorang ibu, dan
bimbingan seorang kakek? Apakah Allah SWT ingin memberi Nabi yang
terakhir suatu kasih sayang dan cinta yang semata-mata bersumber dari
sisi-Nya? Apakah Allah SWT ingin mendidiknya dengan kesedihan dan
memberinya perasaan-perasaan yang penuh dengan penderitaan? Apakah Allah
SWT ingin membuat hati Rasul-Nya hanya tertuju kepadanya? Dahulu Allah
SWT berkata kepada Musa:
"Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku."
(QS. Thaha: 41)
Dahulu Allah SWT memberi kabar gembira
kepada Musa di dalam Taurat sebagaimana Isa memberi kabar gembira di
dalam Injil dengan kedatangan seorang Nabi setelahnya yang bernama
Ahmad. Dan Nabi Musa meminta kepada Tuhannya agar memberinya dan memberi
umatnya puncak keutamaan, lalu Allah SWT menjawab bahwa Dia telah
menetapkan keutamaan ini kepada Nabi yang terakhir Ahmad dan umatnya.
Allah SWT telah memilih Musa untuk
diri-Nya. Meskipun Demikian, Dia tidak mencegahnya untuk mendapatkan
kasih sayang seorang ibu dan mendidiknya di tengah-tengah keluarganya.
Namun Dia berkehendak untuk menjadikan Nabi yang terakhir tercegah dari
mendapatkan kasih sayang seorang manusia dan cinta seorang manusia,
sehingga Nabi tersebut hanya mendapatkan kasih sayang Ilahi dan cinta
Ilahi.
Allah SWT berfirman menceritakan tentang
keadaan Rasul terakhir:
"Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang
yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang
bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai
seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Adapun terhadap
anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap
orang yang meminta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya. Dan
terhadap nikmat Tuhanmu maha hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan
bersyukur). " (QS. ad-Dhuha: 6-11)
Makna ayat tersebut secara harfiah adalah
bahwa beliau dalam keadaan yatim lalu Allah SWT melindunginya; beliau
dalam keadaan tersesat lalu Allah SWT memberinya petunjuk; beliau dalam
keadaan fakir lalu Allah SWT memampukannya. Allah SWT melindunginya
dengan mengasuhnya, membimbingnya, dan mencukupinya. Itu adalah derajat
keutamaan yang tidak pernah dicapai oleh seseorang pun di dunia.
Setelah kematian kakeknya, maka pamannya
Abu Thalib mengasuhnya. Allah SWT telah meletakkan kecintaan pada hati
pamannya, sehingga pamannya mengutamakan Muhammad saw daripada
anak-anaknya dan memuliakannya serta menghormatinya, bahkan Abu Thalib
mendudukkannya di ranjangnya yang biasa dibentangkannya di hadapan
Ka'bah di mana tidak ada seorang pun yang duduk selainnya.
Muhammad bin Abdillah hidup di jantung
gurun Mekah sebagai seorang yang memiliki kesadaran yang tinggi di
antara kaum yang sedang lalai dan kaum yang mabuk-mabukan dan para
penyembah berhala serta para pedagang minuman keras dan para syair dan
orang-orang yang berperang dan tokoh-tokoh kabilah.
Muhammad bin Abdillah seorang yang banyak
diam dan ketika usianya semakin dewasa, maka ia bertambah banyak diam.
Beliau tidak berbicara kecuali jika diajak seseorang berbicara; beliau
tidak terlibat dalam permainan hura-hura anak-anak muda; beliau
merasakan kesedihan yang dalam; beliau sering menyendiri dan membuka
matanya di hamparan pasir-pasir. Mulutnya terdiam dan akalnya berpikir.
Beliau merenungkan di masa kecilnya bagaimana kaumnya bersujud terhadap
berhala dan terpukau dengannya; bagaimana orang-orang berakal mau
bersujud kepada batu-batu yang tidak memberikan mudharat dan manfaat dan
tidak berbicara serta tidak dapat melakukan apa-apa. Beliau mewarisi
dari kekeknya Ibrahim kebencian yang fitri terhadap dunia berhala dan
patung.
Di dalam dirinya terdapat penghinaan yang
besar terhadap sembahan-sembahan dari batu ini, suatu penghinaan yang
menjadikannya tidak mau mendekat selama-lamanya terhadap patung
tersebut. Namun hatinya yang besar dipenuhi dengan kesedihan yang lebih
hebat dari kesedihan kakeknya Ibrahim. Beliau sedih karena akal manusia
menyembah batu dan emas, kesombongan serta kekuasaan penguasa; beliau
mendengar apa yang dikatakan manusia dan mengamat-amati urusan kehidupan
dan keadaan masyarakat; beliau juga menyaksikan betapa banyak
pertentangan dan perkelahian di antara manusia yang justru disebabkan
oleh masalah-masalah yang sepele, sehingga keheranan beliau semakin
bertambah dan sudah barang tentu kesedihannya pun semakin dalam.
Tidakkah manusia mengetahui bahwa mereka akan mati seperti ayahnya,
ibunya, dan kakeknya? Mengapa mereka menimbulkan pertentangan ini,
hingga mereka mendapatkan lebih banyak kejahatan?
Ketika usianya semakin bertambah, maka
bertambahlah kezuhudannya dalam hidup, dan sepak terjangnya terus
bersinar memenuhi penjuru Mekah. Beliau tidak sama dengan seseorang pun
dari kalangan pemuda saat itu. Meskipun kami kira bahwa kesedihannya
disebabkan oleh hal-hal yang umum, tetapi beliau tidak mengungkapkan
kegelisahan hatinya pada seseorang pun. Beliau belum bertujuan untuk
memperbaiki masyarakat atau kemanusiaan. Benar bahwa
pertanyaan-pertanyaan kritis timbul dalam benaknya dan ingin segera
menemukan jawaban, tetapi akalnya sendiri tidak dapat menemukan jawaban
atau jalan keluar. Inilah yang dimaksud dengan makna ayat:
"Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang
bingung, lalu Dia memberikan petunjuk." (QS. adh-Dhuha: 7)
Yang dimaksud ad-Dhalal (kesesatan) di sini
ialah kebingungan akal dalam menafsirkan kejahatan dan usaha melawannya
karena ketiadaan senjata dan kecilnya usia. Semua itu justru menambah
sikap diam anak kecil itu dan menjauhkannya dari dunia yang akan
mencemari akal, sehingga akalnya selamat dari segala noda dan tetap di
bawah naungan kejernihannya.
Anak kecil itu tetap jauh dari dosa-dosa
yang dilakukan oleh kaumnya yang berupa kecenderungan untuk menyembah
berhala dan cinta kekuasaan dan kebanggaan. Ia selalu mendekat dan lebih
mendekat kepada hakikatnya yang suci; ia mampu mempengaruhi orang lain
dengan jiwanya yang bersih dan rahmatnya atau kasih sayangnya tertuju
kepada manusia, bahkan kepada binatang dan burung. Ketika ia duduk akan
makan lalu ada burung merpati berkeliling di seputar makanannya rnaka ia
meninggalkan makanannya untuk burung itu. Pada saat orang-orang memukul
anjing yang mendekat kepada makanan mereka, maka ia justru mencabut
suapan yang ada di mulutnya dan memberikannya pada anjing, kucing,
anak-anak kecil, dan orang-orang fakir. Bahkan seringkali di waktu malam
ia tidur dalam keadaan lapar karena ia memberikan makanannya ke orang
lain.
Muhammad saw adalah seorang fakir yang
harus bekerja agar dapat makan, maka beliau bekerja sebagai pengembala
kambing, seperti Nabi Daud, Nabi Musa, dan nabi-nabi yang lain yang
diutus oleh Allah SWT. Kemudian beliau melakukan perjalanan bersama
kafilah pamannya Abu Thalib menuju Syam saat beliau berusia tiga belas
tahun. Beliau menyaksikan keadaan umat-umat yang lain, maka keheranannya
semakin bertambah terhadap masa jahiliyah ini. Ketika beliau
menyaksikan orang-orang tersesat, maka kesedihannya semakin bertambah
dan hatinya semakin tersentuh dan pikirannya semakin dalam.
Pada saat perjalanan menuju ke Syam ini
terjadi suatu peristiwa terhadap anak kecil itu. Kemungkinan besar itu
justru menambah kebingungannya. Seorang pendeta yang bernama Buhaira
berdiri di jendela rumah yang menjadi tempat peribadatannya di Suria.
Tiba-tiba ia memperhatikan suatu awan putih—tidak seperti biasanya—yang
menghiasai langit yang biru. Saat itu udara sangat terang, sehingga
munculnya awan tersebut sangat mengherankan. Kemudian pandangan Buhaira
yang tertuju ke langit, kini tertuju ke bumi di mana ia mendapati awan
itu menyerupai burung yang putih yang menaungi kafilah kecil yang menuju
ke arah utara. Buhaira memperhatikan bahwa awan tersebut mengikuti
kafilah.
Jantung Buhaira berdebar dengan keras
karena ia mengetahui melalui buku-buku peninggalan kaum Masehi yang
otentik bahwa seorang nabi akan muncul ke dunia setelah Isa. Sifat dan
kabar nabi tersebut diceritakan dalam buku-buku kuno. Buhaira segera
meninggalkan tempatnya, lalu ia segera memerintahkan untuk menyiapkan
makanan yang besar. Kemudian ia mengutus seseorang untuk menemui kafilah
tersebut dan mengundang mereka untuk jamuan makan. Salah seorang mereka
berkata dengan nada bercanda kepada Buhaira: "Demi Lata dan 'Uzza,
engkau hari ini tampak lain wahai Buhaira. Engkau tidak pernah melakukan
demikian kepada kami, padahal kami telah melewati dan singgah di tempat
ini lebih dari sekali. Ada peristiwa apa gerangan wahai Buhaira?"
Buhaira menjawab: "Hari ini kalian adalah
tamu-tamuku." Pertanyaan orang tersebut tidak dijawab dengan
terang-terangan. Ia sengaja menghindarinya dan tidak menyingkapkan
rahasia kemuliaan yang datangnya tiba-tiba ini. Buhaira memberi makan
mereka dan mulai memperhatikan di antara mereka adanya seseorang yang
memiliki tanda-tanda yang dibacanya dalam kitab-kitabnya yang kuno
tentang seorang rasul yang ditunggu. Namun ia tidak menemukannya, hingga
ia bertanya kepada mereka: "Wahai kaum Quraisy, apakah ada seseorang
yang tidak hadir bersama jamuanku ini?" Mereka menjawab: "Benar, ada
seseorang yang tidak ikut bersama kami. Kami meninggalkannya karena ia
masih kecil." Buhaira berkata: "Sungguh aku telah mengundang kamu semua.
Panggilah ia supaya hadir bersama kami dan memakan makanan ini." Salah
seorang lelaki dari kaum Quraisy berkata: "Demi Lata dan 'Uzza, sungguh
tercela bagi kami untuk meninggalkan Muhammad bin Abdillah bin Abdul
Muthalib dari jamuan yang kami diundang di dalamnya.
Pamannya meminta maaf karena Muhammad masih
kecil, kemudian sebagian mereka berdiri dan menghadirkannya. Belum lama
Buhaira memandangi kejernihan dua mata Muhammad, sehingga ia mengetahui
bahwa ia telah mendekati tujuannya. Buhairah terpaku ketika memandangi
Muhammad bin Abdillah sehingga kaum selesai makan dan mereka berpisah.
Muhammad bin Abdillah duduk sendirian.
Buhaira menghampirinya dan berkata: "Wahai anak kecil, demi kedudukan
Lata dan 'Uzza, sudikah kiranya engkau memberitahu aku terhadap apa yang
aku tanyakan kepadamu?" Buhaira ingin mengetahui sikap anak ini
terhadap berhala kaumnya. Anak kecil itu menjawab: "Jangan engkau
bertanya kepadaku tentang Lata dan 'Uzza. Demi Allah, tidak ada sesuatu
yang lebih aku benci daripada keduanya." Buhaira berkata: "Dengan izin
Allah aku ingin bertanya kepadamu." Anak kecil itu menjawab: "Tanyalah
apa saja yang terlintas di benakmu."
Buhaira bertanya kepada anak kecil itu
tentang keluarganya, kedudukannya di tengah-tengah kaumnya, mimpinya dan
pendapat-pendapatnya. Dialog tersebut terjadi jauh dari pantauan kaum
karena mereka tidak akan diam ketika mendengar bahwa Muhammad membenci
berhala-berhala mereka. Kemudian Muhammad menjawab pertanyaan-pertanyaan
Buhaira dengan yakin, hingga membuat Buhaira mantap bahwa ia sekarang
duduk bersama seorang Nabi yang kabar berita gembiranya disampaikan oleh
Nabi Isa sebagaimana disampaikan oleh nabi-nabi dari kaum Israil dari
kaum Nabi Musa. Setelah itu, ia bangkit meninggalkan anak kecil itu dan
menuju ke Abu Thalib ia bertanya tentang kedudukan anak kecil itu di
sisinya. Abu Thalib menjawab: "Ia adalah anakku." Buhaira berkata:
"Tidak mungkin ayahnya masih hidup." Abu Thalib berkata: "Benar. Ia anak
saudaraku. Ayahnya dan ibunya telah meninggal." Buhaira berkata:
"Engakau benar, kembalilah kamu ke negerimu dan hati-hatilah dari kaum
Yahudi." Abu Thalib bertanya tentang rahasia dari apa yang dikatakan
oleh pendeta itu. Pendeta itu mulai mengetahui bahwa ia telah berbicara
lebih dari yang semestinya. Lalu ia berkata: "Ia akan memiliki kedudukan
tertentu." Buhaira tidak menjelaskan lebih dari itu dan ia tidak
menentukan kedudukan yang dimaksud.
Lalu berlalulah peristiwa tersebut tanpa
terlintas dari benak seseorang atau tanpa menggugah kesadaran di antara
mereka. Kisah tersebut tidak membawa pengaruh berarti bagi kafilah atau
kepada Nabi sendiri. Kafilah menganggap bahwa penghormatan pendeta
kepada Muhammad bin Abdillah dan memberitahunya akan kedudukan yang akan
disandangnya adalah semata-mata basa-basi yang biasa diucapkan di atas
meja makan ketika para tamu memuji kedermawanan tuan rumah. Dan sebagai
balasannya, orang yang mengundang akan memuji akhlak para pemuda mereka.
Alhasil, peristiwa tersebut tidak membawa pengaruh apa pun, baik bagi
Muhammad maupun bagi sahabat-sahabat yang ikut dalam kafilah, sehingga
mereka tidak mengetahui rahasia perkataan pendeta dan mereka tidak
menyebarkan pembicaraan yang mereka dengar darinya. Peristiwa itu
tersembunyi meskipun ia sungguh sangat membingungkan Muhammad.
Apa gerangan yang terjadi antara dirinya
dan orang-orang Yahudi, sehingga pendeta perlu mengingatkan pamannya
dari ancaman mereka? Apa kedudukan yang akan diembannya seperti yang
diceritakan oleh pendeta itu? Dan apa hubungan semua ini dengan
kesedihan-kesedihannya yang dalam serta kebingungannya?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sedikit demi sedikit berputar di
benaknya. Kemudian seperti biasanya kafilah tersebut kembali ke Mekah.
Muhammad kembali menuju keterasingannya. Ia memperhatikan keadaan alam
di sekitarnya. Kemudian ia melihat kembali penderitaannya; ia berusaha
untuk mendapatkan kehidupannya; ia mengabdi kepada manusia dan
mengorbankan apa saja demi kemuliaan mereka.
Hari demi hari berlalu. Muhammad saw tampil
dengan pakaian ketulusan kasih sayang, dan amanah serat cinta,
sebagaimana pelita dipenuhi oleh cahaya, sehingga kejujurannya terkenal
di tengah-tengah kaumnya. Bahkan kejujuran dan amanatnya tidak bakal
diragukan oleh seseorang pun dari penduduk Mekah. Dan ketika beliau
datang dengan membawa risalahnya dan beliau ditentang mayoritas
masyarakatnya, namun tak seorang pun yang berani meragukan kejujurannya.
Mereka hanya menuduh bahwa ia terkena sihir atau kesadarannya telah
hilang.
Pada tahun ketiga belas dari masa kenabian,
ketika semua kabilah sepakat untuk membunuhnya dan mengucurkan darahnya
di antara para kabilah dan mereka mengepung rumahnya, maka di saat
situasi yang sulit ini beliau menetapkan untuk berhijrah. Tetapi
sebelumnya beliau mewasiatkan kepada Ali bin Abi Thalib, anak pamannya
untuk tetap tinggal di rumahnya agar ia dapat mengembalikan amanat yang
dititipkan oleh semua musuhnya dan para sahabatnya. Ini beliau maksudkan
agar Ali dapat menyerahkan amanat tersebut di waktu pagi kepada para
pemiliknya. Anda dapat melihat betapa para musuhnya merasa aman terhadap
harta mereka ketika dijaga oleh Muhammad saw.
Hari demi hari berlalu dan tahun demi tahun
pun lewat. Sementara itu, kesucian dan kejujuran Muhammad saw semakin
meningkat. Dan di tengah lautan keheningan yang mencekam, ketika
Muhammad bin Abdillah menyebarkan layar perahunya yang putih, maka ia
harus menemui hakikat azali yang bertemu dengan-nya semua nabi dan
rasul. Muhammad bin Abdillah mengetahui bahwa alam yang besar ini
mempunyai Tuhan Pengatur dan Pencipta; Tuhan yang Maha Satu dan yang
tiada tuhan selain-Nya.
Muhammad dijauhkan dari suasana kenikmatan
dan foya-foya yang biasa dilakukan oleh para pemuda seusianya. Dan
ketika pemuda Mekah berbangga-bangga dengan banyaknya minuman keras yang
mereka minum dan banyaknya bait-bait syair yang mereka katakan tentang
wanita, maka Muhammad bin Abdillah telah menemukan jati dirinya di suatu
gua yang tenang di gunung yang besar. Ia memilih untuk menghabiskan
waktunya di dalam keheningan gua tersebut. Ia merenung dengan hatinya
tentang keadaan alam; ia memikirkan keagungan rahasia-rahasianya dan
rahmat Penciptanya serta kebesaran-Nya.
Pada tahun yang kedua puluh lima, beliau
mengenal Ummul Mu'minin, isterinya yang pertama, yaitu Khadijah binti
Khuwailid yang saat itu berusia empat puluh tahun. Khadijah adalah
wanita yang mulia dan mempunyai cukup harta. Ia berdagang dan suaminya
telah meninggal. Banyak orang yang mendekatinya dengan alasan untuk
mendapatkan kekayaannya. Khadijah mencari seseorang laki-laki yang dapat
membawa harta dagangannya menuju Syam, lalu Khadijah mendengar berita
yang cukup banyak berkenaan dengan kejujuran dan amanat serta kesucian
Muhammad bin Abdilah. Akhirnya, Khadijah mengutus Muhammad saw untuk
membawa barang dagangannya. Muhammad saw pergi dalam perjalanannya yang
kedua ke Syam saat beliau berusia dua puluh lima tahun. Allah SWT
memberkati perjalannya di mana beliau kembali dengan membawa keuntungan
yang berlipat ganda yang diserahkannya kepada Khadijah. Muhammad saw
tidak peduli dengan harta Khadijah dan tidak peduli kepada
kecantikannya; Muhammad saw hanya memandang kemuliaan yang dipegangnya.
Kemudian Khadijah merasakan getaran cinta terhadap Muhammad saw. Dan
Akhirnya, ia mengutarakan keinginan untuk menikah dengannya, hingga
Muhammad saw pun setuju.
Paman Muhammad saw, Abu Thalib berdiri dan
menyampaikan khotbah pada saat perayaan perkawinannya: Muhammad saw
tidak dapat dibandingkan dengan seorang pun dari kaum Quraisy karena ia
adalah seorang yang mulia, baik dari sisi akal maupun ruhani. Meskipun
ia seorang yang fakir namun harta adalah naungan yang akan hilang dan
benda yang bersifat sementara.
Setelah menikah, Muhammad saw justru
mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk merenung dan menyendiri
serta beribadah. Kemudian kehidupan yang dijalaninya justru meningkatkan
kemuliaannya, sehingga keutamaannya tersebar di sana sini. Beliau tidak
pernah terlibat dalam pergulatan yang keras untuk memperebutkan
materi-materi dunia. Beliau selalu menggunakan akal sehatnya daripada
terlibat dalam kesesatan mereka dan kegelapan berhala yang menyelimuti
banyak orang pada saat itu. Kemudian usianya kini mendekati empat puluh
tahun.
Setelah merasakan kesunyian di
tengah-tengah masyarakat, beliau lebih memilih untuk menjauh dari
mereka. Beliau mencari-cari hakikat, sehingga Allah SWT membimbingnya
untuk menyendiri di gua Hira. Akhirnya, beliau dapat keluar dari Mekah.
Beliau berjalan beberapa mil. Kemudian beliau mulai mendaki dan mendaki.
Setiap kali ia mendaki gunung, maka tempat itu semakin luas. Udara
tampak lembut dan tersingkaplah hijab, dan pandangan semakin terbentang.
Kemudian beliau memasuki gua. Keheningan menyelimuti segala sesuatu,
namun hati tetap sadar dan tidak ada sesuatu yang dapat
menghalang-halangi pandangan internal yang dalam. Dalam suasana
kesunyian terkadang lahirlah pemikiran-pemikiran yang cemerlang yang
kemudian menyebarkan sayap-sayapnya dan membumbung, pertama-tama di atas
angkasa gua lalu tersebar menuju ke tempat yang lebih luas. Tidak ada
sesuatu pun yang membatasinya atau mengekang kebebasannya.
Kita tidak mengetahui pikiran-pikiran apa
yang terlintas pada manusia termulia dan terbesar di atas bumi itu saat
beliau duduk di gua Hira beberapa bulan. Apa yang beliau pikirkan dan
apa gerangan yang beliau risaukan? Mimpi apa yang ada di benaknya dan
perasaan-perasaan apa yang lahir dalam hatinya? Bagaimana keadaan
batu-batu yang ada di sisinya? Apakah atom-atom batu yang berputar di
sekelilingnya menyahuti tasbihnya yang diam, seperti atom-atom batu yang
bersahut-sahutan bersama Daud saat ia membaca kitabnya Zabur.
Kami tidak mengetahui secara pasti bentuk
kelahiran yang terjadi dalam dirinya. Yang kita ketahui adalah bahwa
beliau tidak berpikir tentang kenabian dan beliau tidak berpikir untuk
memberikan petunjuk kepada manusia; beliau tidak melakukan
praktek-praktek sufisme karena beliau sudah menjadi seorang sufi sebelum
diutus di tengah-tengah manusia. Kemudian Allah SWT memilihnya sebagai
Nabi lalu beliau meninggalkan uzlahnya dan turun ke medan serta membawa
senjata. Beliau mempertahankan kebenaran, sehingga beliau bertemu dengan
Tuhannya. Mula-mula lahirlah tasawuf dan setelahnya lahirlah jihad di
jalan Allah SWT. Tasawuf bukanlah puncak atau hasil sebagaimana diyakini
oleh manusia sekarang, tetapi ia adalah permulaan jalan yang panjang di
mana pada akhirnya yang bersangkutan menggunakan senjata sebagai bentuk
usaha untuk membela manusia dan kehormatannya.
Pada suatu hari beliau duduk di gua Hira
dan tiba-tiba beliau dikagetkan dengan kedatangan Jibril yang berdiri di
depan pintu gua. Malaikat tersebut memeluknya erat-erat lalu
memerintahkannya untuk membaca sambil berkata: "Bacalah!" Muhammad bin
Abdillah menjawab: "Aku tidak mampu membaca." Beliau ingin mengatakan
bahwa beliau tidak mengenal bacaan dan tulisan. Kalau begitu, apa yang
harus beliau baca? Malaikat kembali memeluknya dengan kuat sehingga
Rasulullah saw menganggap bahwa ia meninggal. Kemudian malaikat
melepasnya dan memerintahkannya untuk membaca. Beliau kembali menjawab:
"Aku tidak bisa membaca." Malaikat yang mulia kembali memeluknya dan
kembali memerintahkan untuk membaca. Dan lagi-lagi Rasulullah saw
menjawab dengan gemetar: "Apa yang aku baca?" Kemudian Jibril membaca
permulaan ayat-ayat yang turun kepada beliau:
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia)
dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya." (QS. al-'Alaq: 1-5)
Setelah peristiwa itu, Jibril menghilang
secara tiba-tiba sebagaimana ia muncul secara tiba-tiba. Rasulullah saw
merasakan dalam dirinya kejadian yang luar biasa yang pernah dirasakan
oleh Nabi Musa saat beliau mendengar panggilan-panggilan suci di lembah
Thuwa. Sebagaimana Nabi Musa lari ketakutan, maka Muhammad bin Abdillah
pun segera menuju ke rumahnya dalam keadaan ketakutan. Ia turun ke
gunung dan kembali ke rumahnya dan kembali ke isterinya. Tubuhnya yang
mulia bergetar denga keras dan beliau merasakan ketakutan dan
kegelisahan.
Apakah beliau kali ini berhubungan dengan
jin atau alam perdukunan? Apakah beliau telah mengigau sehingga beliau
mendengar suara-suara dan melihat wajah-wajah yang belum pernah
dilihatnya? Rasulullah saw mengkhawatirkan dirinya karena beliau sangat
benci kepada perdukunan. Beliau memasuki rumahnya dengan keadaan
gemetar. Beliau berkata kepada isterinya: "Selimutilah aku, selimutilah
aku!" Kemudian isterinya segera menyelimuti dengan selimut dari wol dan
mengusap keringat yang berada di keningnya. Isterinya dikagetkan dengan
kepucatan wajah beliau yang mulia dan kegemetaran tubuhnya.
Khadijah bertanya kepadanya: "Apa yang
sedang terjadi?" Kemudian Muhammad saw menceritakan secara detail apa
yang dialaminya. Kemudian ia berkata: "Sungguh aku khawatir terhadap
diriku." Khadijah mengetahui bahwa ia sekarang berhadapan dengan masalah
yang serius, suatu berita gembira yang ia tidak mengetahui hakikatnya,
suatu berita gembira yang seharusnya tidak dihadapi Muhammad saw dengan
kekhawatirkan dan kegelisahan.
Khadijah berkata dengan maksud untuk
meredakan ketakutannya: "Tenanglah. Demi Allah, Allah SWT tidak akan
menghinakanmu selama-lamanya. Sungguh engkau adalah seorang yang baik,
yang menyambung tali silaturahmi, yang berbicara dengan jujur, dan yang
menghormati tamu."
Meskipun kalimat-kalimat tersebut penuh
dengan kedamaian dan kesejukan, tetapi kegelisahan Rasul saw juga belum
hilang. Kemudian Khadijah pergi bcrsama beliau ke rumah Waraqah bin
Nofel, yaitu anak dari paman Khadijah. Waraqah adalah seorang Nasrani
dan dia mampu menulis kitab dalam bahasa Ibrani dan ia cukup mengetahui
kitab-kitab Taurat dan Injil di mana matanya telah buta karena masa tua.
Khadijah berkata kepadanya: "Wahai putra
pamanku, dengarlah dari anak saudaramu." Waraqah berkata: "Wahai anak
saudaraku, apa yang engkau lihat?" Rasulullah saw menceritakan apa yang
dialaminya secara sempurna. Waraqah berkata sambil mengangkat kepalanya
yang tampak keheranan: "Itu adalah Namus (Jibril) yang Allah SWT
turunkan kepada Musa." Sebagai seorang yang mengerti, Waraqah bin Nofel
mengetahui bahwa ia berada di hadapan seorang Nabi yang berita
gembiranya disampaikan oleh Taurat dan Injil.
Setelah keheningan sesaat, Waraqah berkata:
"Seandainya aku masih hidup ketika kaummu mengeluarkanmu dan
mengusirmu." Rasulullah saw bertanya: "Mengapa aku harus diusir oleh
mereka?'' Waraqah menjawab: "Benar, tidak ada seorang pun yang akan
datang seperti dirimu kecuali engkau akan mengalami penderitaan dan
pengusiran. Seandainya aku hadir di saat itu niscaya aku akan
menolongmu."
Demikianlah, akhirnya Islam pun
dikembangkan. Kehendak Allah SWT terlaksana dan Allah SWT telah memilih
Nabi yang terakhir di muka bumi dan orang Muslim yang pertama.
Barangkali pembaca akan bertanya: Apa hakikat dari Islam? Apabila
Muhammad saw sebagai Nabi yang terakhir yang diutus oleh Allah SWT di
muka bumi dan kita mengetahui bahwa para nabi semuanya sebagai Muslim,
maka bagaimana beliau dapat dikatakan mendahului mereka dalam keislaman
dan menjadi orang Muslim yang pertama?
Islam yang dibawa oleh Muhammad saw tidak
berbeda dalam esensinya dengan Islam yang dibawa oleh Nabi Nuh, Nabi
Musa, Nabi Isa atau nabi yang lain, tetapi yang berbeda adalah
bentuknya, sedangkan esensinya tetap seperti semula, yakni berdasarkan
tauhid. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw berbeda dalam bentuknya
dengan Islam yang dibawa nabi-nabi sebelumnya karena sebab yang
penting, yakni bahwa Islam ini merupakan ajaran yang universal dan
berisi aspek kemanusiaan yang abadi. Islam tidak terbatas atas
orang-orang Arab tetapi ia berlaku atas semua golongan. Islam yang
dibawa oleh Nabi Muhammad saw tidak terbatas untuk kabilah tertentu atau
bangsa tertentu atau bumi tertentu atau lingkungan tertentu atau zaman
tertentu, tetapi ia untuk semua manusia. Atau dengan kata lain, ia
merupakan ajakan untuk membangkitkan akal manusia di mana saja mereka
berada tanpa ada batasan tempat atau waktu.
Universalitas ajaran Islam tidak dikenal
pada risalah-risalah Ilahi sebelumnya di mana setiap risalah itu
diperuntukkan bagi bangsa tertentu dan zaman tertentu. Oleh karena itu,
mukjizat-mukjizat yang mengagumkan yang bersifat temporal seringkali
mendukung risalah-risalah yang dahulu. Ketika Islam datang sebagai
bentuk ajakan untuk menghidupkan akal manusia secara bebas, maka di sana
tidak ada alasan untuk membawa mukjizat yang mengagum-kan. Hanya ada
satu kata yang dapat dijadikan pembuka untuk berdakwah dan membuka akal
manusia, yaitu kata "iqra"' (bacalah). Dan hendaklah bacaan ini
berdasarkan nama Allah SWT. Dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia
menciptakan manusia dari segumpal darah. Coba Anda renungkan permulaan
pertumbuhan dan puncak pencapaian. Di sini tersembunyi mukjizat yang
hakiki jika Anda berusaha mencari mukjizat yang hakiki.
Bacalah, dan Tuhanmu Yang Maha Mulia, yang
memberikan nikmat penciptaan dan rezeki serta rahmat dan kelembutan. Dia
Maha Mulia yang mengajarkan manusia apa saja yang tidak diketahuinya.
Demikianlah esensi dari Islam, yaitu ajakan untuk membaca. Ia adalah
dakwah yang menunjukkan kedudukan ilmu. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di
antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orangyang berilmu (ulama)." (QS.
Fathir: 28)
Takut kepada Allah SWT tidak akan muncul
kecuali berdasarkan ilmu. Mustahil kebodohan dengan bentuk apa pun akan
melahirkan rasa takut. Oleh karena itu, dalam pandangan Islam ilmu
adalah hal yang pokok. Ia bukan kemewahan dan bukan hanya perhiasan.
Kaum Muslim telah mengalami masa kemuliaan dan kejayaan dan mereka
berhasil menguasai bumi ketika mereka memahami Islam secara benar,
tetapi ketika pemahaman ini jauh dari mereka, maka mereka kembali dalam
keadaan yang paling buruk, bahkan lebih buruk daripada masa jahiliah.
Jadi, ilmu dalam Islam merupakan tujuan
yang mulia dan utama dalam penciptaan alam wujud. Kisah Nabi Adam dan
Hawa, sebagaimana diceritakan oleh Al-Qur'an adalah bukan semata-mata
kisah kesalahan memakan pohon tcrlarang, tetapi ia juga kisah yang
memiliki dimensi-dimensi yang dalam dan aspek-aspek yang beraneka ragam.
Ketika Anda menyclami kedalamannya, maka Anda akan dapat menemukan
simbol-simbol dari makna-makna yang lebih penting.
Dialog internal yang dialami oleh para
malaikat tentang rahasia pemilihan Nabi Adam untuk memakmurkan bumi dan
menjadi khalifah di dalamnya serta pengajaran yang diperoleh Nabi Adam
tentang nama-nama semuanya dan bagaimana beliau mengemukakan nama-nama
tersebut kepada para malaikat, serta ketidaktahuan mereka tentang
nama-nama itu, kemudian usaha Nabi Adam untuk memberitahu mereka tentang
apa yang diketahuinya serta pengetahuan para malaikat tentang rahasia
pemilihan Nabi Adam dan para keturunannya untuk memakmurkan bumi, semua
ini menjadikan tujuan dari penciptaan manusia adalah pencapaian ilmu
atau ma'rifah secara umum. Pandangan tersebut dikuatkan oleh firman
Allah SWT:
"Dan Ahu tidak menciptakan jin dan manusia
kecuali untuk menyembah-(Ku)." (QS. adz-Dzariat: 56)
Lalu bagaimana kita memahaminya saat ini
dan bagaimana generasi yang pertama dari kaum Muslim dan dari
sahabat-sahabat Rasul saw dan para pengikutnya dan para tentaranya
memahaminya? Saat ini kita memahaminya dengan pemahamam yang sederhana.
Kita mengetahui bahwa kalimat "untuk menyembah-Ku " berarti ritualitas
dalam beribadah dan aspek-aspek lahiriahnya, seperti mengucapkan kalimat
syahadat, salat, puasa, haji, zakat dan lain-lain. Sehingga orang-orang
yang salat diperbolehkan untuk menyembah Allah SWT di negeri mereka
atau di rumah-rumah mereka, meskipun mereka hidup di bawah pemikiran
orang-orang Barat dan membeli produk-produk yang dibuat mereka serta
memanfaatkan ilmu dan kecanggihan tehnologi orang-orang Barat. Namun
mereka sendiri tidak menghasilkan apa-apa. Mereka tidak dapat memberikan
kontribusi kepada kehidupan; mereka tak ubah-nya seperti bulu yang
dimainkan oleh ombak. Sedangkan pemahaman yang dahulu berkaitan dengan
kalimat tersebut sebagai berikut:
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
kecuali untuk menyembah-(Ku). " (QS. adz-Dzariat: 56)
Ibnu Abbas membacanya: "Illa liya'rifuun."
(Agar mereka mengetahui). Perhatikanlah bagaimana pentingnya perbedaan
antara praktek-praktek ibadah dengan bentuk-bentuknya dan kedalamannya
yang jauh dalam ma'rifah yang menyebabkan rasa takut kepada Allah SWT.
Orang Muslim yang pertama meyakini bahwa Allah SWT menciptakannya agar
ia mengetahui Allah SWT atau agar ia mengenal Allah SWT. Sehingga ambisi
orang Muslim yang pertama sangat mengagumkan. Mereka pergi untuk
membebaskan dunia semuanya: satu tangan berpegangan dengan Al-Qur'an dan
tangan yang lain memegang pedang untuk menghancurkan belenggu-belenggu
yang menyeret manusia kepada kesesatan.
Kemudian jatuhlah dari Islam hakikat ilmu,
sehingga umat Islam tidak dapat memimpin kehidupan dan mereka justru
men-dapatkan kehinaan. Allah SWT berfirman:
"Allah menyatakan bahwasannya tidak ada
Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan
orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada
Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya
agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam." (QS. Ali 'Imran: 18)
Setelah kesaksian kepada Allah swt dan
kesaksian kepada malaikat, maka disebutlah secara langsung kesaksian
kepada orang-orang yang berilmu. Maka, adakah penghormatan terhadap ilmu
yang lebih besar daripada penghormatan ini? Ilmu dalam Islam berbeda
dengan ilmu dalam peradaban Barat. Memang benar bahwa Islam yang
bertanggung jawab terhadap tumbuhnya pandangan ilmiah dan metode
eksperimental di mana berdasarkan metode ini tegaklah peradaban Barat
yang kemudian melahirkan berbagai produksi, pembuatan, dan penemuan. Dan
metode eksperimental adalah metode al-Istiqra, yaitu suatu metode yang
mengikuti bagian-bagian terkecil (parsial) melalui jalan eksperimen yang
dapat tunduk terhadap eksperimen dan melalui jalan memperhatikan
hal-hal yang tidak dapat tunduk terhadap suatu eksperimen, atau melalui
jalan matematis murni yang membutuhkan kepada matematis murni di mana
hal itu bertujuan untuk menyingkap hukum-hukum yang menguasai benda.
Sistem ini bidangnya adalah alam dan alatnya adalah panca indera dan
akal. Sistem ini dimanfaatkan oleh seorang Eropa yang bernama Roger
Bikun. Ia mengakui bahwa ia sangat berhutang kepada kaum Muslim dan
peradaban Islam.
Seorang guru yang bernama Bruicll dalam
bukunya Abna' al-Insaniah menceritakan tentang dasar-dasar peradaban
Barat di mana ia berkata: "Roger Bikun mempclajari bahasa Arab dan
ilmu-ilmu Arab di sekolah Oxford kepada guru-gurunya yang berasal dari
Arab di Andalus. Dan Roger Bikun dan Fenessis Bikun tidak dapat
menisbatan keutamaan yang mereka peroleh dalam menciptakan sistem
eksperimental kepada diri mereka sendiri. Roger Bikun hanya seorang duta
dari duta-duta ilmu. Oleh karena itu, ia tidak malu ketika menyatakan
bahwa mempelajari bahasa Arab dan ilmu-ilmu Arab adalah jalan
satu-satunya untuk mengetahui kebenaran."
Demikianlah pernyataan pakar-pakar Barat
yang jujur. Yang demikian ini bisa dijadikan sanggahan terhadap
orang-orang Barat yang tidak jujur agar mereka mengetahui bahwa mereka
sebenarnya mengambil senjata yang sebenarnya berasal dari Islam. Dan
jika dikatakan bahwa rahasia kebangkitan Barat saat ini dan
keunggulannya atas Timur kembali kepada pengambilannya terhadap
sebab-sebab metode eksperimental, yaitu metode Islam, maka rahasia
kehancuran Barat dan kebingungannya serta kegelisahannya adalah karena
mereka tidak menghubungkan metode tersebut dengan kebesaran Allah SWT
sebagaimana semestinya. Metode eksperimen-tal—sebagaimana diambil
orang-orang Barat—dimulai dari alam dan berakhir kepadanya sebagai
sesuatu tujuan. Jadi, ruang lingkup pembahasan mereka adalah berkisar
kepada materi, dan alat-alat pembahasan adalah eksperimen dan pengamatan
serta istiqra.
Tiada setelah alam kecuali kematian dan
kematian adalah rahasia yang misterius dan melawannya adalah hal yang
mustahil. Kita tidak mengetahui apa yang terjadi setelah kematian; kita
tidak mengetahui sesuatu pun tentang ruh. Tidak ada hubungan antara ilmu
dan akhlak; tidak ada jawaban dari ilmu tentang tujuan kehidupan ini.
Kita hanya mempelajari aspek-aspek lahiriah dan mencapai hukum-hukumnya
saja. Demikianlah pandangan Barat tentang ilmu di mana ia hanya sekadar
alat dan sarana untuk mengatur alam dan berusaha menguasainya. Sedangkan
metode ilmiah dalam Islam menyatakan bahwa gerakan atom dengan gerakan
sistem tata surya di bawah kendali Zat Yang Maha Tahu dan Zat Yang Maha
Pencipta. Ilmu dalam Islam justru membimbing manusia untuk menuju Allah
SWT:
"Dan bahwasannya kepada Tuhanmulah
kesudahan (segala sesua-tu). " (QS. an-Najm: 42)
Ilmu justru mengantarkan manusia untuk
mencapai rasa takut kepada Allah SWT sebagaimana membimbingnya beribadah
kepadanya dan mencintai-Nya:
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di
antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu (ulama)." (QS.
Fathir: 28)
Islam datang dan mengajak manusia untuk
membaca, mengetahui, dan takut kepada Allah SWT serta hanya beribadah
kepadanya. Jika ilmu merupakan sayap pertama di dalam Islam, maka sayap
yang kedua adalah kebebasan. Rasulullah saw memberitahu dan menyatakan
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT dan tidak ada sembahan selain
Allah SWT.
Seruan ini mengisyaratkan keruntuhan
tuhan-tuhan yang mengusai bumi semuanya, baik tuhan yang berupa
kepentingan-kepentingan pribadi, kekayaan, raja, penguasa,
pemikiran-pemikiran yang mengusai manusia, warisan para kakek dan nenek,
berhala-berhala yang terbuat dari batu dan kayu, maupun berbagai macam
tuhan lain yang bohong. Adalah salah jika seseorang membayangkan bahwa
kalimat "tiada Tuhan selain Allah" hanya sekadar hiasan mulut seorang
Muslim di mana segala sesuatu yang ada di sekitarnya penuh dengan
kebohongan dan tidak membenarkan apa yang dikatakannya. Kalimat tersebut
dalam Islam merupakan per-gulatan besar bersama kegelapan yang ada pada
diri manusia, suatu pergulatan yang berakhir pada penyerahan diri;
pergulatan yang akan berpindah pada kehidupan yang lebih berat, sehingga
kehi-dupan akan berserah diri. Dan mustahil pergulatan itu akan terjadi
kecuali jika terpenuhi suatu kebebasan: kebebasan akal untuk meragukan
dan menolak dan kebebasan yang berakhir kepada pencapaian batas-batasnya
dan kemampuannya serta kebebasan yang meninggi untuk mencapai keimanan
yang dalam dan kokoh. Itu adalah tanggung jawab yang berarti bahwa ia
harus memikul senjata untuk membebaskan orang lain sebagaimana ia
membebaskan dirinya sendiri. Demikianlah esensi dari Islam, yaitu ilmu
yang berdiri di atas kebebasan dan tanggung jawab yang tumbuh dari
kebebasan, dan buah terAkhirnya adalah tauhid dalam kedalamannya
yangjauh.
Jika tauhid dipahami secara benar, maka
manusia akan terbebas dari penyembahan selain Allah SWT: manusia akan
bebas terhadap rasa takut dari kematian, kekhawatiran atas rezeki,
manusia akan terbebas dari sikap bakhil dan ketakutan terhadap hari-hari
yang akan datang.
Muhammad bin Abdillah datang nntuk
menyerukan bahwa hanya Allah SWT yang patut disembah dan bahwa semua
manusia adalah hamba-hamba-Nya. Dcngan membebaskan manusia dari
menyembah sesama mereka, maka kebcbasan yang hakiki telah dimulai.
Rasulullah saw memberitahu bahwa kematian adalah perpindahan dari satu
rumah ke rumah yang lain. Ia bukan akhiran yang misteri dari kehidupan
yang tidak dapat dipahami, tetapi ia hanya sekadar perpindahan. Takut
kepada kematian tidak akan menyelamatkan dari kematian itu sendiri, dan
cinta kepada kehidupan tidak akan memanjangkan ajal. Pada setiap ajal
ada ketentuannya. Maka keberanian merupakan unsur dari unsur-unsur
pembentukan kepribadian Islam dan bagian dari bagian-bagian sel yang ada
dalam tubuh seorang Muslim.
Rasulullah saw juga menyatakan bahwa rezeki
di dunia sudah dijamin dan ditentukan oleh Allah SWT:
"Dan tidak ada suatu binatang melata pun di
bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya. " (QS. Hud: 6)
Jibril mewahyukan kepada Rasul saw bahwa
suatu jiwa tidak akan memenuhi ajalnya sehingga rezekinya disempurnakan.
Jika demikian halnya, maka tidak ada alasan bagi manusia untuk khawatir
terhadap rasa lapar dan gelisah terhadap hari esok. Semua ini terjadi
dalam ruang lingkup mengambil atau melalui jalanjalan menuju sebab.
Yakni berusaha untuk mencapai rezeki yang merupakan kewajiban bagi orang
Muslim dan percaya terhadap kedermawan Allah SWT yang juga merupakan
suatu kewajiban bagi orang Muslim untuk mempercayainya. Allah SWT
berfirman:
"Dan di langit terdapat (sebab-sebab)
rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. " (QS.
adz-Dzariat: 22)
Allah SWT telah menjamin rezeki di dunia
dan memerintahkan manusia untuk berusaha mencapai rezeki di akhirat.
Rezeki di dunia adalah sesuatu yang sudah dijamin, sehingga manusia
tidak perlu melakukan usaha yang terlalu sengit untuk mencapainya. Cukup
baginya untuk berusaha secara benar dan seimbang. Sedangkan berkenaan
dengan rezeki akhirat, Allah SWT memerin-tahkan manusia untuk berusaha
mencapainya karena ia adalah rezeki yang Allah SWT tidak menjaminnya
kecuali jika manusia berhasil melampaui dua jihad: jihad yang besar dan
jihad yang kecil. Jihad besar adalah jihad melawan hawa nafsu dan jihad
kecil adalah jihad melawan musuh di medan perang.
Dengan terbebasnya seorang Muslim dari
kerisauan pada kematian, rezeki, dan rasa takut, maka Islam memberi
seorang Muslim senjatanya dan alat-alatnya dan ia memerintahkannya untuk
mulai memerangi kekuatan-kekuatan kelaliman di muka bumi. Allah SWT
berfirman tentang umat Islam:
"Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari
yang mungkar, dan beriman kepada Allah." (QS. Ali 'Imran: 110)
Perhatikanlah, bagaimana Allah SWT
menyebutkan amal makruf nahi mungkar sebelum keimanan kepada Allah SWT.
Ini dimaksudkan agar akal manusia tergugah akan pentingnyajihad di jalan
Allah SWT. Amal makruf dan nahi mungkar tidak terwujud semata-mata
dengan memegang tongkat dan mencambukannya kepada punggung orang-orang
Islam yang tidak salat; ia juga tidak berupa usaha untuk menahan
orang-orang Muslim yang tidak berpuasa. Masalah itu lebih penting dan
lebih besar dari sekadar memperhatikan hal-hal yang bersifat lahiriah,
sedangkan hal-hal yang bersifat batiniah tidak diperhatikan.
Ayat tersebut berarti, hendaklah seorang
Muslim membawa senjata dan berdakwah di jalan Allah SWT serta memerangi
orang-orang lalim di muka bumi. Abu Bakar berkata: "Wahai manusia,
kalian membaca ayat berikut ini:"
"Hai orang-orang yang beriman, jagalah
dirimu. Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu
apabila kamu telah mendapat petunjuk," (QS. al-Maidah: 105)
Dan aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
"Sesungguhnya ketika masyarakat melihat orang yang lalim dan mereka
tidak menghentikannya, maka Allah SWT akan menimpakan azab kepada mereka
semua."
Penafsiran Abu Bakar terhadap ayat tersebut
sangat jelas artinya. Yakni bahwa pelaksanaan ayat tersebut dapat
diwujudkan dengan adanyajihad di jalan Allah SWT dengan mengangkat
senjata sebagai usaha untuk menghentikan orang-orang yang lalim. Setelah
itu, seorang Muslim dapat mengatakan: "Aku telah melaksanakan tugasku
dan tidak akan berdampak kepadaku orang yang sesat setelah aku
memberikan petunjuk."
Demikianlah pemahaman orang-orang Islam
yang pertama. Maka bandingkanlah pemahaman tersebut dengan pemahaman
kita saat ini di mana kita telah kchilangan keberanian, dan rasa takut
telah menghinggapi tubuh orang-orang Islam. Kaum Muslim lebih
mengutamakan keselamatan diri mcrcka daripada memerangi orang-orang yang
lalim.
Muhammad bin Abdillah datang dengan membawa
risalah Islam yang di dalamnya terdapat perintah Ilahi untuk rnemerangi
orang-orang yang lalim dan mempertahankan kehormatan orang-orang yang
tertindas di muka bumi. Allah SWT berfirman:
"Karena itu, hendaklah orang-orang yang
menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan
Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau
memperoleh kemenangan, maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala
yang besar. Mengapa kamu tidak mau berperang dijalan Allah dan (membela)
orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak
yang semuanya berdoa: 'Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini
yang lalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan
berilah kami penolong dari sisi-Mu. " (QS. an-Nisa': 74-75)
Muhammad bin Abdillah membacakan kepada
kaumnya tentang penafsiran Allah SWT berkenaaan dengan makna kejayaan
yang besar:
"Sesungguhnya Allah telah membeli dari
orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk
mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau
terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam
Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya
(selain) daripada Allah?, maka bergembiralah dengan jual beli yang telah
kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar." (QS. at-Taubah:
111)
Bacalah ayat tersebut dua kali dan
renungkanlah tentang kedermawan Allah SWT. Betapa tidak, Dia membeli
jiwa orang-orang mukmin dan harta mereka, padahal jiwa tersebut dan
harta tersebut pada hakikatnya adalah milik-Nya sendiri. Lihatlah
bagaimana kemuliaan Allah SWT di mana Dia membeli harta milik-Nya yang
khusus dengan surga dan bagaimana Allah SWT menganjurkan orang-orang
Islam untuk berperang, dan Dia memberitahu mereka bahwa urusan memerangi
orang-orang lalim dan orang-orang yang tersesat bukanlah hal yang baru
atas orang-orang Islam. Allah SWT telah memerintahkan hal tersebut dalam
Injil dan Taurat. Sebagaimana Nabi Isa diutus dengan pedang, seperti
yang disebutkan dalam lembaran-lembaran atau buku-buku orang-orang
Nasrani, maka Nabi Musa pun diutus dengan membawa pedang. Dan ketika
Bani Israil berkata kepada Nabi Musa, "pergilah engkau bersama Tuhanmu
dan berperanglah, dan kami hanya di sini duduk-duduk saja,", maka
kehendak Ilahi menetapkan agar mereka mendapatkan kesesatan selama empat
puluh tahun sebagai akibat dari perbuatan mereka itu, agar generasi
yang lemah dan hina itu hancur yang mereka justru tidak memenuhi
panggilan Allah SWT dan mereka membiarkan Nabi Musa bersama Tuhannya
berperang, padahal peperangan itu merupakan tanggung jawab mereka dan
tugas mereka yang harus mereka emban sebagai pengikut Nabi Musa.
Demikianlah esensi dari ajaran Islam
sebagaimana yang dibawa oleh Muhammad bin Abdillah. Yakni ajakan untuk
membaca dan menggali ilmu serta mendapatkan kebebasan dan yang
terpenting adalah usaha melawan kekuatan-kekuatan lalim. Suatu ajakan
yang universal yang tidak dikhususkan untuk kalangan tertentu atau untuk
waraa kulit tertentu atau untuk kaum tertentu atau untuk tempat
tertentu; suatu ajakan kemanusiaan yang komprehensif yang universal yang
ingin mengikat ilmu dan kebebasan dan jihad dengan tujuan yang lebih
tinggi, yaitu mencapai tauhid kepada Allah SWT dan menyucikan-Nya serta
keimanan terhadap hari kemudian dan kebangkitan manusia semuanya di
hadapan Allah SWT.
Adalah salah jika ada orang yang menganggap
bahwa Islam hanya memperhatikan aspek akhirat dan melupakan aspek
duniawi. Menurut Islam dunia adalah lembar-lembar jawaban yang akan
dikoreksi di hari akhir. Ia adalah ujian dan tempat percobaan bagi
manusia agar manusia mengetahui apakah ia layak untuk menda-patkan
kemuliaan dari Allah SWT yang telah diberikan kepada Adam. Atau apakah
iajustru layak untuk jadi bagian dari tanah neraka Jahim dan batunya,
sebagaimana firman Allah SWT:
"Yang bahan bakarnya manusia dan batu. "
(QS. al-Baqarah: 24)
Rasulullah saw telah menjelaskan hikmah
dari penciptaan manusia, penciptaan kehidupan dan kematian ketika beliau
menyampaikan firman Allah SWT dalam surah al-Mulk:
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia
menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amabiya. " (QS.
al-Mulk: 2)
Dunia adalah rumah pergulatan. Dan Allah
SWT telah menciptakan kehidupan dan kematian agar manusia menyadari
siapa di antara mereka yang terbai amalnya. Tentu pengetahuan ini tidak
akan menambah kekuasaan Allah SWT. Pengetahuan itu justru dibutuhkan
oleh manusia. Allah SWT menciptakan manusia agar menusia mengetahui,
danpengetahuan yang paling penting adalah pengetahuan atau pengenalan
terhadap diri. Dan pada hari kiamat manusia akan mengenal dirinya secara
sempurna dan ia akan mengenal balasan yang akan diterimanya secara
sempurna.
Dan barangkali mukadimah yang kami sarikan
dari hari akhir ini mengharuskan kehidupan di atas bumi dipenuhi dengan
kesucian dan kebersihan, yaitu diliputi dengan kemanusiaan yang sempurna
yang di dalamnya manusia layak untuk hidup. Demikianlah Islam yang
dibawa oleh Muhammad saw. Inilah asasnya dan hakikatnya. Itu adalah
pondasi dan hakikat yang tidak diciptakan oleh Muhammad saw dan tak
didahului oleh rasul-rasul sebelumnya. Hakikat risalah-risalah yang dulu
semuanya adalah tauhid dan mempertahankan kebenaran serta keimanan
terhadap hari akhir dan menyerahkan jiwa dan anggota tubuh hanya kepada
Allah SWT. Yang baru dalam Islam adalah ilmu, kebebasan dan
universalitas ajaran Islam serta warna keadilan yang sangat kental,
sehingga sangat tepat jika dikatakan bahwa karakter dari Islam adalah
keadilan. Barangkali bagian ini perlu diperhatikan.
Meskipun agama-agama samawi pada esensinya
satu, tetapi kehendak Allah menuntut turunnya lebih dari agama dan lebih
dari satu nabi. Kehendak tersebut menuntut agar pada setiap agama
terdapat karakter yang khusus yang menggambarkan bentuk yang paling
tepat sesuai dengan kebutuhan utama yang di situ agama itu diturunkan
dan sesuai dengan waktu saat itu. Orang-orang Yahudi misalnya, mereka
hidup di tengah-tengah suasana penyembahan berhala dikalangan
orang-orang Mesir kuno. Yahudisme diturunkan pada Bani Israil yang suka
membangkang dan karena itu, karakter utamanya adalah ketegasan
(as-Sharamah) agar mereka tidak terpengaruh dengan fenomena berhalaisme
ala Mesir atau mereka terkena pengaruh dari tindakan semena-mena
Fir'aun. Dengan ketegasan inilah agama Yahudi selamat dan dapat menjadi
risalah penyelamatan dan pembebasan.
Namun Bani Israil yang memperbudak manusia
dan mempunyai hati yang keras pada saat yang sama mereka keluar dari
Fir'aun untuk masuk ke cengkraman orang-orang Romawi di mana orang-orang
Romawi justru lebih lalim dan lebih kuat dari orang-orang Mesir. Oleh
karena itu, orang-orang Masehi bertanggung jawab untuk melakukan
pembebasan baru tetapi dengan cara yang berbeda sesuai dengan perubahan
keadaan. Cara tersebut adalah menjauhkan penggunaan kekuatan bersenjata
karena kekuatan orang-orang Romawi mengungguli kekuatan saat itu dan
menguasai bumi secara keseluruhan. Maka kemenangan yang mungkin dapat
diperoleh adalah dengan cara menghindari tindak kekerasan dan lebih
mengutamakan pendekatan cinta. Dan pada kali yang lain orang-orang
Masehi memperoleh kemenangan melalui cara kedamaian dan cinta yang
disebarkannya atas imperialisme Romawi dengan segala senjatanya dan
kekuasaannya.
Adapun Islam datang sebagai agama yang
terakhir dan menyeluruh yang layak untuk diterapkan di muka bumi,
sehingga Allah SWT mewariskan bumi dan apa saja yang ada di dalamnya
kepada orang-orang yang berhak mewarisinya. Oleh karena itu, agama yang
terakhir ini harus mempunyai karakter khusus dan karakter itu adalah
karakter keadilan.
Ketegasan hanya cocok untuk zaman tertentu
dan kelompok tertentu dan keadaan tertentu, sedangkan cinta adalah
contoh yang tertinggi, tetapi ia tidak dapat menjadi sesuatu tolok ukur
untuk dibandingkan dengan tindakan-tindakan tertentu atau untuk
dijadikan alat untuk melakukan sesuatu. Dan jika ia menjadi tolok ukur
bagi orang-orang yang memilki perasaan yang tinggi atau budaya yang
tinggi, maka ia tidak dijadikan tolok ukur umum dan universal. Adapun
keadilan, maka ia menjadi karakter Islam yang berarti keseimbangan dalam
sifat-sifat keutamaan dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Ini
adalah tolok ukur yang menyeluruh dan barometer yang akhir. Dan
barangkali kebesaran keadilan dan pengaruhnya dalam pengaturan alam
bersandarkan kepada firman Allah SWT:
"Allah menyatakan bahwasannya tidak ada
Tuhan melainkan Dia. Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan
orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu)." (QS. Ali
'Imran: 18)
Apabila Allah SWT dalam Islam merupakan
cermin yang tertinggi, maka keadilan yang disaksikan oleh Allah SWT
terhadap diri-Nya sendiri harus menjadi karakter Islam dan kaum Muslim.
Keadilan dalam Islam bukan hanya keadilan ekonomi atau keadilan hukum
atau keadilan dalam balasan, tctapi ia mencakup semuanya. Sebelum semua
ini dan sesudahnya, kcadilan dalam Islam merupakan suatu sistem dalam
kehidupan dan metode utama dalam Islam.
Ketika Anda memalingkan pandangan Anda
dalam Islam, maka Anda akan menemukan keadilan menghiasi seluruh wajah
Islam. Di sana terdapat keadilan antara agama-agama yang dulu, keadilan
antara individu dan masyarakat, keadilan antara dunia dan agama,
keadilan antara pria dan wanita, keadilan untuk orang-orang yang fakir
dan orang-orang yang kaya, keadilan antara para penguasa dan rakyat,
bahkan dengan keadilan itu sendiri bumi dan langit ditegakkan dan Allah
SWT menyebut diri-Nya sebagai al-'Adl (Yang MahaAdil).
Selanjutnya, Islam adalah agama yang sudah
lama sebagaimana lamanya kedatangan para nabi. Nabi Nuh as berkata dalam
surah Yunus:
"Jika kamu berpaling (dari peringatanku),
aku tidak meminta upah sedikit pun darimu. Upahku tidak lain hanyalah
dari Allah belaka dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan
orang-orang yang berserah diri (kepadanya)." (QS. Yunus: 72)
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail as berkata
dalam surah al-Baqarah saat keduanya membangun Ka'bah:
"Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan
kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ya Tuhan Kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduh patuh kepada
Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat
haji hami, dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Menerima taubat lagi Maha Penyayang. " (QS. al-Baqarah: 127-128)
Nabi Ibrahim tidak lupa untuk berwasiat
kepada keturunannya dan di antara mereka adalah Yakub agar mereka mati
dalam keadaan Islam. Allah SWT berfirman:
"Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu
kepada anaknya, Demikian pula Yakub. (Ibrahim berkata): 'Hai
anak-anakku, Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka
janganlah hamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.'" (QS.
al-Baqarah: 132)
Ketika kematian mendekati Yakub, beliau
mengumpulkan anak-anaknya di sekelilingnya dan bertanya kepada mereka:
"Apa yang kamu sembah sepeninggalku? Mereka
menjawab: 'Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenak moyangmu,
Ibrahim, Ismail, dan hhaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya
tunduk patuh kepadanya.'" (QS. al-Baqarah: 133)
Allah SWT memberitahu kita dalam surah
Yunus tentang perkataan Nabi Musa kepada kaumnya:
"Hai kaumku, jika kamu beriman kepada
Allah, maka bertawakallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang
yang berserah diri." (QS. Yunus: 84)
Sementara itu, Nabi Sulaiman adalah seorang
Muslim sesuai dengan nas ayat-ayat yang menceritakan tentang kisahnya
bersama Ratu Saba' ketika Ratu tersebut berkata:
"Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat
lalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada
Allah, Tuhan semesta alam." (QS. an-Naml: 44)
Demikian juga Nabi Yusuf, beliau berdoa
kepada Allah SWT dan meminta kepadanya agar mematikannya sebagai orang
Muslim dan memasukannya dalam kelompok orang-orang yang saleh. Allah SWT
berfirman dan bercerita tentang Yusuf dalam surah Yusuf:
"Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah
menganugerahkan kepadaku sebagaian kerajaan dan telah mengajarkan
kepadaku sebagian ta'bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi,
Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam
keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh."
(QS.Yusuf: 101)
Sementara itu dalam surah al-Maidah, Allah
SWT mewahyukan kepada kaum Hawariyin agar mereka beriman kepadanya dan
kepada rasul-Nya lalu mereka berkata:
"Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai
rasul) bahwa Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada
seruanmu)." (QS. al-Maidah: 111)
Jadi, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Ismail,
Nabi Yakub, Nabi Musa Harun, Nabi Sulaiman, Nabi Yusuf, Nabi Isa adalah
nabi-nabi yang Muslim sesuai dengan nas ayat-ayat tersebut. Maka seluruh
nabi adalah orang-orang Muslim, lalu bagaimana Nabi Muhammad saw
sebagai Nabi yang terakhir dikatakan sebagai orang Muslim yang pertama?
Allah SWT berfirman dalam surah al-An'am
yang ditujukan kepada Nabi yang terakhir:
"Katakanlah: 'Sesungguhnya shalatku,
ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam,
tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku
dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada
Allah).'" (QS. al-An'am: 162-163)
Maka, bagaimana beliau menjadi orang Muslim
yang pertama, padahal penamaan umat beliau dengan sebutan al-Muslimin
adalah penamaan yang sebenarnya sudah dahulu dikenal di kalangan
nabi-nabi yang terdahulu dan kedatangannya ke alam wujud dan penamaan
agamanya dengan sebutan al-Islam sebenarnya berhutang kepada kakeknya
yang jauh, yaitu Nabi Ibrahim. Allah SWT berfirman dalam surah al-Hajj:
"Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk
kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu
Ibrahim. Dia telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu.
" (QS. al-Hajj: 78)
Tidak ada pertentangan dalam pendahuluan
para nabi dengan sebutan al-Muslimin daripada Rasulullah saw dan
kedudukan beliau sebagai orang Muslim yang pertama. Tentu kata al-Awwal
(yang pertama) di sini tidak dipahami dari sisi waktu atau masa
kemunculan, tetapi yang dimaksud dengan orang Muslim di sini adalah
akmalul muslimin (orang yang paling sempurna di antara orang-orang
Muslim). Suatu kali Aisyah pernah ditanya tentang akhlaknya Rasulullah
saw lalu dia menjawab dengan kalimatnya yang singkat: "Akhlak beliau
adalah Al-Qur'an."
Kita mengetahui bahwa Al-Qur'an al-Karim
menetapkan akhlak yang mulia meskipun dalam batasannya yang sederhana
dan rendah, dan menyebutkan keutamaan akhlak dalam tingkatannya yang
tinggi. Oleh karena itu, akhlak seperti apa yang dimiliki oleh
Rasulullah saw: apakah beliau memiliki akhlak yang sifatnya
tengah-tengah, atau apakah beliau mendahului dalam kebaikan, atau apakah
beliau termasuk ashabul yamin (orang-orang yang berasal di sebelah
kanan), atau apakah beliau termasuk al-Muqarrabin (orang-orang yang
dekat dengan Allah SWT)?
Rasulullah saw tidak hanya memiliki semua
karakter tersebut dan atribut tersebut, bahkan kedudukan beliau lebih
dari itu semua. Beliau berada di puncak dari segala puncak keutamaan
akhlak, sehingga beliau berhak untuk mendapatkan sebutan dari Allah SWT:
"Dan sungguh pada dirimu terdapat budi
pekerti yang agung. " (QS. al-Qalam: 4)
Para Mufasir berbeda pendapat tentang makna
dari al-Huluqul 'adzim (budi pekerti yang agung). Sebagian mereka
mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Al-Qur'an. Sebagian yang lain
mengatakan itu adalah Islam. Ada juga yang mengatakan bahwa beliau tidak
memiliki sesuatu kecuali keinginan untuk menuju jalan Allah SWT.
Dalam Al-Qur'an al-Karim terdapat
penjelasan tentang derajat beliau yang tinggi dalam dua ayat yang mulia.
Ayat yang pertama adalah firman-Nya:
"Katakanlah: 'Sesungguhnya Shalatku,
ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam,
tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku
dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada
Allah).'" (QS. al-An'am: 162-163)
Beliau adalah orang yang paling utama di
antara manusia semuanya; beliau memiliki keutamaan yang melebihi semua
manusia; beliau memiliki rahmat dan kemuliaan yang tidak dapat
ditandingi oleh seseorang pun. Meskipun beliau datang sebagai Nabi yang
terakhir namun justru karena posisi beliau sebagai Nabi yang terakhir,
maka beliau menjadi bata yang terakhir dalam pembangunan rumah kenabian
yang tinggi, sehingga bata yang terakhir itu harus menjadi puncak
pembangunan manusia. Sedangkan ayat yang kedua adalah firman-Nya:
"Dan Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai
rahmat bagi alam semesta." (QS. al-Anbiya': 107)
Beliau bukan hanya menjadi rahmat bagi
orang-orang Arab saja; beliau bukan hanya menjadi rahmat bagi
orang-orang Quraisy dan beliau bukan menjadi rahmat bagi zamannya saja,
begitu juga beliau tidak menjadi rahmat bagi jazirah Arab saja, tetapi
beliau menjadi rahmat bagi alam semesta; beliau senantiasa menjadi
rahmat bagi alam semesta: dimulai dari diturunkannya wahyu kepadanya
dengan kalimat iqra hingga Allah SWT mewariskan bumi dan apa saja yang
ada di dalamnya kepada orang-orang yang berhak mewarisinya sampai hari
kiamat. Alhasil, beliau adalah rahmat yang dihadiahkan kepada manusia;
beliau adalah rahmat yang tidak menonjolkan mukjizat yang mengagumkan,
tetapi beliau adalah rahmat yang memulai dakwah dengan mengutamakan
fungsi akal atau pembacaan dua kitab: pertama, pembacaan kitab alam atau
Al-Qur'an yang diciptakan atau kalimat-kalimat Allah SWT yang terdiri
dari jutaan bentuk dan kedua pembacaan Al-Qur'an yang diturunkan melalui
malaikat Jibril di mana ia merupakan kalamullah yang abadi. Dan kitab
alam dibaca dengan ribuan cara: dibaca melalui penelusuran dunia:
"Katakanlah: 'Berjalanlah kamu di mnka bumi
dan amat-amatilah.'" (QS. an-Naml: 69)
Atau dibaca melalui usaha menyingkap
misteri dan penggunaan akal:
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka
tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka
sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar.
" (QS. Fushilat: 53)
Atau dibaca melalui ilmu dan pengamatan:
"Atau siapakah yang telah menjadikan bumi
sebagai tempat berdiam, dan yang telah menjadikan sungai-sungai di
celah-celahnya, dan yang menjadikan gunung-gunung untuk (mengokohkan)nya
dan menjadikan suatu pemisah antara dua laut 1 Apakah di samping Allah
ada tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak
mengetahui." (QS. an-Naml: 61)
Jika di sana terdapat ribuan jalan atau
cara untuk membaca kalimat-kalimat Allah SWT dan kitab alam, maka di
sana terdapat satu jalan untuk membaca kalamullah yang abadi, yaitu
hendaklah Al-Qur'an dibaca dengan mata hati dan kecermelangan basirah,
sehingga Al-Qur'an menjadi bagian akhlak dari yang membaca sesuai dengan
kemampuannya.
Sebelum turunnya Al-Qur'an, dunia diliputi
dengan kekurangan, baik secara materi, ruhani, undang-undang maupun dari
dimensi kehidupan yang biasa melekat pada manusia saat itu. Dan sebelum
diutusnya Rasul saw yang beliau adalah manusia yang sempurna dan paling
utama, alam belum mencapai puncak dari penyerahan diri kepada Allah SWT
atau puncak dari keutamaan akhlak. Ketika Rasulullah saw diutus, maka
manusia mengalami kesempurnaan dan mampu mencapai tingkat
kesempurnaannya. Dengan Kitab yang mulia ini dan Nabi yang pengasih,
Allah SWT yang menyempurnakan agama bagi manusia dan menyempurnakan
nikmat-Nya atas mereka, sebagaimana firman-Nya:
"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itujadi agama bagimu. " (QS. al-Maidah: 3)
Namun semua itu tidak terwujud begitu saja,
Nabi yang mulia harus berjuang secara serius dan sungguh-sungguh,
sehingga beliau menjadi manusia yang paling layak untuk mendapatkan
pujian pendduduk bumi dan penduduk langit. Dan Rasulullah saw telah
melakukan semua itu. Kita tidak mengenal seorang nabi yang perasaannya
dihina dan dicaci maki lebih dari apa diterima oleh Muhammad bin
Abdillah; kita tidak mengenal seorang nabi yang memikul berbagai
penderitaan, dan memiliki kesabaran yang mengagumkan di jalan Allah SWT
sebagaimana yang ditunjukkan oleh Nabi kita.
Kemudian, seorang yang diutus oleh Allah
SWT sebagai rahmat bagi alam semesta tidak akan mengajak manusia menuju
kebenaran kecuali jika manusia tersebut dari kalangan orang-orang yang
kafir dan membangkang. Beliau berdakwah bagi orang yang berhak
mendapatkan dakwah; beliau siap memikul tanggung jawab dakwah dengan
berbagai tantangan dan cobaannya; beliau menunjukkan kesabaran yang luar
biasa. Setelah itu, beliau datang kepada Allah SWT dengan hati yang
puas dan air mata yang bercucuran dan dengan suara berbisik berkata: "Ya
Allah, jika tidak ada kemurkaan pada diri-Mu, maka aku tidak akan
peduli dengan manusia." Segala sesuatu akan menjadi mudah jika di sana
terdapat ridha Allah SWT.
Setelah turunnya wahyu kepada Rasul saw,
beliau memulai tahapan dakwah dan mengajak manusia untuk menyembah Allah
SWT. Dimulailah dakwah secara rahasia yang berlangsung selama tiga
tahun dalam persembunyian.
Mula-mula Ummul Mu'minin, Khadijah binti
Khuwailid beriman kepadanya, lalu beriman juga sahabatnya, Abu Bakar
sebagaimana beriman kepadanya anak pamannya, Ali bin Abi Thalib yang
saat itu masih kecil dan hidup di bawah asuhan Muhammad, dan juga
beriman kepadanya Zaid bin Tsabit, seorang pembantunya. Kemudian Abu
Bakar juga ikut berdakwah, sehingga ia memasukkan dalam dakwah
teman-temannya, seperti Usman bin Affan, Thalha bin Ubaidilah, dan Sa'ad
bin Abi Waqas. Juga beriman seorang Masehi, yaitu Waraqah bin Nofel dan
Rasulullah saw melihatnya setelah kematiannya tanda kesenangan yang itu
menunjukkan ketinggian derajatnya di sisi Allah SWT. Setelah itu, Abu
Dzar al-Ghifari juga masuk Islam, lalu disusul oleh Zubair bin Awam dan
Umar bin 'Anbasah serta Sa'id bin 'Ash. Jadi, Islam mulai mengepakkan
sayapnya secara rahasia di Mekah.
Kemudian berita tersebarnya akidah yang
baru ini sampai kepada pembesar-pembesar Quraisy, tetapi mereka tidak
begitu peduli. Barangkali mereka membayangkan bahwa Muhammad telah
menjadi—karena uzlah yang dilakukannya di gua Hira—salah seorang juru
bicara tentang ketuhanan sebagaimana pernah dilakukan oleh Umayah bin
Shalt dan Qas bin Sa'adah.
Demikianlah dakwah secara rahasia berhasil
mengembangkan misinya dan dapat melindungi akidah yang baru. Dan selama
perjalanan tiga tahun yang dibutuhkan tahapan dakwah secara rahasia
keimanan telah tertanam dalam hati kaum Muslim yang pertama. Rasulullah
saw telah mendidik mereka dan telah menanamkan kepada diri mereka
sifat-sifat kemuliaan dan telah menciptakan mereka sebagai benih pertama
dari pasukan Islam. Pada suatu hari Jibril turun dengan membawa firman
Allah SWT:
"Dan berilah peringatan kepada
kerabat-kerabatmu yang terdekat." (QS. asy-Syu'ara': 214)
Demikianlah, datanglah perintah Ilahi agar
Rasulullah saw berdakwah secara terang-terangan. Lalu berkumpullah di
sekeliling Nabi sekelompok tentara yang besar dan datanglah perintah
Ilahi agar beliau menyampaikan dakwah secara terang-terangan dan
mengingatkan keluarga dekatnya. Ketika Nabi melakukan hal tersebut, maka
dakwah memasuki tahapan yang kedua. Dan tahapan dakwah yang baru ini
berakibat pada timbulnya penekanan terhadap para dai di mana mereka
mengalami penindasan, bahkan mereka didustakan oleh masyarakat serta
diboikot.
Orang-orang Quraisy mengetahui bahwa
Muhammad berbahaya bagi mereka. Beliau bukan hanya berbicara tentang
ketuhanan, tetapi beliau mengajak rnanusia untuk mengikuti agama baru,
yaitu agama yang mencoba untuk menyingkirkan berhala-berhala dan
patung-patung mereka serta tuhan-tuhan mereka yang mereka yakini; agama
yang mencoba menyingkirkan kedudukan sosial mereka dan
kepentingan-kepentingan ekonomi mereka; agama yang menyatakan bahwa
tiada tuhan lain selain Allah SWT, dan tiada hukum lain selain
hukum-Nya, serta tiada penguasa lain selain Dia. Kedatangan agama
tersebut menyebabkan penduduk kota Mekah membencinya dan orang-orang
yang memegang kekuasaan di dalamnya merasa gelisah.
Setelah pengumuman dakwah secara
terang-terangan, dimulailah dan ditabuhlah gendrang peperangan. Kemudian
peperangan yang dahsyat terjadi antara para pembesar Quraisy dan para
pengikut Rasulullah saw. Orang yang pertama kali menyerang Islam adalah
seorang tokoh Mekah yang bernama Abu Lahab.
Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw
menaiki bukit Shafa dan beliau mulai memanggil-manggil tokoh Quraisy dan
para kabilah Mekah. Dan ketika semua berkumpul, beliau bertanya kepada
mereka: "Apakah kalian percaya jika aku memberitahu kalian bahwa seekor
kuda akan datang menyerang kalian?" Mereka menjawab: "Tentu, kami belum
pernah melihatmu berbohong." Beliau berkata: "Aku seorang yang diutus
sebagai pemberi peringatan terhadap kalian. Di hadapanku terdapat
siksaan yang berat jika kalian menentang." Abu Lahab berkata: "Sungguh
celaka engkau, apakah karena ini engkau mengumpulkan kami."
Dengan penghinaan inilah, peperangan
terhadap Islam dimulai. Ketika kaum Muslim tidak mampu mempertahankan
diri mereka, maka mula-mula Allah SWT membantu mereka dan menolong
mereka dengan menurunkan surah yang pendek yang mengecam tindakan Abu
Lahab:
"Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan
sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah bermanfaat kepadanya harta
bendanya dan apa yang dia usahahan. Kelak dia akan masuk ke dalam api
yang bergejolak. Dan (begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar. Yang
di lehernya ada tali dari sabut. " (QS. Allahab: 1-5)
Dengan ayat-ayat yang pendek dan tepat
tersebut, Abu Lahab memasuki kancah sejarah dari pintunya yang paling
pendek. Gambaran tentang kejahatan Abu Lahab tertulis selama-lamanya.
Abu Lahab adalah seorang yang menentang dakwah kebenaran karena ia
mengkhawatirkan kedudukannya dan kekayaannya, padahal harta yang
dipertahankannya dan dijaganya tidak memiliki arti sama sekali di sisi
Allah SWT karena ia sekarang berada dan dijebloskan di tengah-tengah
neraka yang menyala-nyala, sedangkan isterinya membawa kayu bakar,
sehingga menambah nyala api itu sendiri. Dan di lehernya terdapat suatu
belenggu sebagai simbol keterikatannya dengan dunia binatang yang tidak
berakal. Sebagian besar orang-orang yang menentang dakwah adalah
orang-orang yang berhubungan dengan dunia binatang yang tidak sadar.
Allah SWT berfirman:
"Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan
mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah
seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari
binatang ternak itu). " (QS. al-Furqan: 44)
Seandainya hari ini kita merenungkan reaksi
orang-orang kafir dan orang-orang musyrik, maka kita akan
terheran-heran.
Allah SWT berfirman:
"Dan mereka heran karena mereka kedatangan
seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang
kafir berkata: 'Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta.
Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang Satu saja? Sesungguhnya
ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan'." (QS. Shad: 4-5)
Coba perhatikan bagaimana kebodohan kaum
itu di mana mereka menganggap bahwa pada hakikatnya terdapat multi tuhan
dan mereka jutru merasa heran ketika terdapat hanya satu tuhan atau
tuhan yang esa. Mereka justru merasa heran ketika berhadapan dengan
masalah yang fitri dan jelas ini.
Allah SWT berfirman:
"Dan apabila mereka melihat kamu
(Muhammad), mereka hanyalah menjadikan kamu sebagai ejekan (dengan
mengatakan): 'Inikah orangnya yang diutus Allah sebagai rasul?
Sesungguhnya hampirlah ia menyesatkan kita dari sembahan-sembahan kita,
seandainya kita tidak sabar (menyembah)nya. " (QS. al-Furqan: 41-42)
Perhatikanlah betapa nekatnya kaum itu di
mana mereka mulai menghina dan mengejek Rasulullah saw, padahal beliau
telah datang di tengah-tengah mereka untuk menyelamatkan mereka dari api
neraka, dan coba perhatikan bagaimana pandangan mereka terhadap
tuhan-tuhan mereka. Mereka membayangkan bahwa mereka nyaris tersesat
jika mereka tidak bersabar dalam membela tuhan-tuhan tersebut.
Demikianlah kesesatan mengejek kebenaran dan kebodohan menghina ilmu.
Mereka justru merasa heran terhadap kepandaiannya yang dapat
menyelamatkannya dari meninggalkan tuhan-tuhannya yang terbuat dari batu
dan kayu, bahkan terkadang mereka membuat tuhan dari adonan roti di
mana mereka menyembahnya kemudian memakannya. Mereka mengatakan bahwa
tuhan-tuhan kami menyelamatkan kami dari rasa lapar atau mereka
mengatakan bahwa kami menyembah mereka agar mereka dapat mendekatkan
kami pada Allah sedekat-dekatnya.
Meskipun demikian, dakwah Nabi terus
berlanjut dan tertanam di muka bumi. Mereka orang-orang musyrik menuduh
Nabi sebagai seorang dukun; mereka menuduhnya juga sebagai seorang gila,
bahkan mereka menuduhnya sebagai seorang penyihir; mereka menuduh bahwa
beliau berbohong atas nama kebenaran dan beliau dibantu oleh kaum yang
lain; mereka mengatakan ini adalah dongengan orang-orang yang dahulu.
Mereka meminta kepada beliau untuk
mendatangkan mukjizat dengan bentuk tertentu; mereka memberitahu bahwa
mereka tidak akan beriman kepadanya, sehingga terdapat suatu mata air
yang memancar dari bumi atau terwujud di depan mereka suatu taman dari
pohon kurma dan anggur yang memancar di tengah-tengahnya sungai, atau
langit akan runtuh sebagaimana yang beliau sampaikan kepada mereka
sebagai bentuk azab atau beliau datang dengan Allah SWT dan para
malaikat dan mereka semua menjamin kebenaran dakwah yang diserukannya,
atau beliau memiliki rumah dari emas atau beliau mampu mendaki langit
dan mereka masih belum beriman terhadap pendakian itu meskipun ia
mendaki di hadapan mata mereka dan kembali dengan selamat, kecuali jika
ia menghadirkan kitab kepada mereka yang dapat mereka baca dari langit.
Nabi tidak peduli dengan usaha mereka untuk
menyakiti hati beliau; Nabi tetap memberitahu mereka dengan penuh
kelembutan bahwa apa saja yang mereka minta itu tidak sesuai dengan
Islam. Sebab, Islam hanya menyeru akal dan berusaha menciptakan
kebebasan. Beliau menyampaikan kepada mereka bahwa beliau hanya sekadar
manusia yang diutus oleh Tuhan; beliau datang kepada mereka untuk
mengingatkan mereka akan suatu hari di mana seorang tua tidak akan
menyelamatkan anaknya dan tidak bermanfaat di dalamnya harta dan
anak-anak, dan mereka tidak akan selamat di dalamnya dari siksaan.
Orang-orang yang mempunyai kedudukan atau para tokoh mereka adalah para
tiran-tiran di muka bumi di mana semua itu tidak akan bermanfaat bagi
mereka pada hari kiamat. Siksaan yang bakal mereka terima tidak dapat
mereka hindari dan mereka pun tidak dapat meringankannya.
Demikianlah Islam—sebagaimana agama-agama
sebelumnya— mengumpulkan di sekelilingnya orang-orang yang berakal dan
orang-orang yang fakir serta orang-orang yang menderita di muka bumi.
Berimanlah sekelompok orang-orang fakir di mana mereka menjadi kelompok
sosial yang tertindas dan tersingkirkan di Mekah. Mereka menjadi makanan
empuk kelompok-kelompok yang lalim.
Islam bukan hanya memberikan solusi ekonomi
terhadap tragedi kehidupan atau masyarakat, tetapi Islam memberikan
solusi Ilahi terhadap keberadaan manusia secara umum; Islam meyakini
bahwa manusia bukan hanya sekadar perut yang harus dikenyangkan dan
naluri seksual yang harus dipuaskan, manusia bukan hanya dilihat dan
dinilai dari sisi ini, namun Islam justru meletakkan manusia pada
tempatnya yang hakiki, tanpa membesar-besarkan atau mengecilkannya.
Dalam pandangan Islam, manusia terdiri dari bangunan fisik dan ruhani,
terdiri dari akal dan ambisi dan terdiri dari celupan dari Allah SWT
dalam ruhnya.
Islam tidak mementingkan fisik saja dan
meninggalkan ruhani, begitu juga sebaliknya. Terkadang fisik boleh jadi
mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan, tetapi ruhani justru mengalami
penderitaan yang luar biasa. Karena itu, pemuasan salah satu dimensi
dari dimensi manusia tidak akan membawa manusia kepada kesempurnaan atau
kebahagiaan. Maka, Islam datang untuk membawa suatu solusi yang dapat
menyelamatkan manusia dari dalam dirinya sendiri dan Islam membebankan
tugas ini, yakni tugas perubahan ini kepada Al-Qur'an.
Al-Qur'an menjadi cermin dalam kehidupan di
mana ayat-ayatnya diturunkan kepada Rasul saw, lalu beliau
mengajarkannya kepada kaum Muslim. Kemudian Al-Qur'an berubah menjadi
orang-orang yang berjalan di pasar-pasar dan mengancam singgasana
kebencian yang menguasai Mekah, sehingga orang-orang musyrik justni
meningkatkan usaha pengejekan dan penghinaan terhadap Rasul saw. Oleh
karena itu, beliau semakin sedih lalu Allah SWT menghiburnya. Allah SWT
memberitahu beliau bahwa mereka tidak mendustakannya, tetapi mereka
justru melalimi diri mereka sendiri. Mereka mulai menentang Nabi dan
ayat-ayat Allah SWT, padahal Nabi adalah salah satu dari ayat Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Kami mengetahui bahwasannya
apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah hamu bersedih
hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi
orang-orang yang lalim itu mengingkari ayat-ayat Allah." (QS. al-An'am:
33)
Kemudian kaum musyrik meningkatkan
penindasan kepada Rasul saw dan para pengikutnya. Peperangan dimulai:
dari peperangan urat saraf sampai peperangan fisik. Mereka mulai
menyiksa para pengikut Rasul saw, bahkan membunuhnya. Pada saat itu,
musuh-musuh Islam membayangkan bahwa dengan cara menindas kaum Muslim
dan menekan mereka dakwah Islam akan berhenti dan kaum Muslin akan
enggan untuk berdakwah. Mereka menganggap bahwa kaum Muslim justru
memilih untuk menyelamatkan diri mereka. Namun para tokoh-tokoh Quraisy
dan para tokoh-tokoh Mekah dikagetkan ketika melihat penekanan yang
mereka lakukan justru semakin membakar semangat kaum Muslim untuk
berdakwah. Saat itu kaum Muslim merasa yakin bahwa benih yang telah
ditanam Rasulullah saw dalam diri mereka menjadikan mereka tetap
bersemangat untuk menyebarkan risalah Allah SWT di muka bumi, yaitu
suatu risalah yang mengembalikan bumi menuju kematangan (kesempurnaan)
yang telah hilang darinya dan kema-nusiaan yang telah disia-siakan serta
kehormatan yang telah ditumpahkan dan kebebasan yang telah hilang.
Kaum Muslim yakin bahwa mereka bukan hanya
membangun suatu negeri yang kecil di Mekah, dan mereka bukan hanya
memperbaiki masyarakat yang rusak, yaitu masyarakat jazirah Arab, tetapi
mereka mengetahui bahwa mereka akan membangun suatu manusia yang baru.
Mereka akan menciptakan manusia seutuhnya; mereka akan menghadirkan
dunia dalam bentuk yang baru dan dalam gambar yang baru yang merupakan
cermin dari gambar kebesaran sang Pencipta.
Sebelum kedatangan Islam, orang-orang Arab
tidak dikenal. Dibandingkan dengan peradaban yang dahulu dan modern,
orang-orang Arab tidak memiliki apa-apa. Mereka tidak memberikan
kontribusi kepada dunia dalam bentuk ilmu, seni, atau peninggalan apa
pun yang dapat dijadikan sebagai kebanggaan. Namun ketika Islam turun
kepada mereka, mereka menjadi cermin kejayaan manusia di mana mereka
dapat memberikan sumbangan nyata pada umat manusia. Bahkan orang-orang
Barat banyak berhutang kepada mereka dalam kemajuan yang mereka capai
saat ini. Sebaliknya, ketika mereka berpaling dari Islam di mana Islam
hanya menjadi lembaran cerita-cerita dan kertas-kertas yang tidak
berguna, maka saat itulah orang-orang Barat dapat menguasai kaum Muslim
karena mereka justru mendapatkan ilmu dari Kaum Muslim itu sendiri.
Mereka justru mencapai kemajuan ketika kaum Muslim meninggalkan agama
mereka. Jadi, ketika kaum Muslim memahami Islam secara benar dan
berusaha untuk memnghidupkan ajaran-ajarannya niscaya mereka akan
mencapai puncak keilmuan.
Pada awal-awal masa tersebarnya Islam, kaum
Muslim menyadari bahwa mereka menghadapi peperangan yang tidak akan
berhenti. Selama kehidupan ada, maka pertentangan pun tetap ada. Oleh
karena itu, ketika mereka mendapatkan penganiayaan dan siksaan, maka
keimanan mereka justru semakin meningkat, dan setiap penganiayaan yang
dilakukan oleh kaum Quraisy, maka mereka tetap bertahan untuk
mempertahankan kebenaran. Sebagai contoh, Amar bin Yasir mengalami
penderitaan dan penganiayaan. Ia adalah salah seorang budak yang menjadi
korban dari sistem ekonomi yang berlaku saat itu, yaitu ekonomi yang
berdasarkan kepada sistem perbudakan. Seorang yang beriman tersebut
disiksa di Mekah di mana ia tidak memperoleh kebebasannya yang hakiki
kecuali setelah ia memeluk Islam. Mereka mengeluarkannya ke gurun dan
menyiksanya beserta ibunya. Bahkan siksaan semakin meningkat atas ibunya
agar ia kembali menjadi musyrik. Ketika ia tetap mempertahankan
keimanannya dan dengan tegas menolak ajakan untuk menentang Islam, maka
Abu Jahal menikamnya dengan belati yang ada di dua tangannya. Ia pun
meninggal. Dan Islam mengorbankan syahidnya yang pertama. Wanita mulia
itu bernama Sumayah, ibu dari Amar bin Yasir.
Banyak kalangan orang-orang bodoh
mengatakan tentang persetujuan Islam terhadap sistem perbudakan, atau
Islam mendiamkan sistem perbudakan. Mereka lupa bahwa Islam dibangun
berdasarkan suatu prinsip yang ingin membebaskan perbudakan dengan
segala bentuknya; Islam ingin mengeluarkan manusia dari kepemilikan
sesama manusia menuju kepemilikan kepada Allah SWT.
Jika Islam tidak turun dengan nas-nas yang
terperinci yang mengharamkan sistem perbudakan, maka dasar-dasarnya
secara umum dan prinsip-prinsip utamanya menghentikan—baik dalam
tindakan maupun ucapan—sumber-sumber sistem ini. Allah SWT sebagai
pemilik syariat mengetahui bahwa sistem perbudakan adalah sistem ekonomi
yang sementara yang akan berubah dengan perubahan waktu, dan karena
Islam tidak turun pada waktu yang terdapat perbudakan saja, tetapi ia
turun secara umum dan menyeluruh untuk setiap zaman, maka Islam sengaja
melewati bentuk-bentuk yang temporal ini dari bentuk-bentuk eksploitasi
menuju unsur yang pertama atau dasar pertama yang menimbulkan
bentuk-bentuk eksploitasi tersebut, sehingga Islam mengharamkannya.
Dengan cara demikian, Islam mengharamkan sistem perbudakan secara
bertahap, seperti proses pengharaman khamer. Jadi, keseriusan Islam
sangat menonjol dalam usaha menghapus dan mengharamkan perbudakan.
Jika dikatakan kepada kita bahwa Islam
membolehkan para tentaranya untuk memperbudak para tawanan perang, maka
kita akan mengatakan bahwa Islam menerapkan sistem ini sebagai bentuk
pembalasan terhadap perlakuan yang sama di mana musuh-musuh Islam
menjadikan kaum Muslim sebagai budak-budak mereka ketika mereka
menawannya. Oleh karena itu, secara alami orang-orang Islam pun menawan
mereka sebagai budak-budak. Jika Islam tidak melakukan yang demikian,
maka boleh jadi Islam akan dimain-mainkan dan ada kesempatan besar bagi
orang-orang musyrik untuk memperdaya Islam.
Demikianlah bahwa dakwah Islam mengalami
berbagai macam hambatan dan penindasan. Dan ketika orang-orang yang
tersiksa mengadu kepada Rasulullah saw atas penindasan yang mereka
terima, maka Rasulullah saw memberitahu mereka dengan pembicaraan yang
jelas bahwa para dai di jalan Allah SWT harus mengorbankan kesenangan
mereka, kedamaian mereka, dan darah mereka sebagai harga yang pantas
untuk tersebarnya dakwah Islam. Kebebasan bukan diperoleh dengan
cuma-cuma. Sejarah kehidupan menceritakan kepada kita bahwa ia dipenuhi
dengan gumpalan darah yang harus dibayar oleh masyarakat untuk memerangi
musuh-musuhnya dari luar dan dari dalam. Jika ini dialami setiap orang
yang menuntut kebebasan pada zaman dan tempat tertentu, maka bagaimana
dengan orang-orang yang menuntut kebebasan manusia secara keseluruhan.
Seorang Muslim hendaklah sadar bahwa dengan
mengumumkan dakwahnya, maka ia pasti akan menerima pengusiran,
penindasan, penjara, pengepungan dan pembunuhan. Ini adalah harga yang
pantas yang harus dibayar ketika berdakwah di jalan Allah SWT; inilah
harga kebebasan. Bahkan terkadang kaum yang batil pun membayamya dengan
senang hati, maka bagaimana mungkin orang-orang yang bersama kebenaran
ragu untuk melakukannya.
Pada hakikatnya, manusia cinta kepada
keabadian. Secara naluri manusia merasa takut pada azab dan kematian.
Dan barangkali yang membedakan orang-orang Islam yang hakiki dengan yang
lainnya adalah bahwa mereka terbebas dari rasa ketakutan dan cinta
keabadian. Ini adalah tolok ukur yang pasti untuk membedakan antara
seorang Muslim yang hakiki dan seorang Muslim yang hanya namanya atau
Muslim warisan atau hanya klaim semata.
Seorang Muslim yang hakiki menyadari bahwa
ajal di tangan Allah SWT, rezeki adajuga di tangan-Nya, begitu juga
keamanan semua ada di tangan-Nya. Dengan keimanan seperti ini, ia
memulai pergulatannya untuk menyebarkan dakwah. Ia siap untuk menerima
penyiksaan dan penderitaan di jalan Allah SWT; ia pun siap meneteskan
darahnya sebagai harga yang pantas yang diberikannya dalam rangka
memperoleh kebebasan. Ini semua dilakukanya dengan begitu sederhana dan
tidak ada rasa takut karena Islam membebaskannya dari rasa ketakutan.
Dahulu para pembangkang menggergaji orang-orang yang menyeru di jalan
Allah SWT dengan menggergaji saat mereka dalam keadaan hidup-hidup.
Khabab bin Irit pergi menemui Rasulullah
saw dan meminta tolong kepada beliau dari penyiksaan orang-orang
Quraisy, sambil berkata: "Tidakkah engkau menolong kami, wahai
Rasulullah? Tidakkah engkau berdoa kepada kami, ya Rasulullah?"
Rasulullah saw menjawab: "Sungguh sebelum kalian terdapat orang-orang
yang berdakwah di jalan Allah SWT lalu mereka dimasukkan dalam suatu
galian tanah lalu mereka digergaji di mana tubuh mereka dipisah menjadi
dua, namun mereka tetap mempertahankan agamanya. Demi Allah, sungguh
Allah SWT akan menolong masalah ini tetapi kalian terlalu tergesa-gesa."
Dengan kalimat-kalimat yang penuh kesabaran
dan keberanian ini, Rasulullah saw ingin memahamkan kepada orang
tersebut bahwa termasuk dari kesempurnaan iman adalah membayar harga
kebebasan. Jelas sekali bahwa Islam tidak memberikan keuntungan bagi
orang yang memeluknya. Orang-orang Islam yang pertama tidak bertanya dan
mengatakan: "Apa yang kita peroleh dari agama ini?" Sebaliknya, mereka
bertanya: "Apa yang kita bayar untuk Islam?" Jawabannya adalah: "Segala
sesuatu dimulai dari suapan-suapan roti sampai darah yang tertumpah."
Jadi, kaum Muslim yang pertama telah membayar ongkos kebebasan. Mereka
merasakan kedamaian yang luar biasa untuk mempertahankan agama Allah
SWT; mereka mendapatkan kepercayaan yang tinggi tentang kemenangan
kebenaran yang datang kepada mereka; mereka justru memberitahu
orang-orang musyrik bahwa mereka akan dapat mengalahkan raja-raja Kisra
dan Kaisar. Dengan dakwah yang mereka lakukan, mereka akan menjadi
pemimpin-pemimpin di muka bumi. Kaum musyrik justru memanfaatkan
kepercayaan ini untuk mengejek mereka dan menertawakan mereka.
Ketika Aswad Ibnu Matlab dan orang-orang
yang bersamanya melihat sahabat-sahabat Nabi, maka mereka mengejek dan
mengatakan: "Telah datang kepada kalian pemimpin-pemimpin bumi yang esok
akan mengalahkan raja-raja Kisra dan Kaisar, kemudian mereka bersiul
dan bertepuk tangan." Namun kaum mukmin tidak peduli dengan ejekan
tersebut. Demikianlah bahwa ejekan demi ejekan terus menyertai dakwah
kaum Muslim. Kemudian kaum Quraisy mengadakan pertemuan yang bersejarah
untuk menyatukan pandangan dalam rangka menyerang Rasulullah saw. Kaum
musyrik menuduhnya bahwa beliau adalah seorang ahli sihir, dan pada kali
yang lain mereka menuduhnya bahwa beliau adalah dukun, dan pada kali
yang lain lagi mereka menuduhnya bahwa beliau adalah penyair, bahkan
pada kali yang lain mereka menuduhnya bahwa beliau adalah seorang yang
gila. Kemudian mereka semua sepakat untuk menuduh bahwa beliau adalah
seorang penyihir.
Walid bin Mughirah yang terkenal sebagai
orang yang terpandang di kalangan mereka menuduh Rasulullah saw
sebagai penyihir yang dapat memisahkan antara sesama saudara dan antara
seseorang dengan isterinya. Kemudian mereka membikin kelompok-kelompok
yang mengingatkan para pendatang di Mekah bahwa Muhammad adalah
seorang penyihir. Meskipun demikian, dakwah Islam tetap berlangsung. Ia
tetap tersebar dengan pelan namun pasti dan kalimat-kalimat yang
diutarakan Nabi justru mengingatkan perjanjian yang pernah dilakukan
oleh manusia, yaitu perjanjian saat Allah SWT menyaksikannya ketika
mereka masih di alam atom di punggung Adam:
"Bukankah aku Tuhan kalian? Mereka
menjawab: 'Benar.'" (QS. al-A'raf: 172)
Bertambahlah jumlah kaum Muslim hingga kaum
Quraisy merasakan ketakutan. Mereka mulai melihat bahwa penggunaan
cara-cara kekerasan tidak selalu berhasil. Kemudian mereka memilih untuk
menggunakan cara baru, yaitu bagaimana seandainya mereka menggunakan
perdamaian dan perundingan. Orang-orang Quraisy mengutus 'Utbah bin
Rabi'ah, seorang lelaki yang terkenal dengan kecerdasan dan
kebijaksanaan sebagai juru runding.
'Utbah berkata kepada Rasul saw: "Wahai
anak saudaraku, kami mengetahui kedudukanmu di sisi kami dari sisi
nasab. Engkau datang kepada kaummu dengan suatu hal yang besar di mana
engkau memisahkan kelompok-kelompok mereka. Maka dengarkanlah aku karena
aku ingin berbicara tentang beberapa hal. Barangkali engkau akan
menerima sebagiannya." Rasul saw berkata: "Silakan berbicara wahai
'Utbah." 'Utbah berkata: "Jika engkau menginginkan harta niscaya kami
akan mengumpulkan harta bagimu, sehingga engkau akan menjadi orang yang
paling kaya di antara kami, dan jika engkau menginginkan kehormatan,
maka kami akan memberi kehormatan itu bagimu dan jika engkau
menginginkan kekuasaan, maka kami akan menyerahkan kekuasaan padamu dan
jika engkau terkena penyakit yang engkau tidak mampu menolaknya dari
dirimu, maka kami akan mencarikan tabib bagimu dan kami akan
mengeluarkan harta kami sehingga engkau sembuh."
Demikianlah 'Utbah mengakhiri
pembicarannya. Kemudian ia menunggu reaksi Nabi. Lalu Rasulullah saw
berkata:
"Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. Haa miim. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyanyang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam
bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. Yang membawa berita gembira dan
yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (darinya);,
maka mereka tidak (mau) mendengarkan. Mereka berkata: 'Hati kami berada
dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan di
telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada dinding, maka
bekerjalah kamu; Sesungguhnya kami bekerja (pula).' Katakanlah:
'Bahwasannya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan
kepadaku bahwasannya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka
tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepadanya dan mohonlah ampun
kepadanya. Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang
mempersekutukan-(Nya), (yaitu) orang-orangyang tidak menunaikan zakat
dan mereka kafir akan adanya (hehidupan) akhirat. Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh mereka mendapat
pahala yang tiada putus-putusnya.' Katakanlah: 'Sesungguhnya patutkah
kamu kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan
sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Tuhan semesta
alam. Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di
atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar
makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai
jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian dia menuju kepada
penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata
kepadanya dan kepada bumi: 'Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku
dengan suka hati atau terpaksa.' Keduanya menjawab: 'Kami datang dengan
suka hati.' Maha Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia
mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang
dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya
dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perhasa lagi Maha
Mengetahui. Jika mereka berpaling, maka katakanlah: 'Aku telah
memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum 'Ad
dan kaum Tsamud." (QS. Fushilat: 1-13)
Rasulullah saw telah menjawab tawaran
'Utbah di mana beliau memilih untuk menghadapi tawaran dan iming-iming
tersebut dengan membaca sebagian dari surah Fhusilat yang merupakan
salah satu surah Al-Qur'an yang diturunkan oleh Allah SWT melalui
malaikat Jibril. 'Utbah bangkit dari tempatnya ketika Rasulullah saw
sampai pada firman-Nya:
"Jika mereka berpaling, maka katakanlah:
'Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa
kaum "Ad dan kaum Tsamud. " (QS. Fushilat: 13)
'Utbah berdiri dalam keadaan takut dan
segera menuju kaum Quraisy. Bayang-bayang azab dunia terngiang di
telinganya. Dan ketika ia sampai ke orang Quraisy, ia mengusulkan agar
orang-orang Quraisy membiarkan apa saja yang dilakukan Muhammad.
Gagallah perundingan dengan seorang Muslim yang pertama, yaitu
Rasulullah saw. Gagalnya perundingan tersebut sebagai bentuk
pemberitahuan tentang kembalinya tindak kekerasan dan penyiksaan
terhadap sahabat-sahabat Rasul saw. Kemudian kaum musyrik semakin
meningkatkan penindasan terhadap kaum Muslim. Rasulullah saw sangat
menderita melihat hal yang dirasakan para sahabatnya. Ketika kaum Muslim
membayar harga yang paling mahal sebagai konsekuensi dari akidah yang
mereka anut dan mereka dengan sabar memikul penderitaan di jalan Allah
SWT, maka Rasulullah saw mengisyaratkan mereka untuk berhijrah. Beliau
memberikan izin untuk berhijrah bagi orang yang ingin hijrah.
Kemudian Dimulailah gelombang hijrah. Itu
terjadi pada lima tahun dari turunnya wahyu setelah dua tahun
diumumkannya dakwah. Maka berhijrahlah ke Habasyah enam belas orang
Muslim. Mereka keluar secara rahasia dan mereka menuju ke laut. Mereka
berlayar meskipun orang-orang yang tinggal di gurun sebenarnya tidak
ingin berlayar karena mereka takut dari laut dan mereka yakin bahwa
manusia yang berlayar di laut akan menjadi ulat di atas kayu-kayu yang
berenang.
Selanjutnya, gelombang hijrah yang kedua
pun dimulai. Kali ini diikuti oleh delapan puluh tiga orang laki-laki
dan sembilan belas perempuan. Kemudian orang-orang Quraisy berusaha
untuk mengirim beberapa orang dan tetap berusaha menyiksa dan menyakiti
orang-orang yang berhijrah. Mereka mengutus ke Najasyi, Raja Habasyah,
orang-orang yang dapat mempengaruhinya untuk menentang orang-orang yang
berhijrah. Mereka menuduh kaum Muslim meninggalkan agama nenek moyang
mereka di Mekah dan mereka juga tidak menganut agama Najasyi, yaitu
agama Kristen. Kemudian orang-orang Quraisy tidak lupa mengirim hadiah
kepada Najasyi sebagai bentuk suapan kepadanya. Tampaknya Najasyi
seorang yang berakal lalu ia mengutus seseorang kepada kaum muhajirin
dan bertanya kepada mereka tentang agama baru yang mereka anut. Kemudian
kaum muhajirin menceritakan kepadanya tentang Islam.
Najasyi bertanya tentang Isa lalu mereka
menjawab: "Ia adalah hamba Allah SWT dan rasul-Nya dan ruh-Nya serta
kalimat-Nya yang diletakkan kepada Maryam, wanita yang perawan yang
suci." Kemudian Najasyi mengambil satu kayu kecil dari bumi dan
mengatakan: "Penjelasan tentang Isa yang kalian katakan tidak lebih dari
kayu kecil ini. Pergilah kalian dan kalian akan aman." Najasyi
mengembalikan hadiah kaum Quraisy dan mengatakan: "Allah tidak mengambil
suap dariku sehingga aku tidak mungkin mengambilnya dari kalian."
Demikianlah kaum muhajirin tinggal di
negeri yang damai, yaitu Habasyah negeri yang dipimpin oleh seorang
laki-laki yang diberi kematangan berpikir di mana ia cenderung mengimani
karakter al-Masih sebagai seorang manusia. Dan salah satu keajaiban
kekuasaan Ilahi adalah bahwa masyarakat Islam yang berhijrah tersebut
tidak mengalami kelemahan dalam akidahnya, namun mereka justru merasakan
kekuatan.
Allah SWT memperkuat dakwah Islam dengan
masuknya dua lelaki besar dalam Islam, yaitu Hamzah, paman Nabi dan Umar
bin Khatab. Kedua orang itu mempunyai kepribadian yang tangguh di Mekah
di mana masing-masing dari mereka terkenal di tengah-tengah kaumnya.
Allah SWT berkehendak untuk memberi Islam dua orang lelaki yang tangguh
di Mekah dan Allah SWT telah meletakkan rahmat yang terpancar dalam hati
mereka. Hamzah masuk Islam karena dorongan emosi, fanatisme, dan rahmat
terhadaporang-orang yang tidak memberikan pembelaan kepada Muhammad
saw.
Salah seorang perempuan berkata kepada
Hamzah: "Seandainya engkau melihat apa yang diperoleh oleh anak dari
saudaramu, Muhammad dari Abil Hakam bin Hisyam (Abu Jahal). Sungguh Abu
Jahal telah mencelanya dan menyakitinya, sedangkan Muhammad hanya
terdiam dan tidak mengatakan apa-apa." Mendengar pengaduan itu, darah
mendidih berkobar dalam urat-urat Hamzah. Dengan kemarahan yang sangat,
Hamzah mencari-cari Abu Jahal lalu ia melihatnya sedang duduk-duduk di
tengah-tengah kaumnya. Hamzah mengangkat tangannya lalu memukulkannya ke
kepala Abu Jahal sambil berteriak: "Apakah engkau akan mengejek
Muhammad, padahal aku berada di atas agamanya."
Demikianlah permulaan keislaman Hamzah.
Hamzah adalah seorang yang mulia di mana perasaannya berkobar ketika ia
melihat anak saudaranya disiksa dan dianiaya dan dia tidak mendapati
seorang pun yang membelanya. Beginilah sebab-sebab pertama dari
keislaman Hamzah, namun sebab yang paling dalam dan yang paling
menentukan adalah rahmat Allah SWT yang telah dianugerahkan kepadanya,
meskipun Hamzah tidak mengetahuinya, yaitu rahmat yang mendorongnya
untuk tidak membiarkan seseorang pun menyakiti lelaki yang berdakwah di
jalan Allah SWT hanya karena ia seorang yang lemah dan tidak mempunyai
penolong. Jadi, Hamzah adalah penolongnya.
Sedangkan Umar bin Khatab terkenal dengan
ketangguhan sikap dan kekerasan perilaku. Seringkali kaum Muslim
mendapat siksaan darinya ketika ia masih menganut jahiliah. Dan salah
seorang yang mendapatkan siksaan ciarinya adalah Amir bin Rabi'ah dan
isterinya. Amir beserta istcrinya menetapkan untuk berhijrah ke
Habasyah. Umar bin Khatab menemuinya lalu ia mendapati isteri Amir dan
tidak mencmukan suaminya. Umar melihat wanita itu sedang bersiap-siap
untuk berhijrah lalu Umar berkata (saat itu sumber rahmat telah memancar
pada dirinya): "Apakah engkau akan pergi wahai Ummu Abdillah?" Dengan
nada jengkel, wanita itu berkata: "Benar, demi Allah kami akan keluar
dan menuju tanah Allah SWT. Engkau telah menyiksa kami dan telah memaksa
kami untuk berhijrah. Kami akan pergi sehingga Allah SWT akan
memberikan kelapangan kepada kami." Umar berkata: "Mudah-mudahan Allah
SWTmenemanimu."
Wanita itu melihat tanda-tanda kelembutan
dan kesedihan pada wajah Umar. Dan ketika suaminya kembali, ia
menceritakan kepadanya bahwa ia sangat berharap kepada keislaman Umar.
Lalu suaminya menjawab: "Ia tidak mungkin masuk Islam sampai keledai
Umar masuk Islam." Ia mengatkan demikian karena ia melihat betapa
bengisnya dan kejamnya Umar. Namun perasaan lembut wanita itu lebih kuat
daripada pandangan pikiran lelaki itu dan keputusannya yang terlalu
cepat kepada Umar.
Belum lama mereka berhijrah sehingga Umar
masuk Islam. Orang-orang muhajirin mengeluarkan penutup sumur rahmat
dalam dirinya. Dan barangkali Umar merasa kebingungan lalu ia menetapkan
untuk membunuh Rasul saw. Dengan menghunuskan pedangnya, ia pergi
menuju Rasul saw. Kemudian ia bertemu dengan orang-orang yang
memergokinya dalam keadaan kebingungan, lalu mereka bertanya kepadanya,
hendak kemana ia akan pergi? Umar menjawab: "Aku hendak ke Muhammad aku
akan membunuhnya sehingga orang-orang Arab merasa tenteram." Dengan nada
mengejek, seseorang berkata: "Tidakkah engkau memulai dari keluargamu
sebelum engkau membunuh Muhammad." Dengan nada jengkel, Umar berkata:
"Apa yang terjadi pada keluargaku?" Lelaki itu menjawab: "Saudara
perempuanmu dan suaminya telah masuk Islam, sedangkan engkau tidak
mengetahuinya." Umar segera mencari saudara perempuannya dan suaminya di
mana saat itu keduanya sedang membaca Al-Qur'an.
Ketika melihat Umar, mereka menyembunyikan
Al-Qur'an. Umar bertanya: "Sepertinya aku mendengar suara bisikan dari
luar." Tetapi saudara perempuannya mengatakan: "Tidak." Kemudian
suaminya ikut campur dan Umar pun tampak marah kepadanya. Wanita itu
bangkit untuk membela suaminya lalu Umar memukulnya sehingga darah segar
mengucur darinya. Darah itu justru membangkitkan sumber rahmat dari
diri Umar. Akhirnya, Umar mengambil air wudhu agar mereka mengizinkan
untuk membaca Al-Qur'an. Umar pun membacanya. Belum lama Umar membacanya
sehingga ia pergi menemui Rasul saw.
Tanpa ragu, Umar memilih untuk masuk Islam.
Dan pedang yang dibawanya itu menjadi pedang yang paling kuat yang
dengannya ia mempertahankan agama Muhammad saw. Kemudian ia mengetuk
pintu untuk menemui Rasul saw di mana saat itu beliau bersama
sahabatnya. Dari celah-celah pintu, sahabat Nabi melihat Umar bin Khatab
sedang menghunuskan pedang. Kemudian sahabat itu kembali kepada Nabi
dengan membawa berita yang sangat mengejutkan ini. Ia menduga bahwa Umar
datang dengan maksud jahat.
Rasulullah saw bangkit dan memerintahkan
para sahabatnya agar membiarkan Umar. Rasulullah saw membukakan pintu
Kemudian ia menyambut Umar bin Khatab dan bertanya kepadanya apa yang
diinginkannya. Umar menjawab bahwa ia datang untuk mengucapkan dan
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.
Orang-orang Quraisy mulai merasa bahaya
akan mereka temui setelah keislaman Umar dan Hamzah. Para tokoh-tokoh
Mekah dan orang-orang yang dihormati telah masuk Islam. Sebelum Umar
masuk Islam, kaum Muslim bertawaf di Ka'bah secara rahasia dan dengan
malu-malu, namun ketika Umar masuk Islam ia menampakkan keislamannya dan
ia menantang orang yang mencegahnya untuk bertawaf, bahkan banyak
orang-orang memberikan jalan padanya saat tawaf. Mekah mengetahui bahwa
ia menghadapi suatu dakwah yang akan dapat mengubah jazirah Arab.
Rasa ketakutan mulai menghantui para pemuka
Quraisy dan mereka menetapkan metode baru untuk menghadapi kaum Muslim.
Mereka yang sebelumnya menggunakan metode penghinaan dan pengejekan
kini mulai mencoba untuk memblokade kaum Muslim secara ekonomi dan
kemanusiaan. Kaum musyrik mengadakan perkumpulan dan pertemuan untuk
memboikot kaum Muslim. Mereka mengadakan pertemuan itu di Ka'bah,
sebagai penghormatan kepadanya. Orang-orang musyrik menghormati Ka'bah
meskipun mereka memenuhinya dengan berbagai macam patung yang mereka
sembah dalam rangka mendekatkan mereka kepada Allah. Pasal kesepakatan
itu menetapkan, hendaklah penduduk Mekah tidak menjual barang apapun
kepada kaum Muslim dan hendaklah mereka tidak menikah dengan kaum
Muslim. Dengan ketetapan yang kejam tersebut, mereka ingin menghancurkan
kaum Muslim dan membunuh perekonomian mereka. Rasulullah saw dan
orang-orang yang beriman kepadanya terpaksa berlindung di dusun Bani
Hasyim. Mereka dilindungi oleh keturunan Bani Muthalib, baik mereka
orang-orang kafir maupun orang-orang beriman kecuali musuh Allah SWT,
Abu Jahal di rnana ia bersama orang-orang Quraisy menentang kaummnya.
Kemudian Dimulailah blokade ekonomi
terhadap kaum Muslim di mana tidak ada makanan dan minuman yang datang
kepada mereka, sehingga penderitaan yang sulit kini dialami oleh
sahabat-sahabat Nabi. Ketika kafllah perdagangan datang ke Mekah dan
salah seorang dari sahabat Nabi menemui mereka di pasar untuk membeli
makanan untuk keluarganya, maka Abu Lahab berdiri dan berkata kepada
para penjual, wahai para pedagang, mahalkanlah dagangan kalian terhadap
sahabat-sahabat Muhammad, sehingga mereka tidak mampu membelinya dan aku
menjamin kerugian yang kalian alami, bahkan aku akan membeli apa saja
yang ingin mereka beli dari kalian.
Mendengar hal tersebut, para pedagang pun
menjual barang dagangannya dengan harga yang tidak wajar, sehingga
seorang Muslim kembali ke rumah keluarganya tanpa membawa sedikit pun
makanan. Kemudian padagang itu pergi ke Abu Lahab dan memin-ta kepadanya
agar membeli barang yang ingin dibeli orang Muslim. Demikianlah
peperangan tersebut terus terjadi sehingga kaum Muslim merasakan
penderitaan yang sangat luar biasa di mana mereka dalam keadaan
kelaparan dan kekurangan pakaian yang layak. Peperangan ekonomi ini
terjadi selama tiga tahun penuh. Saking menderitanya para sahabat
sampai-sampai Sa'ad bin Abi Waqas pernah keluar pada suatu hari untuk
memenuhi hajatnya, lalu ia mendengar suara gemerincing di bawah air
kencing. Tiba-tiba ia menemukan sepotong kulit unta yang kering lalu ia
mengambilnya dan membasuhnya. Kemudian ia membakarnya dan mencucinya
dengan air sampai bersih lalu ia menjadikannya makanan selama tiga hari.
Selama tiga tahun tersebut wahyu tetap
turun kepada Rasul saw dan seakan-akan ia melupakan bencana yang keras
ini. Allah SWT ingin mendidik para pengikut agama-Nya agar mereka mampu
memikul segala penderitaan.
Meskipun kaum Muslim mendapatkan berbagai
ujian selama tiga tahun tersebut, tetapi aktifitas dakwah Islam tidak
pernah padam dan tidak pernah surut. Kaum Muslim bertemu orang-orang
selain mereka pada musim haji lalu mereka berbicara kepada orang-orang
tersebut tentang keberadaan Allah SWT dan mereka meminta kepada para
pengujung itu untuk mencari rahmat Allah SWT dan ampunan-Nya. Keteguhan
kaum Muslim dan keberanian mereka telah memikat banyak orang sehingga
mereka masuk Islam. Bahkan orang-orang musyrik mulai bertanya kepada
diri mereka dan mempertanyakan kebenaran apa tindakan mereka. Lalu
kecemburuan kepada kebenaran mulai menyerang hati.
Kemudian Selesailah peperangan ekonomi
terhadap kaum Muslim di mana kaum musyrik melihat itu tidak berdampak
terlalu besar bagi kaum Muslim. Meskipun kaum Muslim menerima
penderitaan dan kerugian namun jumlah mereka tetap bertambah dan
keimanan mereka semakin kuat serta kepercaayaan kepada Allah SWT pun
semakin meningkat. Lalu datanglah tahun kesedihan kepada Nabi. Belum
lama Rasulullah saw merasakan dan menghirup udara segar setelah tiga
tahun masa blokade dan beliau ingin memulai kehidupan barunya dan
dakwahnya, sehingga beliau dikagetkan dengan kematian isteri tercintanya
Ummul Mukminin Khadijah dan kematian pamannya yang tercita Abu Thalib.
Abu Thalib adalah seorang yang besar yang
memiliki kewibawaan di tengah-tengah kaum Quraisy, sehingga usaha kaum
Quraisy untuk menyakiti Nabi menjadi terbatas ketika mereka berhadapan
dengan "tembok perlindungan" Abu Thalib kepada kemenakannya. Sedangkan
Khadijah merupakan tempat perlindungan dan kedamaian bagi Nabi. Ia
adalah hati yang sangat penyayang yang banyak menghibur Nabi saat beliau
berdakwah. Khadiijah adalah sebaik-baik teman dan sebaik-baik isteri.
Begitu juga, bagi Khadijah Rasulullah saw adalah sebaik-baik teman,
sebaik-baik suami, sebaik-baik pembantu, dan sebaik-baik sahabat.
Rasulullah saw sangat sedih ketika
kehilangan dua orang yang sangat berpengaruh dalam kehidupannya itu,
bahkan para sejarawan menamakan tahun tersebut dengan tahun kesedihan.
Sebaliknya, orangorang musyrik justru bergembira dengan kesedihan Rasul
saw itu. Mereka menganggap bahwa Rasul saw tidak lagi memiliki seorang
tua yang mampu melindunginya dan tidak lagi memiliki seorang isteri yang
dapat meringankan beban penderitaannya.
Setelah kematian dua orang tcrscbut,
penindasan dan penganiayaan kaum Quraisy kepada Nabi semakin meningkat
dan orang-orang musyrik memilih waktu yang tepat untuk menyembelih
binatang di Mekah lalu mereka membawa usus-usus atau jeroan dari unta
dan mereka melemparkannya dan meletakkannya di atas punggung Nabi saat
beliau sujud. Kemudian berita memilukan itu sampai kepada putri
tercintanya, Fatimah az-Zahrah, sehingga ia segera datang dan berusaha
membela ayahnya dan membersihkan kotoran yang ada di pundak ayahnya itu.
Demikianlah kemuliaan Siti Fatimah az-Zahra yang senantiasa melindungi
ayahnya.
Betapa sedihnya Nabi saw ketika beliau
melihat bahwa keadaan beliau sampai pada batas di mana anak perempuan
beliau pun turut membelanya. Namun beliau tetap bersabar dalam berdakwah
di jalan Allah SWT. Pada suatu hari beliau berpikir untuk pergi ke
Tha'if di mana di sana dihuni oleh kaum Tha'if. Barangkali beliau
berkata dalam dirinya: jika di sini aku mendapati hati-hati yang telah
membeku dan telah berhubungan mesra dengan kebatilan ialu mengapa aku
tidak pergi ke Tsaqif. Barangkali Allah SWT akan membukakan pintu dakwah
di sana. Mungkin di sana masih terdapat hati yang akan terbuka guna
menerima kebenaran.
Saat itu kaum musyrik memberlakukan blokade
umum atas dakwah yang dipimpin oleh Rasulullah saw sehingga tekanan
kepada beliau semakin meningkat sampai pada batas di mana pergerakan
dakwah tidak dapat bergerak satu langkah pun. Keadaan demikian ini
sangat menggelisahkan Nabi. Beliau ingin untuk melepaskan belenggu yang
mengikatnya. Lalu beliau memutuskan untuk pergi ke Tha'if. Jarak antara
Mekah dan Tha'if lebih dari tujuh puluh kilo meter. Nabi menempuh
perjalanan itu dengan jalan kaki, pergi dan pulang.
Kita tidak mengetahui pemikiran-pemikiran
apa yang terlintas dalam benak Rasulullah saw saat beliau pergi dan
menemui kabilah yang kafir kepada Allah SWT ini. Yang kita ketahui
adalah bahwa beliau pergi ke sana dengan membawa rahmat dunia dan
akhirat. Tetapi mereka justru membalas sikap baik Rasulullah saw itu
dengan tindakan jahiliyah. Mereka bersikap buruk kepada beliau dan
mendustakannya. Rasulullah saw tinggal di sana selama sepuluh hari.
Beliau mondar-mandir dari satu rumah ke rumah yang lain dan dari pasar
ke pasar yang lain dan dari satu jalan ke jalan yang lain. Tak seorang
pun yang mendengar kedatangan beliau di sana; tak seorang pun yang mau
mendengar dakwah beliau dan tak seorang pun yang mau beriman kepada
ajakannya. Bahkan masyarakat di situ semakin menjadijadi dalam menyerang
Rasulullah saw dan mengejeknya.
Pada hari yang terakhir yang mana beliau
telah menetapkan untuk kembali ke Mekah. Rasulullah saw berdiri di
Tha'if dan mengharap kepada masyarakat di sana agar merahasiakan
kunjungannya kepada mereka sehingga pencelaan yang beliau terima di
Mekah terhadap agama yang dibawanya tidak semakin menjadi-jadi. Tetapi
penduduk Tha'if menolak permohonan yang terakhir ini. Mereka tidak cukup
melakukan hal itu tetapi mereka melakukan perbuatan terburuk yang
dilakukan manusia terhadap sesama manusia. Mereka menahan keluarga
orang-orang yang bodoh dan orang-orang biasa untuk membentuk dua barisan
dan memerintahkan mereka untuk melempari Rasulullah saw dengan batu dan
mengejeknya. Nabi keluar dari Tha'if dan beliau mendapatkan lemparan
bertubi-tubi dari keluarga Tha'if bahkan beliau merasakan kepedihan saat
kakinya terkena lemparan batu itu sehingga darah suci mengucur dari
kaki beliau.
Kemudian Rasulullah saw diusir sehingga
beliau sampai di suatu kebun yang dimiliki oleh dua orang dari
orang-orang kaya Tha'if. Di sana beliau duduk di bawah naungan pohon
anggur. Dua orang pemilik kebun itu merasa kasihan melihat keadaan orang
yang terusir dan terluka itu. Mereka membawa kepadanya setangkai anggur
dengan seorang pembantu. Pembantu mereka adalah seorang Nasrani yang
bernama Adas. Si pembantu meletakkan setangkai anggur itu depan Rasul
saw lalu beliau mengulurkan tangannya kepadanya sambil berkata:
"Bismillahirahmanirrahim (Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang). Adas berkata kepada Nabi, perkataan ini tidak begitu
dikenal oleh penduduk negeri ini. Nabi berkata: "Anda dari daerah mana?"
Adas menjawab: "Aku adalah seorang Nasrani dari Nainawa." Nabi berkata:
"Apakah engkau dari desa lelaki saleh Yunus bin Mata?" "Bagaimana
engkau tahu tentang Yunus?, sambung lelaki itu. Nabi berkata: "Itu
adalah saudaraku. Ia adalah seorang Nabi aku pun seorang Nabi."
Mendengar jawaban Rasul saw, Adas segera
merobohkan tubuhnya di depan kedua kaki Rasul saw lalu ia menciuminya
sambil menangis. Akhirnya, pembantu Nasrani itu masuk Islam sehingga ia
menambah barisan kaum Muslim. Ia adalah seorang yang menjadi Muslim
ketika Rasulullah saw berhijrah ke Tha'if. Inilah harga yang harus
dibayar Rasulullah saw sclania dua minggu saat beliau berada di Tha'if,
dan kemudian bcliau terkena cobaan dengan mengucurnya darah dari kaki
beliau akibat lemparan batu penghuni Tha'if.
Kemudian Rasulullah saw kcmbali ke Mekah
beliau kembali dalam keadaan ditolak oleh pcnduduk Tha'if dan kini
beliau kembali menerima penolakan itu di Mekah. Meskipun demikian,
beliau merasakan kesedihan yang mendalam melihat sikap kaumnya. Namun
ketika kebencian semakin deras mengalir kepada beliau, hati beliau
justru semakin bersemangat dan semakin dipenuhi dengan rahmat kemudian
datanglah kepada Nabi masa di mana tampak di dalamnya Islam asing, dan
tampak di dalamnya Nabi seorang diri, tanpa penolong.
Pada saat demikian ini ketika manusia mulai
meninggalkan Rasulullah saw lalu langit turut campur dan terjadilah
peristiwa besar dan mukjizat terbesar pada diri Nabi, yaitu Isra' dan
Mi'raj. Ia adalah mukjizat yang tidak berhubungan dengan dakwah Islam;
ia tidak datang untuk memperkuat dakwah ini atau menetapkannya tetapi ia
datang semata-mata untuk memperkuat keteguhan Nabi dan sebagai
penghormatan kepadanya. Seakan-akan Allah SWT ingin berkata kepada Nabi,
jika saja penduduk bumi tidak memujimu, maka penduduk langit mengenal
kedudukanmu dan memberikan pujian yang layak kepadamu dan jika manusia
menolak dakwahmu dan menolak keberadaanmu, maka sesungguhnya Allah SWT
memilihmu dan memuliakanmu.
Untuk melihat tanda-tanda kebesaran-Nya,
munculnya mukjizat Isra' dan Mi'raj dalam sejarah para nabi sebagai
mukjizat satu-satunya yang tiada tandingannya dibandingkan dengan kisah
nabi yang lain. Kita mengetahui bahwa di deretan para nabi ada nabi-nabi
yang dinamakan oleh Allah SWT sebagai para kekasih-Nya dan sebagai para
pendamping-Nya, seperti Nabi Ibrahim. Kita juga melihat bahwa di antara
para nabi ada seseorang yang diajak bicara oleh Allah SWT tanpa
perantara, seperti Nabi Musa. Kita juga melihat di antara para nabi ada
yang didukung oleh Allah SWT dengan ruhul kudus, seperti Nabi Isa.
Tetapi untuk pertama kalinya kita berada di hadapan seorang nabi yang
diajak dan dipanggil oleh Allah SWT untuk menuju ke sisi-Nya.
Beliau naik bersama Jibril dengan jasadnya
dan ruhaninya sehingga Jibril berdiri di suatu tempat dan Nabi maju
sendirian. Itu adalah tingkat dari tingkat kehormatan di mana pena
terasa keluh untuk mengungkapkannya dan sejarawan tidak dapat menulis
apa yang terjadi saat itu. Kita telah melihat dalam kisah para nabi
seorang nabi yang meminta kepada Tuhannya agar memperlihatkan kepadanya
bagaimana Dia menghidupkan orang-orang yang mati. Allah SWT bertanya
kepadanya, apakah ia belum beriman akan hal itu? Ibrahim menjawab: Bahwa
ia beriman tetapi ia ingin menenangkan hatinya.
Kita juga melihat dalam kisah para nabi
seorang nabi yang cintanya kepada Allah SWT memancar dalam kalbunya
sehingga ia meminta:
"Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau)
kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". (QS. al-A'raf: 143)
Namun Allah SWT menjawab kepada Musa
tentang kemustahilan melihat Allah SWT atas manusia. Nabi Musa memahami
bahwa makhluk manapun tidak akan mampu menahan beban penampakan dari Zat
sang Pencipta.
Adapun Muhammad bin Abdillah ia tidak
bertanya kepada Tuhannya dan meminta kepadanya untuk diberi mukjizat
atau kejadian yang luar biasa; ia tidak meminta kepada Tuhannya agar
dapat melihat Zat-Nya dan ia tidak berusaha mencari ketenangan dalam
hatinya. Cintanya kepada Allah SWT termasuk bentuk cinta yang sulit
untuk dipahami atau diselami kedalamannya oleh para tokoh pecinta dan
cintanya tersebut bukan termasuk bentuk yang menimbulkan berbagai
pertanyaan. Cinta beliau melampaui tingkat permintaan menuju ketingkat
penyerahan dan kepuasan atau ridha. Segala sesuatu yang menggelisahkan
Nabi adalah ridha Allah SWT.
Rasulullah saw berkata saat beliau dalam
keadaan ditolak dan diusir dan terluka akibat perbuatan kaum Tha'if:
"Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka aku tidak peduli dengan mereka."
Lihatlah tingkat cinta yang tinggi itu:
bagaimana tingkat tersebut menyebabkan beliau merasa rendah diri
sehingga beliau berkata, "jika Engkau tidak murka kepadaku ..."
Seakan-akan beliau tidak menginginkan selain ridha Allah SWT dan yang
beliau khawatirkan adalah kemarahan Allah SWT.
Sungguh adab yang diterapkan Rasulullah saw
kepada Tuhannya adalah adab yang paling layak dan paling tinggi yang
sesuai dengan kedudukan beliau sebagai orang Muslim yang paling
sempurna.
Demikianlah mukjizat Isra' dan Mi'raj.
Mukjizatyang tujuannya adalah menghormati kepribadian Rasulullah saw;
mukjizat yang membangkitkan peranan akal dan hati secara bersama. Para
nabi tanpa terkecuali didukung oleh bcrbagai macam mukjizat yang terjadi
di muka bumi bahkan para nabi yang diangkat ke langit seperti Nabi
Idris dan Nabi Isa, maka pengangkatan mereka sebagai bentuk
menyelamatkan mereka dari usaha pembunuhan atau penyaliban. Mukjizat
mereka saat mereka diangkat ke langit adalah bentuk akhir dari aktifitas
mereka di muka bumi.
Ini adalah kali pertama ketika kita
mendapati suatu mukjizat yang tempat utamanya di langit; suatu mukjizat
yang terwujud bersama seorang Nabi yang diangkat ke langit dengan
jasadnya dan ruhaninya saat beliau masih hidup. Di sana Allah SWT
memperlihatkan kepadanya tanda-tanda kekuasaan-Nya. Kemudian beliau
kembali ke bumi di mana beliau akan mendapatkan berbagai macam tantangan
dan cobaan yang biasa diterima oleh penduduk bumi. Muhammad bin
Abdillah adalah manusia yang pertama melewati planet bumi dan beliau
menembus bulan dan matahari dan bintang-bintang. Kita menyaksikan di
zaman kita manusia pertama atau astronot pertama yang mampu menembus
ruang angkasa. Ruang angkasa itu baru dapat ditembus oleh manusia
setelah empat belas abad dari turunnya risalah Muhammad saw, namun sejak
empat belas abad yang lalu Nabi Islam telah dapat menembus ruang
angkasa itu, bahkan beliau mencapai Sidratul Muntaha dan puncak
al-Muntaha.
Beliau sampai pada batas yang di situlah
alam makhluk diakhiri dan beliau menembus alam gaib. Bukankah surga
bagian dari alam gaib? Beliau sampai di surga. Allah SWT menamakannya
dengan Jannatul Ma'wah. Beliau sampai pada batas terputusnya ilmu
manusia dan tiada yang mengetahui hakikat ilmu tersebut kecuali Allah
SWT. Mukjizat Isra' bukanlah mukjizat Mi'raj, meskipun kedua-duanya
terjadi di satu malam. Peristiwa Isra' dan Mi'raj dikutip oleh dua surah
yang berbeda dalam Al-Qur'an al-Karim. Allah SWT berfirman tentang
mukjizat Isra':
"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan
hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang
telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya
sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. al-Isra': 1)
Sedangkan berkaitan dengan mukjizat Mi'raj,
Allah SWT berfirman:
"Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat
Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di
Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal. (Muhammad
melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang
meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang
dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauiya. Sesungguhnya dia telah
melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar."
(QS. an-Najm: 13-18)
Pada malam Isra' dan Mi'raj, Nabi Muhammad
berkeliling di sekitar Ka'bah dan berdoa kepada Allah SWT. Beliau dalam
keadaan pucat wajahnya dan kedua air matanya mengucur; beliau tidak
bertawaf bersama seseorang pun; beliau tawaf sendirian lalu orang-orang
kafir dan orang-orang musyrik memandang beliau dengan pandangan
kebencian saat beliau bertawaf dan berdoa. Allah SWT melihat hamba-Nya
yang khusuk itu lalu Allah SWT menurunkan perintah-Nya kepada Ruhul Amin
yaitu malaikat Jibril agar menemani hamba-Nya dari Masjidil Haram
menuju Masjidil Aqsha Kemudian membawanya naik ke langit agar dia dapat
melihat tanda-tanda kebesaran Tuhannya.
Di suatu rumah yang mulia dan sederhana
dari rumah-rumah yang ada di Mekah, Nabi saw sedang tidur dan datanglah
waktu pertengahan malam. Jibril turun dan memasuki rumah sang Rasul saw.
Jibril as berdiri di sisi kepala sang Nabi dan ia melihat kepadanya
dengan pandangan cinta. Pandangan Jibril itu membangunkan Rasul saw
kemudian beliau membuka kedua matanya dan bangkit dari tempat tidurnya.
Jibril berkata kepada Nabi saw, salam
kepadamu wahai Nabi yang mulia. Allah SWT ingin agar engkau melihat
sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya di alam. Kemudian Jibril berjalan
bersama Nabi saw. Mereka keluar dari rumah dan beliau menyaksikan Buraq
yaitu makhluk yang menyerupai burung dan mempunyai sayap seperti burung
garuda; makhluk yang terbuat dari kilat. Karena itu, ia dinamakan dengan
Buraq. Kilat adalah listrik dan listrik adalah cahaya. Cahaya adalah
makhluk yang tercepat yang kita kenal di bumi. Kilauan cahaya pada satu
detik saja mencapai 186 ribu mil. Kita tidak akan terlibat terlalu jauh
tentang kendaraan luar angkasa yang digunakan dalam perjalanan itu; kita
tidak akan bertanya bagaimana Nabi saw menembus alam ruang angkasa
tanpa ada latihan sebelumnya dan berapa lama waktu yang beliau gunakan
untuk pulang pergi; kami juga tidak akan bertanya tentang kecepatan
Buraq; kami tidak heran dengan usaha penembusan luar angkasa ini; kita
tidak akan bertanya tentang semua itu karena kita mempunyai satu jawaban
dari semuanya: Allah SWT berkehendak agar hal itu terjadi dan untuk itu
Allah SWT mengatakan kun jadilah, maka jadilah.
Para ulama beselisih pendapat tentang
apakah Isra' dan Mi'raj terjadi dengan ruh saja atau dengan ruhani dan
jasad sekaligus. Ahli hakikat mengatakan bahwa itu terjadi dengan ruh
dan jasad. Tentu perselisihan itu berakibat pada perselisihan akal dan
terjerumus dalam perangkap kaifa (bagaimana) dan bertanya tentang
kekuasaan Allah SWT dan usaha untuk menundukkan masalah ini terhadap
sebab-sebab yang biasa atau hukum-hukum kita yang alami atau logika
kemanusiaan. Allah Maha Suci dan Maha Tinggi dari semua itu. Apakah
seseorang akan bertanya, bagaimana Rasulullah saw naik berserta ruh dan
fisiknya ke puncak segala puncak di langit kemudian beliau kembali
sebelum tempat tidurnya dingin? Mukjizat apa yang terjadi di sini yang
melebihi mukjizat berubahnya air mani menjadi manusia dan berubahnya
benih menjadi pohon atau mukjizat air yang menghidupkan tanah, atau ia
mampu memuaskan kehausan si dahaga atau mukjizat cinta yang mengikat dua
hati yang belum pernah mengenal?
Sementara itu, Buraq menundukkan badannya
kepada Nabi saw kemudian Nabi saw menungganginya bersama Jibril dan
Buraq pergi bagaikan anak panah dari cahaya di atas gunung Mekah dan
pasir-pasir menuju ke utara. Jibril mengisyaratkan agar menuju arah
gunung Saina' lalu Buraq itu berhenti. Jibril berkata di tempat yang
diberkati ini, Allah SWT berdialog dengan Musa as. Kemudian Buraq
kembali pergi ke Baitul Maqdis, Nabi saw turun dari pesawat ini yang
berjalan lebih cepat dari cahaya dan jutaan kali lebih cepat darinya dan
ia tidak berubah dari cahaya.
Nabi berjalan bersama Jibril dan memasuki
Baitul Maqdis. Beliau memasuki masjid dan beliau mendapati semua nabi
sedang menunggunya di sana. Allah SWT membangkitkan gambar para nabi-Nya
dari kematian dan mengumpulkan mereka di Mesjid Aqsha. Para malaikat
memberinya suatu bejana yang di dalamnya terdapat susu dan bejana yang
lain yang di dalamnya terdapat khamer. Lalu beliau memilih susu dan
meminumnya. Dikatakan pada beliau, sesungguhnya engkau telah memilih
fltrah dan umatmu akan memilih fitrah.
Para nabi mengitari Rasul saw dan datanglah
waktu salat. Para nabi bertanya di antara sesama mereka, siapa di
antara mereka yang menjadi imam salat, apakah itu Adam, Nuh, Ibrahim,
Musa atau Isa? Jibril berkata kepada Muhammad saw, sesungguhnya Allah
SWT memerintahkanmu untuk salat bersama para nabi. Rasulullah saw
berdiri dan salat bersama para nabi. Mereka semua adalah orang-orang
Muslim dan beliau adalah orang-orang Muslim yang pertama. Secara logis
bahwa beliau layak menjadi imam dari para nabi sebagaimana kitabnya
dijadikan kitab yang terbaik daripada kitab-kitab yang mendahuluinya.
Beliau membacakan Al-Qur'an kepada mereka dan beliau menangis saat
membacanya. Kekhusukan beliau saat membacanya membuat para nabi pun
menangis. Dan ketika para nabi sujud di belakang imam mereka,
pohon-pohon dan bintang-bintang pun turut bersujud.
Selesailah waktu salat dan para nabi
membubarkan diri. Setiap nabi kembali ke langit yang mereka tinggal di
dalamnya. Nabi keluar dari masjid bersama Jibril dan mereka kembali
menunggang Buraq seperti panah dari cahaya. Buraq semakin meninggi dan
ia melewati langit pertama lalu beliau menyaksikan Nabi Adam. Kemudian
ada panggilan dari Allah SWT: "Hendaklah hamba-Ku semakin meninggi dan
menjauh." Kemudian hamba Allah SWT Muhammad bin Abdillah semakin terbang
menjauh ia melampaui langit demi langit. Beliau melampaui tempat materi
dan mulai menjangkau tempat ruhani dan melewatinya. Beliau bersiap
berdiri di haribaan Ilahi; beliau semakin tinggi dan jauh di tingkat dan
dipuncak ruhani dalam kecepatan yang tidak kurang dari kecepatan kilat.
Beliau melampaui kedudukan Nabi Adam di
langit pertama dan melampaui kedudukan Nabi Yahya dan Nabi Isa di langit
kedua. Lalu Tuhan pemilik kemuliaan memanggil, "hendaklah hamba-Ku
lebih tinggi lagi." Kemudian hamba Allah SWT dan Nabi-Nya yang mulia
mencapai tingkat yang lebih tinggi lagi. Beliau melampaui langit yang
ketiga, keempat, kelima, keenam, dan ketujuh. Beliau melampaui alam
materi semuanya dan melampaui alam ruhani. Akhirnya, beliau sampai ke
Sidratul Muntaha. Beliau sampai di tempat yang suci yang Allah SWT
menamakannya dengan sebutan Sidratul Muntaha dan di sana Nabi melihat
dan menyaksikan Jannatul Ma'wa. Beliau menyaksikan yang kita tidak mampu
mengetahuinya dan memahaminya bahkan membayangkannya:
"(Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil
Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya
(Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidnk (pula)
melampauinya." (QS. an-Najm: 16-17)
Sungguh terjadilah pada tempat itu apa yang
terjadi dengannya. Dengan kebesaran yang misteri ini, Allah SWT
memberitahu kita bahwa terjadilah hal penting di sana meskipun hakikat
hal tersebut tersembunyi dari kita. Sesuatu yang Allah SWT sembunyikan
dari kita tersebut disaksikan oleh Rasul saw. Itu adalah mukjizat yang
khusus baginya; itu adalah tingkat cinta yang tidak tersingkap tabirnya
karena ketinggiannya yang tidak mampu ditangkap oleh pengetahuan manusia
biasa.
Kemudian Tuhan pemilik surga dan neraka
memanggil, "hendaklah hamba-Ku lebih tinggi lagi." Hamba Allah SWT
Muhammad bin Abdillah menaik ke tempat yang tinggi. Kali ini beliau
melihat Jibril yang berada di belakangnya lalu beliau mendapatinya dalam
keadaan bertasbih kepada Allah SWT. Jibril tidak berada dalam wujud
manusia seperti yang Nabi saksikan ketika berada di dunia. Jibril as
kembali ke dalam wujud malaikatnya. Nabi melihat Jibril dan ia merupakan
tanda kebesaran Allah SWT yang Allah SWT janjikan untuk diperlihatkan
kepadanya:
Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling
dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya." (QS. an-Najm:
17)
Pemandangan itu terjadi dengan hati dan
mata serta panca indera yang dikenal dan yang tidak dikenal. Pemandangan
itu benar-benar jelas. Di sana bukan mimpi, bukan khayalan, dan bukan
gambaran. Rasul saw melihat semua itu dengan jasadnya dan ruhaninya:
"Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling
dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya." (QS. an-Najm:
17)
Kemudian Rasulullah saw menuju ke tempat
yang tinggi dan lebih tinggi lagi. Beliau semakin naik ke tingkat yang
makin tinggi sampai beliau berdiri di hadapan Tuhan Pencipta langit dan
bumi dan Penebar kasih sayang di dunia dan di akhirat. Orang Muslim yang
paling sempurna itu bersujud di hadapan Tuhan Sang Pencipta sambil
berkata: "Sungguh penghormatan dan keberkatan serta shalawat yang baik
tertuju hanya kepada Allah SWT." Allah SWT membalasnya: "Salam kepadamu
wahai Nabi dan rahmat Allah SWT serta berkat-Nya juga tercurah
kepadamu." Para malaikat pun ketika mendengar ucapan itu bertasbih dan
mengatakan: "Salam kepada kita dan kepada hamba-hamba Allah SWT yang
saleh."
Ungkapan-ungkapan tersebut merupakan
permulaan tahiyat (penghormatan) yang diucapkan orang-orang Muslim saat
mereka melaksanakan salat pada setiap hari. Salat telah diwajibkan atas
kaum Muslim pada kesempatan yang besar ini. Hal populer di kalangan
umumnya kaum Muslim adalah, bahwa Allah SWT mewajibkan atas Nabi
mula-mula lima puluh salat sehari. Kemudian Nabi turun dari langit lalu
beliau menemui Nabi Musa. Selanjutnya Nabi Musa bertanya kepadanya
tentang jumlah salat yang diwajibkan Allah SWT kepada umatnya. Nabi
menceritakan bahwa Allah SWT telah menentukan lima puluh kali salat.
Nabi Musa berkata sungguh umatmu tidak akan kuat untuk melakukan salat
itu, maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mohonlah kepadanya agar Dia
meringankan bagi umatmu. Lalu Nabi kembali kepada Tuhan-Nya sehingga
Allah SWT meringankan salat hingga sepuluh kali. Setelah itu, Nabi
kembali bertemu dengan Nabi Musa. Lagi-lagi Nabi Musa memperingatkannya.
Kemudian Nabi kembali lagi kepada Allah SWT sehingga sampai diturunkan
salat dari lima puluh kali menjadi lima kali sehari. Namun salat yang
lima kali itu pahalanya sama dengan salat yang lima puluh kali.
Menurut hemat kami, kisah tersebut tidak
memiliki sandaran dalam kitab-kitab ulama yang benar-benar teliti. Kami
kira, kisah itu tersebut merupakan rekayasa orang-orang Yahudi di mana
mereka masuk Islam dan mereka memenuhi kitab-kitab dengan
dongeng-dongeng khurafat dan mereka menisbatkannya kepada Rasul.
Prasangka tersebut didukung oleh pemilihan Musa sebagai seorang Nabi
yang mengusulkan kepada Rasul saw agar meminta keringanan atas umatnya
sehingga terkesan Nabi Musa menjadi seseorang yang lebih mengetahui
sesuatu yang tidak diketahui oleh Nabi Muhammad. Kami sendiri cenderung
untuk menolak kisah tersebut dengan keyakinan bahwa pertemuan Nabi
dengan Allah SWT menimbulkan rasa kebesaran dan kewibawaan yang luar
biasa sehingga ketika Nabi telah pergi, maka sangat berat baginya untuk
kembali lagi.
Nabi menyaksikan dan melihat hal-hal yang
tidak mampu diungkap oleh lisan dan tidak mampu ditulis dengan pena.
Beliau berada di suatu keadaan yang tidak dapat dipahami oleh manusia
biasa. Al-Qur'an al-Karim sengaja tidak mcnyebutkan apa saja yang
dilihat oleh Nabi karena itu mernpakan rahasia antara Nabi dan Tuhannya
dan mukjizat yang khusus yang diperuntukkan baginya sebagai bentuk
penghormatan kcpadanya. Jadi Al-Qur'an sengaja tidak menyebutkan itu
semua untuk menegaskan bahwa beliau melihat tanda dari tanda-tanda
kebesaran Tuhannya.
Kami tidak mengetahui apa yang dilihat oleh
Nabi. Hal yang dapat kami bayangkan adalah, bahwa Nabi bersujud dengan
khusuk di hadapan Tuhannya dan beliau menangis karena gembira. Kesedihan
hatinya telah hilang selamanya. Setelah Nabi melihat rahasia dan
setelah penghormatan yang besar ini, beliau kembali menemani Buraq dan
pergi bersama Jibril untuk kembali ke bumi. Beliau kembali dan mendapati
tempat tidurnya masih dingin. Bagaimana beliau pergi dan kembali
sementara tempat tidumya belum dingin? Berapa lama waktu yang
diperlukannya saat melakukan perjalanan tersebut? Hanya Allah SWT semata
yang mengetahui. Yang kita ketahui adalah, bahwa Rasulullah saw kembali
ke tempat tidurnya setelah Isra' dan Mi'raj dan hatinya dipenuhi dengan
kegembiraan serta dadanya dipenuhi dengan ketenangan dan kepuasan serta
kefanaan dalam cinta kepada Allah SWT.
Kemudian datanglah waktu pagi. Nabi
menceritakan perjalanan dan pengalaman tersebut kepada
sahabat-sahabatnya dan orang-orang Musyrik sehingga berimanlah
orang-orang yang beriman padanya dan mendustakan kepadanya orang-orang
yang mendustakannya. Namun beliau tidak peduli dengan semua itu. Nabi
terus melangsungkan perjuangannya dengan penuh kesabaran.
Akhirnya, datanglah suatu masa di mana Nabi
saw mengetahui bahwa dakwah Islam di Mekah telah mengalami penekanan
yang luar biasa sehingga keadaan sangat tidak mendukung bagi kaum
Muslim. Rasulullah saw bergerak dengan dakwahnya. Lalu Allah SWT
mewahyukan kepadanya agar ia berhijrah. Kemudian mulAllah Nabi berhijrah
di jalan Allah SWT setelah tiga belas tahun beliau di Mekah. Islam
ingin membangun negaranya dan ingin menghilangkan pengepungan dan
serangan kaum musyrik. Mula-mula terjadilah perubahan sedikit dalam
keadaan kaum Muslim.
Rasulullah saw keluar dalam musim haji
untuk menunjukkan dirinya pada kabilah-kabilah Arab sebagaimana yang
beliau lakukan pada setiap musim. Beliau berada di tempat yang bernama
'Aqabah, lalu beliau bertemu dengan jamaah dari Khazraj. Rasulullah saw
berkata kepada mereka, "siapa kalian?" Mereka menjawab: "Kami berasal
dari kelompok Khazraj." Beliau berkata. "apakah kalian termasuk pembantu
kaum Yahudi?" Mereka menjawab, "benar." Beliau berkata, "maukah kalian
duduk bersama aku karena aku ingin sedikit berbicara dengan kalian."
Mereka menjawab: "Boleh." Kemudian mereka duduk bersama Nabi lalu beliau
mengajak mereka untuk mengikuti agama Allah SWT.
Rasulullah saw sedikit menceritakan Islam
kepada mereka dan membacakan Al-Qur'an. Enam orang mendengarkan apa yang
disampaikan oleh Nabi saw. Setelah beliau selesai dari pembicaraannya,
mereka membenarkannya dan beriman kepadanya. Kemudian mereka
menceritakan kepada Nabi saw bahwa mereka meninggalkan kaumnya karena
kaum mereka terlibat peperangan dan kebencian. Mudah-mudahan Allah SWT
mengumpulkan mereka dengan kedatangan Nabi saw yang mulia ini. Mereka
memberitahu Nabi saw bahwa mereka akan menceritakan kepada kaumnya apa
yang mereka dengar dari Nabi saw dan akan mengajak mereka untuk memenuhi
dakwah Nabi.
Keenam lelaki itu kembali ke kota Madinah
yang berubah namanya menjadi Madinah Munawarah yang sebelumnya ia
bernama Yatsrib di zaman jahiliah. Allah SWT berkehendak untuk
meneranginya dengan Islam. Para lelaki itu kembali ke Madinah dan mereka
membawa Islam di hati mereka sehingga banyak orang yang masuk Islam.
Kemudian datanglah musim haji dan keluarlah
dari Madinah dua belas orang lelaki dari orang-orang yang beriman yang
di antara mereka terdapat enam orang yang Rasulullah saw telah berdakwah
kepada mereka pada musim yang dulu dan Nabi saw menemui mereka di
'Aqabah. Kemudian Nabi melakukan baiat pada mereka agar mereka
mempertahankan keimanan dan membela dakwah kebenaran serta kemanusiaan.
Kaum lelaki itu kembali ke Madinah disertai
salah seorang yang terpercaya dari tokoh Islam yaitu Mus'ab bin Umair
di mana ia menjadi utusan Rasulullah saw di Madinah dan ia mengajari
manusia tentang agama mereka dan membacakan kepada mereka Al-Qur'an dan
menyerukan kebenaran kepada manusia sehingga tersebarlah Islam di
Madinah. Penduduk Madinah mulai bertanya-tanya, mengapa saudara-saudara
kita kaum Muslim Mekah ditindas? Mengapa Rasul saw keluar untuk
berdakwah dan menebarkan rahmat tetapi beliau justru mendapatkan angin
kebencian? Sampai kapan kita akan membiarkan Rasulullah saw teraniaya
dan terusir di Mekah?
Demikianlah, pergilah tujuh puluh orang ke
Mekah, tujuh puluh orang dari penduduk Madinah Munawarah. Mereka pergi
ke 'Aqabah dalam keadaan sendirian dan berkelompok-kelompok. Islam telah
menghasilkan buah pertamanya dalam hati mereka sehingga hati mereka
dipenuhi cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya serta kaum Muslim.
Penderitaan yang dialami kaum Muslim mempengaruhi jiwa mereka dan
mencegah mereka dari mendapatkan kenikmatan tidur dan nikmatnya memakan
dan nikmatnya kehidupan. Orang-orang yang baik itu datang dan berbaiat
kepada Rasul saw untuk membela beliau menolongnya dan melindunginya
serta siap untuk mati di jalannya. Mereka datang setelah hati mereka
diliputi oleh Islam dan mereka memberikan segala sesuatu untuk dakwah
yang baru; mereka datang sebagai pecinta-pecinta kebenaran.
Kitab-kitab hadis yang suci meriwayatkan
apa yang terjadi pada baiat 'Aqabah al-Kubra. Dalam kitab tersebut
dikatakan bahwa Abbas Ibnu Abdul Muthalib datang bersama Nabi dan saat
itu ia masih berada dalam agama kaumnya. Ia ingin menyelesaikan urusan
anak pamannya. Ketika ia duduk dan berbicara, ia mengatakan suatu
pernyataan yang mengisyaratkan bahwa Muhammad saw mendapatkan kemuliaan
dari kaumnya dan kekuatan di negerinya tetapi ia enggan dan memilih
untuk bergabung bersama kalian wahai penduduk Madinah. Jika kalian
memenuhi janjinya dan melindunginya, maka ambillah ia, namun jika kalian
khawatir jika suatu saat nanti akan mengkhianatinya, maka mulai dari
sekarang biarkanlah ia di negerinya.
Kata-kata Abbas tersebut berasal dari
fanatisme kesukuan dan ikatan darah keluarga namun penduduk Madinah
tidak begitu peduli dengan kalimat Abbas itu karena ia bukan termasuk
dari agama mereka dan ia tidak mengetahui tingkat cinta kepada Rasul saw
yang mereka capai. Abbas bin Abdul Muthalib menunggu jawaban dari
penduduk Madinah. Lalu mereka berkata kepadanya, "Kami telah mendengar
apa yang engkau katakan, maka berbicaralah ya Rasulullah, ambilah untuk
dirimu dan Tuhanmu apa saja yang engkau sukai."
Kita ingin mengamati jawaban sekelompok
orang yang mukmin dari penduduk Madinah ini sehingga Rasulullah saw
berbicara. Jawaban yang dicari oleh Abbas bin Abu Muthalib tersembunyi
dalam pernyataan Nabi. Demikianlah setelah Rasulullah saw mengucapkan
kalimatnya, maka tidak keluar pemyataan apa pun. Cukup hanya Nabi yang
berbicara dan mereka hanya menaatinya. Mereka meminta kepada beliau agar
mengambil pada dirinya dan Tuhannya apa saja yang beliau sukai; mereka
merasa tidak memiliki apa-apa dan tidak memiliki keputusan. Nabi
berbicara lalu beliau membaca Al-Qur'an dan mengajak ke jalan Allah SWT.
Kemudian beliau bebicara tentang Islam dan beliau membaiat mereka agar
membantu beliau sehingga mereka pun membaiat kepadanya. Demikianlah
terjadinya baiat 'Aqabah al-Kubra.
Orang-orang yang terpilih oleh Allah SWT
itu mengetahui bahwa sebentar lagi mereka akan diajak untuk mengangkat
senjata: mereka diajak untuk mendapatkan kematian di bawah naungan
pedang. Mereka menenangkan Rasulullah saw bahwa beliau akan mendapati
orang-orang yang sudah terlatih dalam peperangan karena mereka mewarisi
dari kakek-kakek mereka.
Salah seorang dari tujuh puluh orang itu
menyebutkan masalah yang penting. Abul Haitsyam berkata: "sesungguhnya
di antara orang-orang Madinah dan Yahudi terdapat suatu tali ikatan,
maka mereka boleh jadi akan memutuskannya lalu, apakah sikap yang harus
kita ambil jika mereka lakukan hal itu dan memusuhi orang-orang Yahudi,"
kemudian Allah SWT menolong Nabi dan memenangkan atas kaumnya, lalu ia
kembali kepada mereka dan meninggalkan mereka di bawah kasih sayang
orang-orang Yahudi.
Perhatikanlah bahwa pertanyaan tersebut
berkisar pada kecintaan kepada Nabi dan keinginan agar Nabi tetap
bersama mereka selama perjalanan hari dan bulan. Masalah yang dituntut
oleh Abbas bin Abdul Muthalib secara jelas adalah masalah perlindungan
mereka kepada Nabi, di mana hal tersebut tidak lagi diperdebatkan oleh
orang-orang yang terpilih dari penduduk Madinah. Namun masalah yang
mereka inginkan adalah masalah perlindungan Nabi dan keberadaan Nabi
bersama mereka di Madinah.
Nabi tersenyum dan beliau mengatakan
kalimat-kalimat yang justru menekankan bahwa ikatan akidah lebih kuat
daripada ikatan darah. Beliau berkata: "Tetapi darah adalah darah dan
kehancuran adalah kehancuran. Aku dari kalian dan kalian dariku aku akan
memerangi orang-orang yang kalian perangi dan aku akan berdamai dengan
orang-orang yang kalian berdamai dengan mereka."
Akhirnya, penduduk Madinah pergi dan
kembali ke negeri mereka. Kemudian berita tentang baiat ini sampai
ketelinga orang-orang Mekah dan para tokoh musyrik, lalu mereka justru
menambah penekanan kepada Rasulullah saw dan kaum Muslim.
Para preman Mekah berkumpul di Darul
Nadwah. Mereka menetapkan akan mengambil sesuatu keputusan penting
berkaitan dengan Nabi. Salah seorang dari mereka mengusulkan agar beliau
dibelenggu dengan besi lalu dibuang di penjara sehingga beliau mati
kelaparan. Sebagian lagi mengusulkan agar beliau dibuang dari Mekah dan
diusir. Abu Jahal mengusulkan agar mereka mengambil dari setiap keluarga
dari keluarga-keluarga Quraisy seorang pemuda yang kuat, kemudian
setiap dari mereka diberi pedang yang terhunus dan hendaklah mereka
memukulkan pedang itu ke tubuh Nabi. Jika mereka berhasil membunuhnya
niscaya semua kabilah bertanggung jawab terhadap darah sang Nabi dan
Bani Hasyim tidak akan mampu menuntut dan memerangi orang Arab semuanya
dan mereka akan menerima diat sebagai tebusan dari pembunuhan itu.
Demikianlah persekongkolan itu digelar dan mereka sepakat untuk
melaksanakan hal itu. Namun Al-Qur'an al-Karim menyingkap persekongkolan
yang dilakukan orang-orang kafir itu dalam firman-Nya:
"Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir
memikirkan tipu daya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau
membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya itu. Dan Allah
sebaik-baih Pembalas tipu daya." (QS. al-Anfal: 30)
Allah SWT mewahyukan kepada Nabi-Nya agar
ia berhijrah. Lalu Nabi mulai menyiapkan sarana-sarana untuk hijrahnya.
Beliau menyembunyikan urusan tersebut bahkan beliau tidak memberitahu
sahabat yang akan menemaninya. Rasulullah saw menyewa seorang penunjuk
jalan yang pengalaman yang mengenal padang gurun seperti mengenal
garis-garis tangannya. Yang mengherankan penunjuk jalan itu adalah
seorang musyrik. Demikianlah Nabi memita bantuan kepada orang yang ahli
tanpa memperhatikan keyakinannya.
Kemudian datanglah malam pelaksanaan
kejahatan itu. Rasulullah saw memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk
tidur di tempat tidumya di malam tersebut. Datanglah pertengahan malam
dan Rasulullah saw pun keluar dari rumahnya. Para pemuda Mekah mengepung
rumah. Mereka menghunuskan pedangnya. Nabi menggenggam tanah lalu
beliau melemparkannya ke arah kaum sehingga mereka pun merasa kantuk
sehingga Nabi saw dapat menembus kepungan mereka. Beliau keluar dari
Mekah dan berhijrah.
Dengan langkah yang diberkati ini, kaum
Muslim menanggali tahun-tahun mereka. Tahun dalam Islam adalah tahun
Hijiriah, sedangkan kaum Masehi menanggali tahun mereka dengan kelahiran
Isa dan ini disebut dengan tahun Masehi. Adapun tahun-tahun Islam, maka
ia ditanggali pertama kalinya saat Rasulullah saw keluar berhijrah di
jalan Allah SWT. Hijrah Rasul bukan hanya lari dari penindasan tetapi
lari dari kebekuan; hijrah tersebut bukan keluar dari keamanan tetapi
keluar dari bahaya. Islam di Mekah hanya dapat mempertahankan dirinya
tetapi ketika ia keluar ke Madinah ia mempertahankan dirinya ketika
menyerang. Dan selama beberapa tahun masa yang dihabiskan di Mekah, tak
seorang dari kaum Muslim yang mengangkat senjata. Ketika mereka keluar
ke Madinah, mereka mulai membawa senjata dan mulai menyalakan obor
peperangan. Islam mulai membawa senjata sebagaimana luka akan sembuh
dengan syarat jika diobati. Nabi saw mengetahui bahwa Islam tidak akan
menghabiskan usianya hanya untuk melawan serangan pada dirinya; Islam
ingin tersebar; Islam ingin mendirikan negaranya yang pertama yaitu
suatu negara yang belum pernah dikenal di muka bumi negara seperti itu.
Negara yang mencapai keadilan, kasih sayang, dan idealisme yang begitu
luar biasa di mana hukum Allah SWT ditegakkan dan kehormatan manusia
benar-benar dijaga.
Inilah kedalaman hijrah yang mengesankan
yaitu pendirian negara Islam setelah sebelumnya membangun individu
masyarakat Muslim. Setelah Rasul saw membangun masyarakat Muslim dan
membangun masjid, maka beliau membangun suatu negara Islam. Selanjutnya,
sayap-sayap dakwah mengepak.
Kami kira pembaca tidak akan bertanya, apa
gunanya pembangunan masjid ditingkatkan sementara Islam masih mengalami
penindasan di muka bumi. Kami kira pembaca lebih pintar daripada orang
yang tidak mengetahui bahwa masjid yang dibangun Rasulullah saw di
Madinah bukan tempat peristirahatan dari keletihan, tetapi masjid
merupakan pusat dari kepemimpinan pergerakan Islam dan kepemimpinan
menuju peperangan Islam.
Manusia mandi di masjid dengan cahaya Allah
SWT setelah itu mereka mandi di kancah peperangan dengan darah mereka.
Pertanyaannya adalah, siapakah di antara mereka yang akan terbunuh di
jalan Allah SWT sebelum saudaranya? Demikianlah perlombaan dalam
perbaikan terjadi di antara mereka. Dengan cara demikianlah Islam
tersebar.
Sementara itu, Nabi berlindung di suatu
gua; di gunung yang bernama Tsur. Beliau masuk ke gua itu bersama
sahabatnya Abu Bakar. Dan orang-orang musyrik pergi menyusul beliau
dengan membawa pedang mereka. Lalu mereka sampai ke gunung itu. Abu
Bakar berkata kepada Rasul saw dengan keadaan gelisah, "seandainya salah
seorang mereka melihat di bawah kakinya niscaya mereka akan melihat
kita."
Dengan tenang, Rasulullah saw menepis
kegelisahan Abu Bakar dan berkata: "Wahai Abu Bakar apa yang kamu kira
dengan dua orang yang ada di tempat yang sepi sementara Allah SWT
menjadi ketiga di antara mereka?" Sebelum Rasulullah saw mengakhiri
kalimatnya, terdapat laba-laba yang selesai dari menenun rumahnya di
atas pintu gua. Kitab-kitab sejarah mengatakan bahwa kaum musyrik
mengikuti jejak sang Nabi sehingga mereka sampai di gunung Tsur lalu di
situlah mereka mengalami kebingungan. Mereka mendaki gunung dan mendaki
gua itu. Lalu mereka melihat di atas pintu gua itu terdapat tenunan
laba-laba. Mereka mengatakan, seandainya seseorang masuk di dalamnya
niscaya tidak akan terdapat tenunan laba-laba di atas pintunya. Beliau
tinggal di gua itu selama tiga malam.
Demikianlah keimanan tenunan laba-laba yang
lembut dimenangkan atas ketajaman pedang kaum musyrik sehingga Nabi
bersama sahabatnya pun selamat. Kini, kedua orang itu menuju Madinah.
Dan Madinah pun menyambut mereka. Ketika Rasulullah saw dan sahabatnya
memasuki Madinah, mula-mula masyarakat tidak mengenal siapa di antara
mereka yang menjadi Rasul karena saking baiknya sikap Rasul terhadap
sahabatnya. Akhirnya, Nabi menerangi kota Madinah. Beliau membangun
masjid dan mendirikan negaranya serta memerangi musuh-musuhnya dan
tersebarlah Islam dan Mekah pun ditaklukkan dan Baitul Haram disucikan.
Beliau menanamkan dalam akal dan hati suatu
cahaya yang tidak akan pernah padam. Kemudian berlangsunglah sepuluh
tahun yang dilewatinya di Madinah di mana beliau tidak menggunakannya
untuk berleha-leha. Demikian juga selama masa tiga belas tahun yang
beliau lalui di Mekah, beliau pun tidak mendapatkan istirahat yang
cukup. Semua kehidupan beliau hanya untuk Allah SWT dan hanya untuk
Islam. Beban berat yang dipikul oleh punggung beliau yang mulia lebih
berat dari beban yang dipikul oleh gunung. Meskipun beliau seorang diri,
tetapi beliau mampu memikul amanat yang pernah Allah SWT tawarkan
kepada langit dan bumi serta gunung namun mereka pun enggan untuk
memikulnya. karena mereka menyadari bahwa mereka tidak akan mampu
memikulnya. Lalu datanglah beliau dan beliau pun mampu memikul amanat
itu dan melaksanakannya secara sempurna. Yaitu amanat untuk menyampaikan
agama Allah SWT; amanat untuk menyucikan akal manusia dari polusi
khayalisme dan khurafatisme: amanat yang mewarnai kehidupan dengan hanya
sujud kepada Allah SWT.
Kemudian mengalirlah dalam memori Nabi saw
suatu arus dari gambar-gambar hidup: bagaimana saat beliau memasuki
Madinah. Lewatlah di hadapan akal beberapa memori dan nostalgia:
bagaimana wahyu yang turun kepadanya dengan membawa risalah di gua Hira,
kemudian berubahlah pandangan dan bertiuplah angin kebencian kepadanya,
bahkan angin itu membawa pasir-pasir tuduhan-tuduhan yang dilemparkan
ke wajah suci beliau. Beliau berdiri sambil tersenyum dan hatinya
dipenuhi dengan kesedihan di hadapan gelombang gurun dan kesendirian
serta badai kesengsaraan. "Wahai manusia, tiada Tuhan selain Allah SWT.
Demikianlah kalimat yang beliau katakan. Meskipun kalimat itu tampak
sederhana namun ia mampu membangkitkan dunia. Dan bergeraklah
patung-patung yang begitu banyak yang memenuhi kehidupan dan mereka
membekali dirinya dengan kegelapan dan kebencian yang dialamatkan kepada
sang Nabi. Para pembesar. para penguasa, uang, emas, serta kebencian
dan kedengkian setan yang klasik dan banyaknya orang-orang munafik,
semua ini menjadi musuh nyata sang Nabi pada saat beliau mengatakan
"tiada Tuhan selain Allah SWT." Nabi mengingat kembali Waraqah bin Nofel
ketika menceritakan kepadanya apa yang terjadi dan apa yang dialami
beliau di gua Hira. Tidakkah ia mengatakan kepadanya bahwa kaumnya akan
mengusirnya?
Hari-hari hijrah sangat panjang dan berat.
Matahari sangat dekat dengan kepala dan rasa panas sangat mencekik
tenggorokan dan rasa pusing-pusing pun semakin meningkat. Setelah
hijrah, Nabi memasuki Madinah. Beliau disambut oleh kaum Anshar dengan
sambutan luar biasa. Beliau datang sendirian lalu mereka menolongnya;
beliau datang dalam keadaan takut lalu mereka mengamankannya; beliau
datang dalam keadaan lapar lalu mereka memberinya makanan; beliau datang
dalam keadaan terusir lalu mereka memberikan perlindungan.
Bangunan Islam mulai ditancapkan di
Madinah. Beliau mulai membangun negaranya setelah beliau membangun
sumber daya manusia Islam yang tangguh. Yang pertama kali dibangunnya
adalah sumber daya Islam, setelah itu beliau baru membangun negara.
Tidak ada nilai yang berarti dari satu sistem yang hanya berdasarkan
prinsip-prinsip besar yang tidak lebih dari sekadar tinta di atas
kertas. Penerapan prinsip-prinsip adalah tolok ukur final dari nilai apa
pun yang diberlakukan di dunia. Dan Islam telah berhasil menerapkan
pada masa-masa pertamanya suatu sistem yang belum pernah dikenal dalam
kehidupan manusia suatu sistem seperti itu. Yaitu sitem yang menunjukkan
keadilan, persaudaraan, dan kasih sayang yang mengagumkan. Hal yang
pertama kali dilakukan Rasulullah saw adalah membangun masjid di mana di
situlah unta yang ditungganinya berhenti. Mesjid itu tampak sederhana.
Tikarnya terdiri dari pasir-pasir dan batu-batu. Tiangnya terbuat dari
batang-batang kurma. Barangkali ketika turun hujan, maka tanahnya akan
menjadi lumpur karena mendapat siraman air hujan. Mungkin ketika angin
bertiup dengan kecang, maka ia akan mencabut sebagian dari atapnya.
Di bangunan yang sederhana ini, Rasulullah
saw mendidik generasi Islam yang tangguh yang dapat menghancurkan
orang-orang yang lalim dan para penguasa yang bejat dan mereka mampu
mengembalikan kebenaran ke singgasananya yang terusir dan terampas.
Mereka mampu menyebarkan Islam di muka bumi. Mesjid itu tampak kecil dan
sederhana sekali tetapi ia dipenuhi dengan kebesaran; masjid itu tidak
menunjukkan kemewahan sama sekali. Di dalamnya Al-Qur'an dibaca lalu
orang-orang yang mendengarnya menganggap bahwa mereka benar dan
mendapatkan perintah harian untuk menerapkan dan melaksanakan apa-apa
yang mereka dengar.
Al-Qur'an dibaca di masjid bukan seperti
nyanyian yang orang-orang duduk akan merasa terpengaruh dengan keindahan
nyanyian dan suara pembaca. Dan masjid di dalam Islam bukanlah tempat
satu-satunya untuk ibadah. Menurut kaum Muslim semua burni adalah masjid
namun masjid adalah simbol peradaban yang beriman kepada Allah SWT dan
hari akhir, sebagaimana ia menyuarakan ilmu, kebebasan dan persaudaraan.
Semua Nabi berbicara tentang persaudaraan
dan mengajak kepadanya dengan ribuan kata-kata. Sedangkan Rasulullah saw
telah mewujudkan persaudaraan itu secara praktis, yakni ketika karakter
masyarakat saat itu mencerminkan Al-Qur'an. Nabi mulai mempersaudarakan
kaum muhajirin dan Anshar di mana sahabat Anshar Sa'ad bin Rabi',
seorang kaya dari Madinah dipersaudarakan dengan Abdul Rahman bin 'Auf,
seorang yang berhijrah dari Mekah. Sa'ad berkata kepada Abdul Rahman:
"Sesungguhnya, tanpa bermaksud sombong, aku memang memiliki harta yang
banyak daripada kamu. Aku telah membagi hartaku menjadi dua bagian dan
sebagiannya aku peruntukkan bagimu. Lalu aku mempunyai dua orang wanita,
maka lihatlah siapa di antara mereka yang mampu memikatmu sehingga aku
menceraikannya lalu engkau dapat menikahinya." Abdul Rahman bin 'Auf
menjawab: "Mudah-mudahan Allah SWT memberkatimu, keluargamu, dan
hartamu. Di manakah pasar yang engkau berdagang di dalamnya?"
Abdul Rahman bin 'Auf keluar menuju ke
pasar untuk berkerja. Ia kembali dan membawa sesuatu yang dapat
dimakannya. Ia menolak dengan lembut sikap baik Sa'ad dan
kedermawanannya. Ia bersandar pada keimanan kepada Allah SWT dan lebih
memilih untuk bekerja dan membanting tulang. Tidak berlalu hari demi
hari kecuali ia tetap bekerja sehingga ia mampu untuk membekali dirinya
dan melaksanakan pernikahan.
Demikianlah masyarakat Islam terbentuk dan
menampakkan identitasnya berdasarkan cinta, kebebasan, musyawarah, dan
jihad. Pekerjaan menurut Islam bukan suatu penderitaan untuk mendapatkan
roti atau potongan daging sebagaimana dikatakan peradaban kita masa
kini, tetapi pekerjaan dalam Islam melebihi ruang lingkup materi ini dan
menuju puncak yang lebih tinggi:
"Dan katakanlah: 'Bekerjalah kamu, maka
Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang muhmin akan melihat pekerjaanmu
itu. " (QS. at-Taubah: 105)
Kesadaran bahwa apa yang kita kerjakan akan
dilihat oleh Allah SWT menjadikan perkerjaan itu mendapat cita rasa
yang lain. Yaitu suatu rasa yang melampaui nikmatnya memakan roti dan
daging. Setelah bekerja, datanglah cinta. Cinta dalam Islam bukan hanya
perasaan yang menetap dalam hati dan tidak diwujudkan oleh suatu
perbuatan; cinta dalam Islam merupakan langkah harian yang akan mengubah
bentuk kehidupan di sekitar manusia menuju yang lebih tinggi dan mulia.
Seorang Muslim mencintai Tuhannya Pencipta
alam semesta dan mencintai Rasulullah saw dan mencintai kaum Muslim dan
orang-orang yang berdamai dengan orang-orang Muslim, meskipun keyakinan
mereka berbeda dengannya. Bahkan seorang Muslim mencintai makhluk secara
keseluruhan: ia mencintai anak-anak, hewan, bunga, pasir dan gunung
bahkan benda-benda mati pun mendapat cinta dari seorang Muslim. Seorang
Muslim jika dia benar-benar seorang Muslim akan merasakan dnta yang
dialami oleh Nabi Daud terhadap alam dan lingkungan di sekitarnya. Ini
adalah perasaan sufi yang tinggi. Seorang Muslim akan mewarisi cinta
yang sebenarnya seperti yang diwarisi Nabi Isa terhadap lingkungan yang
baik yang ada di sekitarnya di mana ketika Nabi Isa melihat tubuh anjing
yang mati, maka Nabi Isa tidak melihat selain keputihan giginya.
Demikianlah cinta yang tersebar dalam
kehidupan kaum Muslim di mana cinta itu pun tertuju kepada binatang dan
benda-benda mati. Cinta demikian ini tidak akan terwujud dengan suatu
keputusan dan tidak ditetapkan dengan suatu undang-undang, tetapi cinta
itu datang biasanya akibat dari kepuasaan akal dan hati dengan adanya
kepemimpinan besar yang hati cenderung kepadanya dan akal mengambil
darinya. Dan yang dimaksud dengan kepemimpinan besar tersebut adalah
keberadaan sang Nabi. Beliau adalah cermin terbesar dari tingkat cinta
yang tertinggi. Beliau adalah seorang yang paling banyak berbuat demi
Islam dan paling banyak sedikit mengharapkan balasan darinya. Meskipun
beliau seorang pemimpin namun beliau hidup dalam kesederhanaan. Beliau
adalah seorang tentara yang paling sederhana. Tempat tidurnya bersih
tetapi kasar, dan rumahnya tidak menampakkan kesibukan yang di dalamnya
memasak berbagai macam hidangan. Beliau justru menyiapkan hidangan yang
sangat sederhana. Makanan utama beliau adalah roti kering yang dicampur
dengan minyak. Keinginan besar beliau adalah tersebarnya dakwah Islam.
Kaum Muslim menyadari bahwa kesempurnaan
Islam tidak akan terwujud kecuali ketika cinta Allah SWT dan Rasul- Nya
lebih didahulukan daripada cinta diri sendiri, cinta kepada wanita,
cinta kepada anak, kepentingan, kekuasaan, kehidupan, dan apa saja yang
tidak ada hubungannya dengan Allah SWT dan Rasul-Nya. Demikianlah kaum
Muslim sangat mencintai pemimpin mereka lebih dari kehidupan pribadi
mereka. Di samping pekerjaan dan cinta tersebut, didirikanlah
pemerintahan Islam yang berdasarkan kaidah-kaidah kebebasan, musyawarah
dan jihad.
Kebebasan dalam Islam bukan sekadar
perhiasan yang dilekatkan kepada tubuh Islam tetapi ia merupakan tenunan
dari sel-sel yang hidup itu. Allah SWT telah membebaskan kaum Muslim
dari penyembahan selain dari-Nya. Dengan demikian, runtuhlah semua
belenggu yang hinggap di atas akal, hati, dan masyarakat. Seorang Muslim
memiliki—dalam Islam—suatu kebebasan yang diberikan kepadanya agar ia
melihat sesuatu dengan akalnya dan mendebat segala sesuatu dengan
akalnya. Dan hendaklah ia merasa puas dengan sesuatu yang dapat
menenteramkan hatinya. Kebebasan dalam Islam bukan kebebasan mutlak yang
menjurus kepada anarkisme dan diskriminasi tetapi kebebasan dalam Islam
adalah kebebasan yang bertanggung jawab.
Dalam ruang lingkup nas-nas yang pasti yang
terdapat dalam Al-Qur'an atau sunah tidak ada kebebasan di hadapan
orang Muslim selain kebebasan untuk berlomba-lomba untuk menerapkan apa
yang mereka pahami. Selain itu, seorang bebas sampai tidak terbatas, dan
pintu ijtihad tetap terbuka sampai tidak ada batasnya, karena pintu
ijtihad adalah akal dan menutup pintu ijtihad yakni menutup akal dan itu
berarti akan membawa kematian baginya. Islam tidak menerima orang-orang
yang mati akalnya atau menga-lami kemunduran; Islam pada hakikatnya
memperlakukan manusia dari sisi akal dan hati.
"Adalah untukmu, sedang kamu menginginkan
bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah yang untukmu, dan Allah
meng-hendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan
memusnahkan orang-orang kafir." (QS. al-Anfal: 7)
Orang-orang Islam karena kekafiran mereka
dan kebutuhan mereka serta situasi ekonomi yang memburuk, mereka ingin
bertemu dengan pasukan yang tidak bersenjata; mereka ingin bertemu
dengan kafilah yang kaya, bukan pasukan yang bersenjata; mereka
membutuhkan harta untuk menyebarkan dakwah. Namun Allah SWT menginginkan
mereka dengan keadaan seperti itu agar mereka berhadapan dengan pasukan
kafir dan agar mereka mampu memutus tali kekuatan orang-orang kafir
sehingga kebenaran akan menang.
Keluarlah orang-orang Muslim dalam
peperangan Badar dengan membayangkan bahwa mereka akan mendapatkan
keuntungan dan kesenangan dengan banyak mengambil ganimah. Namun Allah
SWT menginginkan terjadinya peperangan yang berat, di mana itu berakibat
pada jatuhnya tokoh-tokoh kaum kafir Mekah sebagai korban darinya dan
agar Madinah dapat menahan penderitaan dan kefakiran yang dialaminya.
Seharusnya pengikut Islam tidak membayangkan untuk mengambil keuntungan
tetapi ia justru harus memberi kepadanya.
Nabi mengetahui sebagai pemimpin pasukan ia
harus mengingatkan pasukannya bahwa mereka akan menemui kesulitan dan
penderitaan, dan bukan masalah sepele seperti yang mereka bayangkan.
Nabi bermusyawarah dengan sahabat-sahabat. Beliau berbincang-bincang
dengan Abu Bakar Shidiq, Umar bin Khattab, dan Miqdad bin Amr. Lalu
mereka semua sepakat untuk terus melakukan peperangan apa pun hasilnya
dan apa pun pengorbanan yang harus dilakukan.
Kemudian Rasulullah saw berkata: "Wahai
para sahabat, tunjukkanlah diri kalian." Rasulullah saw mengisyaratkan
kepada kaum Anshar. Rasulullah saw khawatir jika mereka memahami bahwa
baiat yang terjadi di antara mereka yang berisi agar mereka melindungi
beliau jika beliau diserang di Madinah saja, dan memang pasal-pasal dari
baiat itu mendukung hal itu. Tidakkah mereka mengatakan kepada beliau:
"Ya Rasulullah, kami tidak akan bertanggung jawab kepadamu sehingga
engkau sampai di negeri kami. Jika engkau sampai di negeri kami, maka
kami akan bertanggung jawab untuk melindungimu."
Mayoritas pasukan terdiri dari orang-prang
Anshar, maka Rasulullah saw ingin mengetahui keputusan mayoritas tentara
sebelum dimulainya peperangan. Kaum Anshar mengetahui bahwa Rasul saw
ingin mengetahui pendapat kaum Anshar. Oleh karena itu, Sa'ad bin 'Auf
berkata: "Demi Allah, seakan-akan engkau menginginkan kami ya
Rasulullah." Nabi menjawab, "benar." Kemudian kaum Anshar menyatakan apa
yang mereka rasakan.
Mendengar pernyataan kaum Anshar itu
hilanglah kekhawatiran dan ketakutan Nabi, bahkan beliau bergembira dan
wajahnya berseri-seri. Rasulullah saw telah mendidik mereka berdasarkan
Islam dan Islam tidak mengenal pasal-pasal perjanjian namun ia justru
tenggelam dalam esensinya dan kedalamannya yang jauh. Kaum Anshar
meyakinkan Nabi bahwa mereka benar-benar beriman kepadanya, mencintainya
dan akan mendengarkan apa saja yang beliau katakan serta akan
benar-benar menaati beliau.
Sa'ad bin Mu'ad berkata: "Ya Rasulullah,
lakukanlah apa yang engkau inginkan dan kami akan bersamamu. Demi Zat
yang mengutusmu dengan kebenaran, seandainya engkau membelah lautan lalu
engkau menyelam di dalamnya niscaya kami akan menyelam bersamamu dan
tidak ada seseorang pun di antara kami yang akan meninggalkanmu."
Demikianlah keteguhan kaum Anshar. Kalimat tersebut menetapkan
peperangan paling penting dan paling berbahaya dalam sejarah Islam.
Perasaan kaum Anshar dan Muhajirin dalam
pasukan Rasul saw sangat berbeda dengan perasaan Nabi Musa ketika mereka
mengatakan kepadanya, "pergilah engkau wahai Musa bersama Tuhanmu dan
berperanglah, sesungguhnya kami di sini hanya duduk-duduk saja." Namun
kaum Muslim menyatakan bahwa seandainya Rasul saw memerintahkan mereka
untuk melalui lautan dengan berjalan kaki di atas ombaknya niscaya
mereka akan melakukan hal itu walaupun berakibat pada tenggelamnya
mereka dan kematian mereka dan tak seorang pun yang akan menentang
perintah Rasul saw tersebut.
Akhirnya, kaum Muslim bersiap-siap untuk
memasuki kancah peperangan lalu mereka membuat kemah-kemah yang di situ
ditentukan tempat peristirahatan dan pergerakan tentara Islam. Tempat
itu ditentukan oleh Rasul saw. Allah SWT membiarkan Rasul-Nya melakukan
kesalahan dalam memilih tempat sehingga itu akan dapat menjadi pelajaran
bagi kaum Muslim dalam kaidah umum dari kaidah-kaidah peperangan yaitu
sikap pemimpin pasukan untuk mengambil suatu kebijakan yang penting yang
berdasarkan pengalaman. Kemudian datanglah Habab bin Mundzir kepada
Rasulullah saw dan bertanya kepadanya, "apakah tempat yang kita jadikan
sebagai pusat pergerakan tentara kita merupakan pilihan dari Allah SWT
dan Rasul-Nya hingga kita tidak dapat mendahuluinya dan mengakhirinya
yakni kita tidak dapat memberikan pendapat kita ataukah itu hanya
masalah yang bersifat tehnik yakni itu terserah pada pendapat kita dan
sesuai kebijakan saat perang dan ia merupakan tipu daya semata?"
Rasulullah saw berkata: "Tetapi itu adalah
pendapat pribadi, peperangan, dan tipu daya." Habab berkata: "Ya
Rasulullah ini adalah tempat yang tidak tepat." Sahabat yang sarat
pengalaman ini memilih tempat di mana pasukan Madinah dapat minum
darinya sedangkan pasukan Mekah tidak dapat mengambil darinya. Kemudian
berpindahlah pasukan Muslim menuju tempat yang telah ditentukan oleh
pengalaman militer.
Sampailah pasukan Mekah di mana jumlah
mereka mendekati seribu tentara dan mereka akan berhadapan dengan tiga
ratus tujuh belas pasukan Muslim. Pasukan Quraisy berada di tempat yang
jauh dari lembah.
Pasukan kafir terdiri dalam perang Badar
dari pemuka-pemuka Quraisy dan pahlawan-pahlawan mereka, sedangkan
pasukan Muslim terdiri dari keluarga-keluarga, ipar-ipar dan keluarga
dekat dari pasukan kafir. Allah SWT telah menentukan agar seorang anak
bertemu dengan ayahnya, saudara bertemu dengan sesama saudara dan sesama
ipar bertemu di medan peperangan. Mereka semua dipisahkan dengan suatu
prinsip di mana mereka ditentukan oleh pedang. Akhirnya, peperangan
Badar pun terjadi dan kaidah utama adalah kaidah persaudaraan sesama
Muslim. Dan ketika pasukan Muslim berpegang teguh di atas dasar Islam,
maka pasukan kafir mulai terpecah belah namun keadaan tersebut mereka
sembunyikan.
Lalu 'Utbah bin Rabi'ah berbicara di
tengah-tengah pasukan Mekah dan mengajak mereka untuk menarik kembali
dari peperangan. 'Utbah memberikan pernyataan sesuai dengan tuntutan
akal sehat, "wahai orang-orang Quraisy demi Allah, jika kalian harus
memerangi Muhammad, maka kalian akan menyesal karena kita berhadapan
dengan saudara-saudara kita sendiri. Boleh jadi kita akan membunuh anak
paman kita, atau salah seorang dari kerabat kita. Mengapa kalian tidak
membiarkannya saja?"
Kalimat yang rasional tersebut cukup
menggoncangkan pasukan Mekah. Sebagian tentara merasa puas dengan
pernyataan tersebut karena mereka melihat bahwa tidak ada gunanya
peperangan itu. Namun kebohohan justru memadamkan kalimat yang rasional
itu. Abu Jahal menuduh bahwa yang mengucapkan kata-kata adalah orang
yang penakut. Kemudian Abu Jahal lebih memilih pendapatnya untuk
menetapkan terus memerangi kaum Muslim.
Pemimpin pasukan kafir yaitu Abu Jahal
mengetahui bahwa Muhammad tidak pernah berbohong. Kitab-kitab sejarah
menceritakan bahwa Akhnas bin Syuraif menyendiri dalam perang Badar
bersama Abu Jahal sebelum terjadinya peperangan tersebut dan bertanya
kepadanya, "wahai Abul Hakam, tidakkah engkau melihat bahwa Muhammad
pernah berbohong? Abul Hakam menjawab: "Bagaimana mungkin ia berbohong
atas Allah, sedangkan kami telah menamainya al-Amin (orang yang dapat
dipercaya)." Peperangan tersebut bukan sebagai usaha untuk mendustakan
Rasul saw tetapi itu hanya semata-mata untuk menjaga
kepentingan-kepentingan sesaat dan keadaan ekonomi. Demikianlah
orang-orang kafir mempertahankan nilai yang paling rendah yang ada di
muka bumi yang juga dipertahankan oleh binatang, sementara kaum Muslim
justru mempertahankan nilai yang paling tinggi di bumi dan di langit
yang ikut serta di dalamnya para malaikat.
Kemudian datanglah waktu malam menyelimuti
dua kubu. Tiga ratus tentara yang mukmin sudah bersiap-siap dan
mendekati seribu tentara musyrik. Orang-orang musyrik datang dengan
menunggangi tunggangan mereka dan tampak mereka memiliki persenjataan
yang lengkap, sedangkan setiap orang Muslim datang di atas satu
kendaraan. Pakaian yang dipakai orang-orang musyrik tampak masih baru
dan pedang-pedang mereka tampak mengkilat serta baju besi yang mereka
gunakan sangat unggul dan kuat. Alhasil, mereka memiliki persiapan yang
sangat mengagumkan sedangkan pakaian yang dipakai orang-orang Muslim
tampak sudah usang dan pedang-pedang kuno pun mereka gunakan dan baju
besi yang mereka gunakan tampak tidak sempurna. Nabi melihat keadaan
pasukannya lalu hati beliau tampak sedih melihat pasukan tersebut.
Beliau berdoa kepada Tuhannya: "Ya Allah, Sesungguhnya mereka adalah
orang-orang yang lapar, maka kenyangkanlah mereka. Ya Allah,
sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tanpa alas kaki, maka
tolonglah mereka. Ya Allah, Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang
tidak berpakaian, maka berilah mereka pakaian."
Kemudian rasa kantuk menghinggapi mata
kedua pasukan lalu mereka beristirahat di tengah-tengah malam. Jatuhlah
hujan kecil yang membuat tempat itu basah sehingga kelembaban mengitari
kaum Muslim. Hujan tersebut membasuh tanah perjalanan dan menghilangkan
debu-debu kepayahan serta menyucikan hati dan membangkitkan kepercayaan
atas kemenangan dari Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu
mengantuk sebagai suatu penenteram dari-Nya, dan Allah menurunkan hujan
dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan
dari kamu gangguan-gangguan setan dan untuk menguatkan hatimu dan
memperteguh dengannya telapak kaki(mu)." (QS. al-Anfal: 11)
Datanglah waktu pagi di Badar lalu kaum
Quraisy mulai menyerang, lalu Nabi memerintahkan pasukan Muslim untuk
bertahan. Rasulullah saw bersabda: "Jika musuh mengepung kalian, maka
usirlah mereka dengan panah dan janganlah kalian menyerang mereka
sehingga kalian diperintahkan."
Demikianlah ketetapan militer yang sangat
jitu yang berarti hendaklah kaum Muslim membentengi mereka di
tempat-tempat mereka agar orang-orang musyrik mendapatkan kerugian dari
serangan yang mereka lakukan. Kita mengetahui dari ilmu militer saat ini
bahwa seorang yang menyerang memerlukan tiga atau tiga kali lipat dari
jumlah yang biasa dilakukan sehingga serangannya betul-betul efektif;
kita mengetahui bahwa jumlah pasukan musyrik tiga kali lipat
dibandingkan dengan tentara Muslim. Kaum musyrik dilihat dari segi
jumlah sangat memadai untuk memenangkan peperangan, dan persenjataan
mereka lebih lengkap dari persenjataan kaum Muslim. Jumlah hewan yang
mereka miliki pun sama dengan jumlah mereka, sedangkan tiap tiga orang
Muslim berperang di atas satu tunggangan.
Keadaan saat itu sangat menguntungkan kaum
musyrik. Tanda-tanda kemenangan tampak menyertai bendera kaum musyrik,
tetapi kemenangan peperangan bukan karena kebesaran jumlah pasukan dan
persenjataan yang lengkap. Terkadang peperangan justru dimenangkan oleh
unsur spiritual yang tidak kelihatan. Spiritualitas tentara dan
keimanannya tentang persoalan yang dipertahankannya serta keinginannya
untuk mendapatkan dua kebaikan: kemenangan atau kematian dan hasratnya
yang tinggi untuk meneguk madu syahadah, semua itu dapat mengubah
seorang tentara menjadi makhluk yang tidak terkalahkan. Boleh jadi ia
akan merasakan kematian tetapi jauh dari kekalahan. Demikianlah keadaan
pasukan Muslim.
Sementara itu debu-debu berterbangan di
atas kepala pasukan yang bertempur dan kaum Muslim mencurahkan tenaga
yang keras dalam peperangan itu. Ketika dua pasukan saling bertemu dan
bertempur, Nabi saw melihat mereka, lalu Nabi saw menyaksikan pasukannya
terjepit. Pasukan yang berjumlah sedikit dengan persenjataan yang tidak
lengkap itu kini ditekan oleh orang kafir. Dalam keadaan demikian, Nabi
saw meminta pertolongan kepada Tuhannya: 'Ya Allah, kirimkanlah bantuan
dan pertolongan-Mu. Ya Allah, wujudkanlah janji-Mu kepadaku. Ya Allah,
jika kelompok ini dihancurkan, maka Engkau tidak akan disembah
setelahnya di muka bumi." Renungkanlah, bagaimana kesedihan Nabi saat
terjadi peperangan itu. Oleh karena itu, kita dapat memahami mengapa
Nabi saw meminta agar pasukannya dimenangkan.
Pemimpin pasukan tertinggi Muhammad bin
Abdillah keluar berperang di jalan Allah SWT dan saat ini kematian
sedang mengitari kaum Muslim, lalu apa yang dipikirkan oleh Nabi saw
pada keadaan yang sulit tersebut? Pemikiran Nabi saw melebihi hal yang
sekarang dan menuju pada hal yang akan datang, dan yang menjadi fokus
Nabi adalah penyembahan Allah SWT di muka bumi: "Ya Allah, jika kelompok
ini dihancurkan, maka Engkau tidak akan disembah setelahnya di muka
bumi."
Nabi tidak terlalu mengkhawatirkan
kehancuran kaum Muslim karena Nabi justru mengkhawatirkan sesuatu yang
lebih besar dari itu. Yang beliau khawatirkan adalah penyembahan kepada
Allah SWT akan berhenti di muka bumi. Oleh karena itu, Nabi meminta
tolong kepada Tuhannya dan mengingatkan kembali kepada Tuhannya dan
Allah SWT lebih tahu dari hal itu. Kemudian turunlah bala tentara
malaikat yang dipimpin oleh Jibril.
Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah), ketika kamu memohon
pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankankan-Nya bagimu:
'Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan
seribu malaikat yang datang berturut-turut.' Dan Allah tidak
menjadikannya (mengirim bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira
dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah
dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
(QS. al-Anfal: 9-10)
Setelah itu Nabi saw menghampiri sahabat
Abu Bakar dan berkata: "Sampaikan berita gembira wahai Abu Bakar,
sesungguhnya telah datang kepadamu bantuan dari Allah SWT."
Turunnya para malaikat merupakan cara untuk
meneguhkan kaum Muslim dan berita gembira kepada mereka. Mukjizat itu
bukan terletak pada penyertaan para malaikat dalam peperangan, namun
melalui nas-nas ditegaskan bahwa peranan malaikat tidak lebih dari
sekadar membawa berita gembira dan memberikan dukungan moril serta
memenuhi hati dengan ketenangan. Kami kira bahwa Allah SWT ingin agar
para malaikat menyaksikan manusia-manusia malaikat yang mempertahankan
akidah tauhid.
Demikianlah Allah SWT mewahyukan kepada
malaikat bahwa Dia bersama mereka. Oleh karena itu, hendaklah
orang-orang yang beriman merasa tenang dan kebenaran akan tertancap pada
hati mereka sedangkan orang-orang kafir pasti akan merasakan ketakutan.
Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan
kepada para malaikat: 'Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah
(pendirian) orang-orang yang telah beriman.' Kelak akan Aku jatuhkan
rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala
mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. (Ketentuan) yang
demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan
Rasul-Nya; dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka
sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya. Itulah (hukum dunia yang
ditimpakan atasmu), maka rasakanlah hukuman itu. Sesungguhnya bagi
orang-orang yang kafir itu ada (lagi) azab neraka." (QS. al-Anfal:
12-14)
Lalu orang-orang kafir pun mengalami
kekalahan. Setelah peperangan itu, terbunuhlah tujuh puluh kafir dan
tujuh puluh tawanan dari mereka dan sebagian pasukan melarikan diri.
Runtuhlah tokoh-tokoh kebencian dan kelaliman di peperangan tersebut.
Hancurlahlah Abu Jahal, pemimpin pasukan, dan pahlawan-pahlawan Mekah
kini terkapar.
Rasulullah saw berdiri di depan
bangkai-bangkai orang-orang kafir dan berkata: "Wahai Utbah bin Rabi'ah,
wahai Syaibah bin Rabi'ah, wahai Umayah bin Khalf, wahai Abu Jahal bin
Hisam, apakah kalian menemukan apa yang dijanjikan oleh tuhan kalian
kepada kalian. Sungguh aku telah menemukan apa yang dijanjikan Tuhanku."
Orang-orang Muslim berkata: "Ya Rasulullah, apakah engkau memanggil
kaum yang sudah mati?" Rasulullah berkata: "Kalian tidak mengetahui apa
yang aku katakan kepada mereka, tetapi mereka tidak mampu menjawab
perkataanku." Rasulullah saw tinggal tiga malam di Badar kemudian beliau
kembali ke Madinah. Di depan beliau terdapat tawanan-tawanan perang dan
ganimah.
Kaum Muslim sangat menanggung beban berat
dengan banyaknya tawanan perang. Mula-mula Rasulullah saw bermusyawarah
dengan sahabat Abu Bakar dan Umar. Abu Bakar berkata: "Ya Rasulullah,
mereka adalah keturunan dari saudara-saudara dan keluarga, dan aku
melihat lebih baik engkau mengambil fidyah (tebusan) dari mereka
sehingga apa yang engkau ambil tersebut merupakan kekuatan bagi kita
terhadap orang-orang kafir, dan mudah-mudahan Allah SWT memberi petunjuk
kepada mereka sehingga mereka menjadi tulang punggung kita."
Kemudian Rasulullah saw menoleh kepada Umar
bin Khattab sambil berkata, "bagaimana pendapatmu wahai Ibnul Khattab?"
Lelaki itu berkata: "Demi Allah, aku tidak sependapat dengan apa yang
dikatakan Abu Bakar tetapi aku berpendapat, seandainya aku mampu untuk
bertemu dengan salah seorang kerabatku, maka aku akan memukul lehernya,
dan seandainya Ali mampu bertemu dengan keluarganya, maka ia pun akan
memukul lehernya begitu Hamzah sehingga Allah SWT mengetahui bahwa tidak
ada di hati kita kelembutan kepada kaum musyrik."
Pasukan Madinah dan pasukan Mekah terdiri
dari keluarga-keluarga yang terikat hubungan kekerabatan, namun kehendak
Allah SWT menetapkan terjadinya peperangan sesama keluarga: antara anak
dan orang tuanya. Umar menginginkan agar keadaan demikian terus
berlanjut sehingga orang-orang musyrik mengetahui bahwa Islam tidak
ingin berdamai. Kemudian Selesailah urusan itu dan terjadi peperangan di
jalan Allah SWT dan mengangkat senjata dan berperang adalah suatu
kewajiban yang tiada keraguan di dalamnya. Nabi saw menoleh kepada kaum
Muslim dan mendapati sebagian besar mereka cenderung kepada pendapat Abu
Bakar. Nabi saw mengikuti pendapat mayoritas saat itu. Pendapat
mayoritas salah dan hanya Umar yang benar.
Ini adalah peperangan pertama yang dilalui
oleh Islam. Hendaklah kaum Muslim harus meninggalkan dorongan
kemanusiaan mereka, yakni orang-orang kafir harus dibunuh agar
musuh-musuh Allah SWT mengetahui bahwa Islam telah memilih darah. Allah
SWT telah mendukung Umar bin Khattab dalam Al-Qur'an sehingga Nabi saw
dan Abu Bakar menangis ketika keduanya menyadari kesalahan mereka pada
hari berikutnya, lalu Umar memergoki mereka dalam keadaan menangis dan
ia bertanya, "apa yang menyebabkan Rasulullah saw dan temannya di gua
menangis?" Kemudian Rasulullah saw membaca Al-Qur'an:
"Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai
tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu
menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala)
akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau
sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya
kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang hamu ambil." (QS.
al-Anfal: 67-68)
Kedua ayat itu mengatakan bahwa ini bukan
saatnya melindungi para tawanan dan berusaha untuk menebus mereka. Waktu
Demikian belum saatnya. Nabi tidak berhak memiliki tawanan kecuali jika
ia telah melakukan banyak peperangan dan banyak berjihad dan telah
banyak membunuh dan dakwahnya telah mapan.
Kedua ayat tersebut menyingkap tujuan di
balik penebusan tawanan: "Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan
Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu)."
Demikianlah pemikiran yang mempertimbangkan
keadaan-keadaan aktual yang sulit. Itu adalah pemikiran yang bersifat
taktik sebagaimana yang kita ungkapkan dalam istilah modern dan bukan
pemikiran yang bersifat strategis. Kemudian para tawanan tersebut bukan
tawanan biasa tetapi menurut istilah modern mereka adalah
penjahat-penjahat perang. Oleh karena itu, nyawa mereka harus
ditumpahkan saat mereka dapat ditangkap, meskipun mereka memiliki
kekayaan yang banyak atau kedudukan yang tinggi. Islam tidak mengakui
kekayaan atau kedudukan, yang diakuinya adalah keimanan, sedangkan
pertimbangan-pertimbangan duniawi lainnya tidak dihiraukan oleh Islam.
Nas Al-Qur'an memperingatkan orang-orang
yang menang bahwa kesalahan mereka bisa berakibat pada datangnya siksaan
yang bakal mereka terima tetapi Allah SWT mengampuni mereka dan
menurunkan rahmat-Nya: "Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah
terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena
tebusan yang kamu ambil."
Siksaan tersebut memang lebih dekat
daripada pohon yang dekat ini, kemudian Allah SWT mengampuni mereka dan
Allah SWT mengampuni sahabat-sahabat yang terjun di perang Badar, baik
dosa yang lalu maupun dosa mereka yang akan datang. Demikianlah
Al-Qur'an ingin mendidik kaum Muslim agar mereka tidak banyak
mempertimbangkan urusan manusiawi saat berperang. Jadi, Islam memulai
peperangannya yaitu peperangan yang hanya ditujukan kepada Allah SWT dan
hendaklah peperangan tersebut dihilangkan dari
pertimbangan-pertimbangan yang sulit sehingga sahabat-sahabat Nabi
mengetahui bahwa kecenderungan kepada kesenangan duniawi akan berakibat
pada kekalahan mereka.
Dalam peperangan Uhud jumlah kaum musyrik
tiga ribu sedangkan jumlah kaum Muslim tiga ratus pasukan setelah
pemimpin orang-orang munafik Abdullah bin Saba' mengundurkan diri
pasukan. Kaum Muslim diletakkan di gunung dan Rasulullah saw membuat
rencana yang jitu untuk memenangkan pertempuran di mana beliau membagi
pasukan pemanah di puncak gunung untuk melindungi punggung kaum Muslim
dan melinduingi mereka dari serangan dari arah belakang. Rasulullah saw
memberi pengertian kepada pasukan panah itu agar mereka tetap di
tempatnya baik kaum Muslim menang maupun kalah. Yakni bahwa pasukan
pemanah tidak boleh turun dari gunung dan meski berusaha untuk
melindungi kaum Muslim. Rasulullah saw berkata kepada mereka.
"lindungilah punggung-punggung kami. Jika kalian melihat kami sedang
bertempur, maka kalian tidak usah turun darinya dan tidak usah menolong
kami, dan jika kalian melihat kami memperoleh kemenangan dan mengambil
ganimah, maka kalian tidak boleh ikut serta bersama kami."
Setelah membuat keputusan tersebut,
Rasulullah saw kembali ke pasukan yang lain, lalu beliau membikin suatu
rencana untuk menyerang. Dan Dimulailah peperangan kemudian pasukan
Islam mendorong pasukan musyrik laksana angin yang kencang yang
memporak-porandakan ribuan kaum musyrik. Pada tahapan pertama pasukan
Islam tampak menguasai medan dan berhasil menyapu kaum musyrik sehingga
pasukan Mekah tampak berputus asa meskipun mereka unggul secara bilangan
dan meskipun mereka memiliki kuatan persenjataan yang lengkap, pasukan
Mekah justru dikagetkan dengan ketangguhan pasukan Muslim yang dapat
memukul mundur mereka hingga mereka membayangkan balwa mereka tidak
dapat memenangkan peperangan atau dapat bertahan di hadapan pasukan
Muslim.
Debu-debu peperangan mulai berterbangan
yang menyertai tanda-tanda kekalahan pasukan Mekah. Sementara itu, para
pemanah yang diletakkan Rasulullah saw di suatu tempat yang strategis
berpikir untuk memperoleh ganimah. Pasukan Mekah telah kalah dan mereka
telah melarikan diri dari pasukan Muslim, maka bagaimana seandainya para
pemanah turun dari tempat mereka untuk mengumpulkan harta rampasan dan
ganimah. Rasulullah saw telah mengingatkan mereka agar jangan
meninggalkan tempat mereka, apa pun yang terjadi tetapi pasukan pemanah
itu justru berkhianat dan menentang perintah Nabi saw setelah mereka
membayangkan bahwa peperangan telah selesai dan keuntungan akan
diperoleh pasukan Madinah yang beriman.
Pasukan pemanah mengira bahwa Allah SWT
akan menutupi kesalahan mereka dan akan melindungi mereka sehingga
mereka berhasil mengambil harta rampasan dan ganimah. Sungguh keikhlasan
telah tercabut dari hati sebagian pasukan. Belum lama hal tersebut
berlangsung sehingga terjadilah perubahan yang drastis pada peperangan.
Pemimpin pasukan berkuda musyirik dalam peperangan Uhud yaitu Khalid bin
Walid yang kemudian ia menjadi tokoh Muslim adalah orang yang sangat
jenius dalam peperangan. Begitu ia melihat pasukan pemanah lari dari
tempat mereka, maka ia melihat celah yang terbuka di tengah-tengah kaum
Muslim, sehingga ia segera memutarkan kudanya dan disertai pasukan yang
mengikutinya. Kemudian ia menyerang kaum Muslim dari belakang. Serangan
yang dilakukan Khalid itu sangat cepat dan sangat mengejutkan.
Orang-orang musyrik mengambil kesempatan emas. Mereka yang tadinya lari,
kini mereka menarik diri dan justru menyerang kembali.
Pasukan Muslim dikepung dari dua arah oleh
pasukan berkuda: satu dari belakang dan yang lain dari depan. Kemudian
berjatuhanlah korban-korban dari pasukan Muhammad bin Abdillah. Banyak
di antara mereka yang mati sebagai syahid saat mempertahankan dan
melindungi Rasulullah saw, bahkan sang Nabi pun hidungnya terluka dan
giginya pun runtuh dan kepala beliau yang mulia terluka sehingga beliau
mengucurkan darah.
Kemudian tersebarlah isu bahwa Muhammad saw
telah meninggal. Ketika mendengar itu, kaum Muslim sangat terpukul dan
sangat sedih sehingga kaum Muslim pun terpecah-pecah. Sebagian mereka
kembali ke Mekah dan sekelompok yang lain ke atas gunung dan mereka
tetap menjaga Nabi saw yang mulia. Ketika mendengar kematian Nabi, Anas
bin Nadhir berkata kepada kaumnya: "Bangkitlah kalian dan matilah
seperti kematiannya. Apa yang kalian lakukan setelah kalian hidup
sesudahnya."
Pasukan Muslim tetap bertahan dan melakukan
peperangan, lalu tekanan kaum musyrik semakin berat kepada Nabi saw dan
para sahabatnya. Kemudian terjadilah kejadian yang paling sulit dalam
sejarah umat Islam. Nabi saw berteriak saat melihat kaum musyrik
menekannya dan berusaha membunuhnya: "Barangsiapa yang dapat mengusir
mereka dariku, maka baginya surga."
Mendengar perkataan itu, kaum Muslim segera
mengitari Nabi saw dan melindungi beliau sehingga banyak dari mereka
berguguran sebagai syahid. Bahkan sahabat-sahabat Abu Juanah melindungi
Nabi saw sampai-sampai punggungnya dipenuhi dengan anak-anak panah. Ia
bagaikan baju besi yang dipakai kepada Nabi saw dan ia tetap kokoh
melindungi sang Nabi saw. Kemudian berubahlah keadaan karena keteguhan
dan keberanian yang diperlihatkan oleh kaum Muslim. Pasukan Mekah merasa
puas dan mereka memilih untuk menarik diri. Saat itu orang-orang
Quraisy tidak lebih sedikit penderitaannya daripada orang-orang Muslim.
Setelah peperangan yang dahsyat itu, kaum
musyrik menarik diri setelah mereka berhasil membunuh beberapa orang
Muslim, bahkan mereka berhasil melukai pemimpin pasukan yaitu sang Nabi
saw. Semua itu terjadi karena satu kesalahan yaitu kesalahan terletak
pada penentangan dan pembangkangan para pemanah terhadap perintah sang
Rasul saw dan usaha mereka untuk meninggalkan tempat mereka.
Ketika sebagian kelompok dari sahabat
kehilangan pengorbanan dan kehilangan sikap ikhlas dalam hati mereka,
maka kesalahan tersebut harus dibayar oleh tentara yang paling berani
dan mulia di antara mereka yaitu sang Nabi saw. Langit tidak ikut campur
untuk menyelamatkan pasukan Islam itu. Kesalahan kaum Muslim itu harus
dibayar oleh Rasul saw di mana wajah beliau pun terluka bahkan keluar
darah yang cukup deras dari luka beliau sehingga setiap kali dituangkan
air di atas luka itu, maka darah pun semakin deras mengucur. Darah itu
tidak berhenti kecuali setelah dibakarkan potongan tembikar lalu
dilekatkan di atasnya.
Luka beliau bukan hanya bersifat materi
tetapi luka spiritual beliau dan ruhani beliau pun semakin bertambah.
Ini beliau rasakan ketika mendengar bahwa pamannya Hamzah gugur sebagai
syahid dan tidak cukup dengan itu, bahkan istri Abu Sofyan yaitu Hindun
membelah perutnya dan mengeluarkan jantungnya serta mengunyahnya dengan
mulutnya. Semua itu semakin menambah kesedihan sang Nabi.
Kaum Quraisy menguasi pasukan Muslim dan
mereka memberlakukan dan menekan kaum Muslim secara aniaya. Seandainya
bukan karena rahmat Allah SWT niscaya kaum Muslim akan mengalami
kekalahan yang telak. Kemudian turunlah dalam Al-Qur'an al-Karim
ayat-ayat yang mendidik kaum Muslim agar mereka benar-benar ikhlas dan
memahamkan mereka bahwa kekalahan mereka sebagai akibat dari adanya
pasukan di antara mereka yang menginginkan dunia meskipun di antara
mereka ada sebagian yang menginginkan akhirat. Jika terjadi demikian,
maka tidak adajalan untuk memperoleh kemenangan. Ini bukanlah hal yang
diinginkan oleh pasukan Muslim, yang diharapkan adalah hendaklah semua
pasukan tertuju untuk mencapai ridha Allah SWT dan hanya mengharapkan
akhirat. Jika demikian halnya, maka Allah SWT akan memberi mereka dunia
dan akhirat.
Allah SWT berfirman dan menceritakan
peperangan Uhud dalam surah Ali 'Imran:
"Di antaramu ada orang yang menghendahi
dunia dan di antara kamu ada orangyang menghendaki akhirat. Kemudian
Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu; dan sesungguhnya
Allah telah memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang
dilimpahkan) atas orang-orang yang beriman." (QS. Ali 'Imran:: 152)
Allah SWT memaafkan hal itu. Orang-orang
Muslim kini menghitung jumlah korban mereka dan mengobati orang-orang
yang terluka. Rasulullah saw bertanya tentang pamannya Hamzah, dan
ketika beliau mendapatinya di tengah-tengah sahabat yang gugur, dan
orang-orang kafir telah merusak jasadnya, maka beliau berkata dalam
keadaan menangis: "Tidak akan ada orang yang akan tertimpa sepertimu
selama-lamanya."
Kemudian Nabi saw berdiri dan memuji Allah
SWT lalu beliau memerintahkan untuk mengembalikan orang-orang yang
terbunuh dari kaum Muslim ke tempat asal mereka di mana mereka terbunuh.
Saat itu keluarga mereka telah membawanya ke kuburan kemudian Nabi saw
mengumpulkan kedua orang laki-laki dari pahlawan-pahlawan Uhud dalam
satu pakaian dan beliau bertanya siapa di antara keduanya yang paling
banyak mengambil manfaat dari Al-Qur'an. Jika diisyaratkan kepada salah
satunya, maka beliau akan mendahulukannya untuk dimasukan dalam liang
lahad.
Rasulullah saw juga memerintahkan agar
mereka dikebumikan dengan darah mereka dan beliau pun tidak mensalati
mereka, serta tidak memandikan mereka. Allah SWT ingin memperlihatkan
bagaimana mereka dibangkitkan pada hari kiamat lalu beliau bersabda:
"Tiada seorang pun yang terluka di jalan Allah SWT kecuali Allah SWT
membangkitkannya di hari kiamat dalam keadaan di mana Iukanya akan
mengucur darah. Warna itu adalah warna darah dan baunya seperti minyak
misik."
Bukanlah penderitaan yang dalam yang
merupakan pelajaran yang harus dimengerti kaum Muslim dari peperangan
Uhud sebagai akibat dari pembangkangan mereka dari perintah Rasul saw
dan ketidaktaatan mereka kepadanya, tetapi wahyu juga menurunkan
berbagai pelajaran yang lain yang dapat dimanfaatkan. Pelajaran yang
terpenting setelah pelajaran kesetiaan adalah penjelasan tentang central
utama yang di situ kaum Muslim berkumpul. Pribadi Rasulullah saw
bukanlah markas yang di situ kaum Muslim berkumpul yang ketika pribadi
Rasulullah saw yang mulia pergi karena satu dan lain hal, maka
orang-orang Muslim akan pergi dan meninggalkan beliau. Tidak seharusnya
pribadi Rasul saw menjadi markas atau central tetapi yang menjadi
central dari semuanya adalah pemikiran beliau. Itulah yang paling
penting.
Demikianlah bahwa Al-Qur'an al-Karim
mencela orang-orang yang meletakkan senjatanya ketika tersebar isu
terbunuhnya Nabi saw. Islam tidak akan mencapai puncaknya ketika kaum
Muslim berkumpul di sisi Rasulullah saw saat beliau masih hidup namun
ketika beliau terbunuh atau mati, maka mereka murtad di mana mereka
membuang senjatanya dan pergi mengurusi diri mereka sendiri. Orang-orang
Islam adalah orang-orang yang mengikuti prinsip bukan mengikuti
pribadi. Muhammad bin Abdillah memang seorang pemimpin manusia dan Imam
para rasul dan penutup para nabi, dan sebagai makhluk Allah SWT yang
paling mulia, namun ini semua tidak membenarkan bahwa seorang Muslim
diperbolehkan untuk meletakkan senjatanya ketika Rasul saw wahfat atau
terbunuh. Hendaklah seorang Muslim memanggul senjatanya dan tidak
membuang dari tangannya kecuali dalam dua keadaan: pertama ketika ia
telah memperoleh kemenangan dan kedua ketika ia telah mati.
Nas Al-Qur'an menjelaskan secara gamblang
hubungan kaum Muslim dengan akidah Islam, bukan dengan pribadi sang
Rasul saw. Allah SWT berfirman:
"Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang
Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakahjika
dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (tnurtad)? Barangsiapa
yang berbalik ke belakang, maha ia tidak dapat mendatangkan mudarat
kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada
orang-orangyang bersyukur." (QS. Ali 'Imran: 144)
Demikianlah bahwa peperangan Uhud telah
membawa dampak yang luar biasa terhadap kaum Muslim, utamanya terhadap
Nabi saw. Orang-orang yang terbunuh di perang Uhud adalah
sahabat-sahabat yang paling mulia dan paling banyak imannya. Mereka
adalah pilihan dari orang-orang Muslim yang pertama; mereka memikul
beban dakwah di saat-saat yang sulit bahkan mereka harus berhadapan dan
memusuhi kerabat mereka dan teman-teman mereka; mereka menjadi terasing
saat menyatakan keislaman mereka sebelum hijrah dan sesudahnya; mereka
telah menginfakkan harta; mereka berjuang di jalan Allah SWT; mereka
telah bersabar dalam menanggung berbagai macam penderitaan, dan ketika
datang saat yang paling berbahaya dan pasukan Islam telah terkepung di
mana jiwa Rasul saw telah terancam, mereka justru mencurahkan darah
mereka bagaikan lautan yang menenggelamkan orang-orang kafir dan mereka
mampu melindungi sang Rasul saw dan mengubah jalan peperangan serta
menyelamatkan akidah tauhid.
Peperangan Uhud bukanlah pengorbanan
pertama yang dilakukan oleh kaum Muslim dan bukanlah merupakan
peperangan yang terakhir. Ia adalah satu peperangan di antara cukup
banyak peperangan yang dilalui oleh Islam untuk menyebarkan kalimat
Allah SWT di muka bumi dan membimbing hamba-hamba-Nya. Begitu juga
pengorbanan Rasul saw, dan peperangan Uhud bukanlah pengorbanan yang
pertama terhadap Islam dan bukan juga yang terakhir. Rasulullah saw
telah hidup setelah diutusnya kepada manusia di mana beliau telah
memberikan semuanya untuk kehidupan dan untuk dakwah; beliau tidak
memiliki dirinya sendiri; beliau tidak memboroskan waktunya dengan
sia-sia bahkan beliau beristirahat sedikit saja. Semua kehidupan beliau
diberikan kepada dakwah dan untuk Islam. Beliau menjalani berbagai macam
peperangan dan beliau memikul berbagai macam penderitaan dan belum lama
beliau lari dari suatu problem kecuali beliau berhadapan dengan problem
yang baru dan lain; belum lama beliau menyelesaikan suatu krisis
kecuali beliau menghadapi krisis yang lain. Demikianlah kehidupan sang
Nabi saw di mana beliau selalu memberikan kontribusi dan sumbangannya
demi kepentingan agama Allah SWT.
Silakan Anda mengamati kehidupan sang Rasul
saw dari sudut manapun yang Anda inginkan niscaya Anda tidak akan
menemukan sudut dari sudut-suduut kehidupan beliau kecuali dimulai dan
dipenuhi dengan pergulatan yang hebat.
Rasulullah saw telah melalui pergulatan
militer dalam berbagai macam pertempuran yang silih berganti yang beliau
lakukan. Beliau memulai pergulatan politiknya yang terwujud dalam
perundingan-perundingan dan surat-surat yang beliau kirimkan kepada
penguasa dan para raja di berbagai negara agar mereka memeluk Islam,
bahkan beliau melakukan pergulatannya dalam masalah pribadi di rumah
tangga. Rumah tangga beliau pun tidak kosong dari pergulatan. Beliau
adalah pejuang sejati dalam setiap waktu. Kalau kita mengenal Nabi
Ibrahim sebagai seorang musafir di jalan Allah SWT, maka Muhammad bin
Abdillah adalah seorang pejuang di jalan Allah SWT. Belum lama
peperangan Uhud berakhir sehingga pengaruh-pengaruh buruknya berbekas
pada kaum Muslim. Orang-orang Arab Badui mulai berani bersikap kurang
ajar kepada mereka, demikianjuga orang-orang Yahudi, apalagi orang-orang
munafik dan tidak ketinggalan orang-orang Quraisy pun mulai menyudutkan
kaum Muslim.
Kemudian datanglah utusan dari kabilah Arab
kepada Rasul saw dan mereka mengatakan kepada beliau bahwa mereka
mendengar tentang Islam dan mereka ingin memeluknya, maka hendaklah
beliau mengutus kepada mereka beberapa dai dan mubalig untuk mengajari
mereka tentang dasar-dasar agama. Nabi saw mengutus bersama mereka
sekelompok para dai yang dipimpin oleh 'Ashim bin Tsabit. Temyata
orang-orang itu berkhianat atas para sahabat-sahabat yang berdakwah itu
dan mereka pun dibunuh. Bahkan tiga di antara mereka ditawan dan dijual
di Mekah. Dijualnya mereka di Mekah berarti mereka diserahkan pada
kelompok orang-orang Quraisy yang telah lama menunggu untuk menangkap
kaum Muslim. Kaum Quraisy Mekah membunuh tiga tawanan kaum Muslim itu.
Orang-orang Muslim sangat sedih mendengar dai-dai Allah SWT itu terbunuh
dengan cara yang begitu tragis.
Ketika datang kepada Nabi saw orang-orang
yang minta pada beliau agar dikirim utusan dari kalangan mubaligh untuk
menyebarkan Islam untuk para kabilah kaum Najd, maka Nabi kali ini
betul-betul mempertimbangkan antara kepentingan menyebarkan Islam dan
perlindungan terhadap kehormatan manusia. Lalu beliau memilih untuk
kepentingan dakwah Islam. Beliau menyadari bahwa beliau mengutus para
sahabatnya dalam bahaya; beliau memberitahu mereka bahwa mereka akan
menghadapi suatu keadaan yang misterius yang tiada mengetahuinya kecuali
Allah SWT. Namun bahaya tersebut sudah menjadi bagian dari cita rasa
kehidupan yang selalu meliputi dakwah Islam.
Ketika Nabi saw mengutarakan
kekhawatirannya terhadap para sahabatnya yang bakal diutusnya di tengah
kabilah itu, orang-orang yang meminta beliau untuk mengutus para
sahabatnya menyakinkan beliau bahwa mereka akan melindungi sahabat
beliau. Kemudian Nabi saw memerintahkan tujuh puluh orang pilihan dari
sahabatnya untuk pergi dan berjihad di jalan Allah SWT serta mengajak
manusia untuk mengikuti Islam. Lalu pergilah para sahabat yang kemudian
dikenal dengan sebutan al-Qurra' (yaitu orang-orang yang pandai membaca
Al-Qur'an dan menghapalnya). Mereka adalah para dai yang terbaik yang
diutus Nabi di mana pada siang hari mereka memikul kayu bakar dan pada
malam hari mereka sibuk dalam keadaan salat. Ketika datang perintah
Rasulullah saw kepada mereka untuk pergi dan berdakwah mereka pun pergi
dalam keadaan gembira karena mereka diajak untuk berjihad di jalan Allah
SWT. Mereka melangkahkan kaki dengan mantap di tanah orang-orang
munafik dan para penghianat sehingga mereka sampai di suatu sumur yang
bemama sumur Ma'unah. Kemudian mereka mengutus salah seorang di antara
mereka untuk menemui pemimpin orang-orang kafir di negeri itu. Mubalig
dari sahabat Rasulullah saw itu menyampaikan surat Nabi yang dibawanya
di mana beliau mengharapkan agar masyarakat di situ masuk Islam, tetapi
ia dikagetkan dengan adanya pisau yang menembus punggungnya. Mubaligh
itu berteriak saat ia tersungkur: "sungguh aku beruntung demi Tuhan
pemelihara Ka'bah."
Kemudian pemimpin orang-orang kafir itu
mengangkat senjata dan mengumpulkan para kabilah untuk memerangi para
mubaligh di jalan Allah SWT itu sehingga sahabat-sahabat terbaik yang
berdakwah di jalan Allah SWT itu pun gugur di sumur Ma'unah. Jasad-jasad
mereka menjadi makanan dari burung nasar dan burung-burung yang lain.
Dari tujuh puluh orang yang dikirim itu hanya seorang yang selamat yang
kembali kepada Nabi saw. Ia menceritakan apa yang dialami oleh
fuqaha-fuqaha Muslimin di mana mereka dikhianati. Ketika mendengar
berita tentang tragedi itu, Nabi sangat terpukul dan sedih. Kemudian
beliau mengangkat kepalanya dan berkata kepada sahabat-sahabatnya:
"Sungguh sahabat-sahabat kalian telah terbunuh dan mereka telah meminta
kepada Tuhan mereka. Mereka mengatakan, Tuhan kami, berikanlah kami
ujian sesuai dengan kehendak-Mu dan ridha-Mu. Apa saja yang menjadi
kepuasan-Mu kami pun akan merasakan kepuasan."
Sungguh penderitaan yang dialami oleh Islam
sangat berat, terutama yang menimpa para sahabat yang gugur sebagai
syahid di sumur Ma'unah. Nabi saw sangat sedih mendengar sikap
orang-orang Arab dan orang-orang kafir terhadap Islam. Mereka telah
mengejek dan merendahkan kaum mukmin sampai pada batas ini. Kemudian
beliau menetapkan akan kembali mengangkat kewibawaan Islam dengan tindak
kekerasan.
Dalam keadaan seperti ini, bergeraklah
orang-orang Yahudi untuk membunuh Rasulullah saw. Pada suatu hari beliau
pergi ke Bani Nadhir untuk menyelesaikan suatu urusan. Kemudian
mula-mula mereka menampakkan persetujuan atas apa yang diucapkan beliau.
Mereka mendudukkan Nabi di bawah naungan benteng-benteng mereka, lalu
mereka bersekongkol untuk melenyapkan beliau; mereka menetapkan untuk
melemparkan batu yang berat dari atas benteng itu saat beliau duduk dan
tidak membayangkan akan terjadinya kejahatan yang direncanakan padanya.
Namun Allah SWT mengilhami Rasul-Nya akan datangnya bahaya kepada
beliau, lalu beliau bangun sebelum pelaksanaan tipu daya itu. Lalu
beliau segera pergi menuju rumahnya. Beliau berpikir saat beliau kembali
ke rumahnya dengan membawa penderitaan yang baru. Pembangkangan dan
pengkhianatan tersebut tidak akan dapat berhenti kecuali setelah Islam
menunjukkan taringnya. Islam ingin mengembalikan kewibawaannya dengan
cara mengangkat senjata.
Rasul saw mengutus utusan ke Bani Nadhir
dan memerintahkan mereka untuk keluar dari Madinah, bahkan Rasul saw
memberi waktu kepada mereka hanya sepuluh hari. Kemudian orang-orang
munafik yang ada di Madinah bersatu bersama orang-orang Yahudi dan
mereka sepakat untuk memerangi Islam. Namun ketika berhadapan dengan
Islam, orang-orang Yahudi menelan kekalahan. Kemudian turunlah surah
al-Hasyr yang menyebutkan pengusiran orang-orang Yahudi dan menyingkap
kedok orang-orang munafik. Setelah kemenangan yang meyakinkan ini, Rasul
saw keluar bersama sahabatnya untuk membalas kejadian yang menimpa
sahabat-sahabatnya yang dikenal dengan al-Qurra' itu. Rasul saw ingin
mengembalikan kewibawaan Islam. Kemudian pasukan Rasul saw itu mampu
membuat para pengkhianat dari orang-orang Arab ketakutan. Hanya sekadar
mendengar nama pasukan Muslim, maka serigala-serigala gurun yang dulu
bengis itu pun ketakutan laksana tikus-tikus yang panik yang bersembunyi
di bawah lobang-lobang gunung. Orang-orang Quraisy mendengar kegiatan
pasukan Islam. Pasukan Quraisy menarik diri saat mereka mendekati
Dahran, sementara pasukan Muslim berada di Badar. Mereka menunggu
pertemuan yang disepakati di Uhud. Orang-orang Muslim menyala-kan api
selama delapan hari sebagai bentuk tantangan dan menunggu kedatangan
kaum kafir sehingga ketika mereka (kaum kafir) telah pergi, maka citra
kaum Muslim pun terangkat setelah mereka menerima kepahitan dalam
peperangan Uhud.
Kaum Muslim menoleh ke arah utara jazirah
Arab setelah menetapkan kewibawaan mereka di selatan. Kabilah di sekitar
Daumatul Jandal dekat dengan Syam merampok di tengah jalan dan merampas
kafilah yang berlalu di situ, bahkan kenekatan mereka sampai pada batas
di mana mereka berpikir untuk menyerbu Madinah. Oleh karena itu,
Rasulullah saw keluar bersama seribu orang Muslim yang mereka
bersembunyi di waktu siang dan berjalan di waktu malam, sehingga setelah
lima belas malam beliau sampai ke tempat yang dekat dengan tempat
tinggal musuh-musuh mereka lalu mereka menggerebek tempat itu. Pasukan
kafir itu dikagetkan dengan kedatangan kaum Muslim yang begitu cepat.
Kita akan mengetahui bahwa alat komunikasi
yang dimiliki oleh Rasulullah saw sangat unggul sebagaimana alat
pertahanan beliau pun sangat unggul. Serangan mendadak yang dilakukan
oleh pasukan Rasulullah saw menunjukkan bahwa mereka memiliki pertahanan
yang luar biasa. Sistem pertahanan yang luar biasa sebagaimana
kedatangan pasukan yang secara tiba-tiba itu menunjukkan kemampuan
pasukan Islam untuk menyusup.
Demikianlah, terjadilah hari-hari
pertempuran militer. Belum lama Nabi saw meletakkan baju besinya, dan
beliau kembali membangun pribadi kaum Muslim sehingga beliau terpaksa
kembali memakai baju besinya dan kembali berperang. Ketika musuh-musuh
Islam yang berada di sekelilingnya melihat bahwa kemampuan militer
mereka tidak dapat menandingi kemampuan kaum Muslim, maka mereka sengaja
melakukan cara-cara baru untuk memerangi Islam. Yaitu peperangan
psikologis atau peperangan urat syaraf dengan cara menyebarkan berbagai
macam isu atau apa yang dinamakan Al-Qur'an al-Karim dengan peristiwa
al-Ifik (kebohongan). Setelah peperangan Bani Musthaliq yaitu peperangan
yang membawa kemenangan yang cepat bagi kaum Muslim, terjadilah
kesalahpahaman dan pertengkaran di antara sahabat-sahabat yang biasa
mengambil air di mana salah seorang mereka berteriak: "wahai kaum
Muhajirin," dan yang lain berteriak: "Wahai kaum Anshar."
Peristiwa yang sangat sepele itu
dimanfaatkan oleh pemimpin kaum munafik yaitu Abdullah bin Ubai.
Abdullah bin Ubai memprovokasi orang-orang Anshar untuk menyerang kaum
Muhajirin. Ia ingin membangkitkan luka-luka jahiliah yang lama yang
telah dibuang dan telah dikubur oleh Islam, Salah satu yang dikatakan
oleh Ibnu Ubai adalah, "sungguh mereka telah menyaingi kita dan
mengambil kebaikan dari dan seandainya kita telah kembali ke Madinah
niscaya orang-orang yang mulai akan dapat mengusir orang-orang yang hina
di dalamnya."
Zaid bin Arqam menyampaikan kalimat si
munafik itu kepada Nabi saw, di mana kalimat itu berisi provokasi
terhadap orang-orang Anshar untuk menyerang kaum Muhajirin. Ubai
menginginkan agar mereka berpecah belah dan agar kesatuan mereka runtuh.
Si Munafik itu segera datang kepada Rasul saw dan menafikan apa yang
dikatakannya. Orang-orang Muslim secara lahiriah membenarkan perkataan
si munafik itu dan mereka justru menuduh Zaid bin Arqam salah mendengar.
Tetapi hakikat peristiwa itu tidak tersembunyi dari Nabi saw sehingga
peristiwa itu sangat menyedihkan beliau. Lalu beliau mengeluarkan
perintah agar para sahabat pergi ke suatu tempat yang tidak biasanya
mereka lalui. Kemudian beliau pergi bersama sahabat di hari itu sampai
waktu malam menyelimuti mereka. Dan kini, mereka memasuki waktu pagi.
Kepergian yang singkat dan tiba-tiba itu mampu menepis kebohongan yang
dirancang oleh si Munafik, Abdullah bin Ubai. Yaitu kebohongan yang
bertujuan untuk membakar persatuan kaum Muslim ketika ia berusaha untuk
menyalakan api di tengah-tengah rumah sang Nabi saw.
Ketika Nabi masih memiliki kekuatan yang
menakutkan bagi yang mencoba melawannya, maka mereka pun melakukan
berbagai penipuan dan, makar. Dan salah satu yang menjadi obyek tipu
daya itu adalah istri beliau, yaitu Aisyah. Alkisah, Aisyah pada suatu
hari pergi untuk memenuhi hajatnya lalu dilehernya terdapat
anting-anting. Setelah ia memenuhi hajatnya, anting-anting itu terjatuh
dari lehernya dan ia tidak mengetahui. Ketika Aisyah kembali dari
kafilah yang telah siap-siap untuk pergi, ia kembali mencari kalungnya
sampai ia menemukannya. Sementara itu orang-orang yang membawanya dalam
tandu (haudaj) mengira Aisyah sudah berada di dalamnya. Mereka tidak
ragu dalam hal itu karena memang berat badan Aisyah sangat ringan.
Pasukan Nabi berjalan dan membawa tandu,
sedangkan Aisyah tidak ada di dalamnya. Aisyah kembali dan tidak
mendapati pasukan di mana mereka telah pergi. Aisyah merasa heran atas
kepergian pasukan yang begitu cepat. Aisyah merasa takut saat ia berdiri
sendirian di padang gurun. Aisyah berusaha bersikap baik, ia duduk di
tempatnya di mana di situlah untanya duduk juga. Aisyah melipat-lipat
pakaiannya sambil berkata dalam dirinya: Mereka akan mengetahui bahwa
aku tidak ada dan karena itu mereka akan kembali mencariku dan akan
menemukan aku.
Sementara itu, Sofwan bin Mu'athal juga
tertinggal karena ia melakukan keperluannya. Ia berjalan dari arah yang
jauh lalu ia melihat bayangan orang yang tidak begitu jelas. Sofwan
mendekat dan tiba-tiba ia mengetahui bahwa ia sedang berdiri di hadapan
Aisyah. Ia melihat Aisyah sebelum diwajibkannya perintah memakai hijab
(jilbab) atas istri-istri Nabi. Ketika melihatnya, Sofwan berkata:
"Sesungguhnya kita milik Allah SWT dan kepadanya kita akan kembali,...
istri Rasulullah Aisyah tidak menjawab.
Sofwan mundur dan mendekatkan untanya
kepadanya sambil berkata: "Silakan Anda menaikinya." Aisyah pun
menaikinya. Kemudian Sofwan membawanya pergi dan mencari pasukan yang
telah meninggalkannya. Sementara itu, pasukan Nabi sedang beristirahat.
Para sahabat mengira bahwa Aisyah masih berada dalam tandu. Tiba-tiba
mereka terkejut ketika Aisyah datang kepada mereka bersama Sofwan yang
menuntun untanya.
Tokoh munafik Abdullah bin Ubai segera
memanfaatkan kesempatan emas ini. Ia membuat kisah bohong yang terkesan
menuduh istri Nabi melakukan pengkhianatan. Abdullah bin Ubai pandai
memilih beberapa sahabat yang dikenalinya sebagai orang-orang yang mudah
percaya dan cenderung membenarkan hal-hal yang bersifat lahiriah, atau
ia mengetahui bahwa di antara mereka dan Aisyah terdapat kedengkian
sehingga mereka suka jika tersebar kebohongan yang berkenaan dengan
Aisyah.
Demikianlah pemimpin munafik itu berhasil
menjerat beberapa sahabat dalam tali kebohongannya, di antaranya Hasan
bin Sabit. Musthah, dan seorang wanita yang dipanggil Hamnah binti
Jahasv. yaitu saudara perempuan Zainab binti Jahasy istri Rasulullah
saw. Ketiga orang itu tertipu dengan kebohongan tersebut lalu mereka
menyebarkannya sehingga orang-orang yang terjerat dalam kebo hongan itu
mengatakan apa saja yang mereka inginkan. Akhirnya. pasukan pun
berguncang dengan isu itu. Sementara itu, Aisvah tidak mengetahui
sedikit pun tentang hal tersebut. Isu tersebut bertujuan untuk
menjatuhkan Islam dan melukai perasaan RasuhiHah saw dan itu termasuk
peperangan menentang Rasulullah saw dan ajaran yang dibawanya. Begitu
juga ia bertujuan menunjukkan bahwa kaum Muslim tidak konsekuen dengan
akidah yang mereka yakini dan secara tidak langsung ia juga menyerang
kesucian rumah tangga Aisyah.
Pasukan kembali ke Mekah dan Aisyah jatuh
sakit, namun ia tidak mengetahui isu-isu yang dikatakan tentang dirinya.
Kemudian Rasulullah saw mendengar hal itu sebagaimana ayahnya Abu Bakar
dan ibunya pun mendengarnya, namun tak seorang pun di antara. mereka
yang memberitahu Aisyah. Begitu juga Rasul saw tidak menceritakan
peristiwa itu di hadapan Aisyah. Namun sikap beliau berubah di mana
beliau tidak lagi menunjukkan perhatiannya seperti biasanya saat Aisyah
sakit. Ketika beliau menemui Aisyah dan saat itu ibunya ada di situ,
beliau berkata: "Bagaimana keadaanmu?" Beliau tidak lebih dari
mengucapkan kata-kata itu. Ketika Aisyah melihat perubahan sikap Rasul
saw, ia mulai marah. Pada suatu hari ia berkata pada Nabi: "Seandainya
engkau mengizinkan aku, niscaya aku akan pindah ke tempat ibuku." Beliau
menjawab: "Itu tidak ada masalah."
Aisyah pun pindah ke tempat ibunya dan ia
tidak mengetahui sama sekali apa yang sebenarnya terjadi padanya.
Setelah melalui lebih dari dua puluh malam, Aisyah sembuh dari sakitnya
dan ia pun belum mengetahui hal-hal yang dikatakan tentang dirinya. Umul
mu'minin Aisyah menceritakan bagaimana ia mengetahui isu bohong
tersebut dan bagaimana Allah SWT membebaskannya dari isu itu, ia
berkata:
"Kami adalah kaum Arab di mana kami tidak
mengambil di rumah kami tanggung jawab ini yang biasa di ambil oleh
orang-orang Ajam. Kami membencinya. Kami keluar untuk menikmati keluasan
kota. Sementara itu para wanita keluar pada setiap malam untuk memenuhi
hajat mereka. Pada suatu malam, aku keluar bersama Ummu Musthah untuk
memenuhi sebagian keperluanku. Lalu ia berkata: "Tidakkah kau sudah
mendengar suatu berita wahai putri Abu Bakar?" Aku bertanya, "berita apa
itu?" Lalu ia memberitahukan padaku apa-apa yang dikatakan oleh para
penyebar kebohongan. Aku berkata: "Apa ini memang benar?" Ia menjawab:
"Demi Allah, ini benar-benar terjadi." Aisyah berkata: "Demi Allah, aku
tidak mampu memenuhi hajatku." lalu aku pulang. Demi Allah, aku tetap
menangis sampai-sampai aku mengira bahwa tangisanku akan merusak
jantungku dan aku berkata kepada ibuku, mudah-mudahan Allah SWT
mengampunimu, banyak orang berbicara tentangku namun engkau tidak
menceritakan sedikit pun kepadaku. Ia berkata: "Wahai anakku, sabarlah
demi Allah jarang sekali wanita yang baik yang dicintai oleh seorang
lelaki yang jika ia memiliki istri-istri yang lain (madunya) kecuali
wanita itu akan diterpa oleh berbagai isu."
Aisyah berkata: "Rasulullah saw berdiri dan
menyampaikan pembicaraannya pada mereka dan aku tidak mengetahui hal
itu." Beliau memuji Allah SWT kemudian berkata: "Wahai manusia,
bagaimana keadaan kaum lelaki yang menyakiti aku melalui keluar gaku dan
mereka mengatakan sesuatu yang tidak benar. Demi Allah, aku tidak
mengenal mereka kecuali dalam kebaikan. Lalu mereka mengatakan hal itu
pada seorang lelaki yang aku tidak mengenalnya kecuali dalam kebaikan di
mana ia tidak memasuki suatu rumah dari rumah-rumahku kecuali ia
bersamaku."
Kemudian Rasulullah saw memanggil Ali bin
Abi Thalib dan Usamah bin Zaid dan bermusyawarah dengan keduanya. Usamah
hanya melontarkan pujian dan berkata: "Ya Rasulullah aku tidak mengenal
istrimu kecuali dalam kebaikan dan berita ini hanya kebohongan dan
kebatilan," sedangkan Ali berkata: 'Ya Rasulullah masih banyak wanita
yang lain yang dapat kau percaya." Kemudian Rasulullah saw memanggil
Burairah dan bertanya kepadanya, lalu Ali berdiri kepadanya dan
memukulnya dengan keras sambil berkata: "Jujurlah kepada Rasulullah
saw," lalu wanita itu berkata: "Demi Allah, aku tidak mengetahui kecuali
kebaikan. Aku tidak pemah mencela Aisyah kecuali pada suatu waktu aku
sedang membikin adonan roti lalu aku memerintahkannya untuk menjaganya
namun Aisyah tertidur dan datanglah kambing lalu adonan itu dimakan
olehnya."
Aisyah berkata: "Kemudian datanglah
kepadaku Rasulullah saw dan saat tu aku bersama kedua orang tuaku dan
seorang wanita dari kaum Anshar. Aku menangis dan wanita itu pun turut
menangis. Rasulullah saw duduk lalu memuji Allah SWT dan berkata: "Wahai
Aisyah, sungguh kamu telah mendengar sendiri apa yang dikatakan
orang-orang tentang dirimu, maka bertakwalah kepada Allah SWT dan jika
engkau telah melakukan keburukan seperti yang diucapkan orang-orang itu,
maka bertaubatlah kepada Allah SWT karena sesungguhnya Allah SWT
menerima taubat dari hamba-hamba-Nya." Aisyah berkata, "demi Allah, itu
tidak lain hanya kebohongan yang dialamatkan kepadaku sehingga membuat
air mataku kering. Aku sama sekali tidak seperti yang mereka katakan,"
lalu aku menunggu kedua orang tuaku untuk mengatakan tentang diriku
namun mereka justru terdiam. Aisyah berkata, "demi Allah aku merasa
sebagai seorang yang hina yang tidak layak diturunkan Al-Qur'an dari
Allah SWT berkenaan denganku, tetapi aku hanya berharap agar Nabi saw
melihat kebohongan yang dialamatkan kepadaku itu sehingga ia memastikan
terbebasnya aku darinya."
Aisyah berkata: "Ketika aku tidak melihat
kedua orang tuaku berbicara aku berkata kepada mereka tidakkah kalian
menjawab apa yang dikatakan Rasuullah saw?" Mereka berkata: "Demi Allah
kami tidak mengetahui apa yang harus kami jawab." Aku mengetahui bahwa
aku bebas dari tuduhan itu. Tiba-tiba Rasulullah saw mengusap keringat
dari wajahnya sambil berkata: "Bergembiralah wahai Aisyah karena
sesungguhnya Allah SWT telah menurunkan ayat yang membebaskan kamu dari
tuduhan itu," lalu aku berkata: "Segala puji bagi Allah SWT." Kemudian
beliau keluar menemui para sahabat dan membacakan kepada mereka ayat
berikut ini:
"Sesungguhnya orang-orang yang membawa
berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira
bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka
mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara
mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong
itu, maka baginya azab yang besar. " (QS. an-Nur: 11)
Jibril turun kepada Nabi saw untuk
menyampaikan terbebasnya Aisyah dari segala tuduhan yang ditujukan
kepadanya. Dan gagallah peperangan psikologis menentang kaum Muslim dan
rumah tangga Rasulullah saw, dan kelompok-kelompok kafir meyakini bahwa
mereka harus menggunakan cara baru lagi untuk menentang Islam. Kemudian
Rasulullah saw kembali memasuki pergulatan menentang peperangan fisik.
Peperang Khandaq termasuk contoh peperangan fisik yang dilakukan oleh
Rasulullah saw. Orang-orang Yahudi menyerahkan urasan mereka kepada kaum
musyrik, dan Dimulailah rangkaian persekongkolan dan sumpah di antara
tokoh-tokoh Yahudi dan pemimpin-pemimpin kaum musyrik, bahkan
pendeta-pendeta Yahudi berfatwa bahwa agama Quraisy yang disimbolkan
dengan penyembahan berhala lebih baik daripada agama Muhammad yang
penyembahan hanya layak ditujukan kepada Tuhan Yang Esa sebagaimana
tradisi jahiliah lebih baik daripada ajaran Al-Qur'an.
Politik kaum Yahudi berhasil menyatukan
kelompok-kelompok orang kafir dan mengerahkannya untuk menentang kaum
Muslim. Kemudian mereka akan menyerang Madinah dengan jumlah kekuatan
sepuluh ribu tentara. Akhirnya, berita itu sampai ke Nabi saw. Beliau
tidak heran ketika mendengar orang-orang Yahudi bersatu—padahal mereka
mempunyai azas agama yang menyeru kepada tauhid—bersama kaum musyrik
menentang agama tauhid. Nabi saw mengetahui bahwa perjanjian telah lama
membelenggu orang-orang Yahudi sehingga hati mereka menjadi keras dan
hari telah menjauhkan antara mereka dan sumber yang jernih yang
dipancarkan oleh Musa. Akhirnya, mereka menjadi buah yang rusak yang
kulitnya bergambar tauhid namun isinya bergambar kepahitan syirik. Dan
yang lebih penting dari itu adalah kesamaan kepentingan kaum Yahudi dan
kaum musyrik.
Nabi saw menyadari bahwa beliau sekarang
menghadapi ancaman dan pasukan yang besar. Pertempuran secara terbuka
tidak memberi keuntungan bagi Muslimin. Beliau mulai berpikir bagaimana
cara mempertahankan Madinah tanpa harus keluar darinya. Kali ini taktik
militernya berubah di mana sebelum itu beliau keluar dari Madinah dan
menjauhinya serta menyerang kelompok-kelompok yang berencana menyerbu
Madinah. Kali ini bentuk ancaman berbeda dan tentu pikiran Nabi pun
berubah karena mengikuti perbedaan ancaman itu.
Kemudian beliau mengadakan pertemuan
militer bersama para tentaranya. Beliau ingin mendengar berbagai usulan
tentang bagaimana cara mempertahankan Madinah. Lalu Salman al-Farisi
mengusulkan agar Nabi menggali suatu parit yang dalam di sekeliling
Madinah yaitu parit yang seperti bendungan alami yang dapat menahan laju
banjir yang ingin maju, suatu parit yang pasukan berkuda tidak akan
mampu melewatinya dan kaum Muslim dapat mempertahankan diri dari
belakangnya. Mula-mula usulan itu terkesan agak mustahil diwujudkan
namun pada akhirnya Nabi menyetujui usulan Salman itu. Melalui
sensifitas militernya yang mengagumkan, beliau mengetahui bahwa situasi
cukup genting dan karenanya ia menuntut usaha keras untuk dapat
melaluinya. Nabi saw memerintahkan para sahabat untuk menggali parit di
sekitar Madinah. Pekerjaan itu sangat berat dan saat itu musim dingin di
mana udara sangat dingin. Di samping itu, kaum Muslim sedang mengalami
krisis ekonomi yang mengancam Madinah, meskipun demikian, penggalian
parti tetap dilaksanakan, bahkan Rasulullah saw terjun langsung untuk
membuat galian dan memikul tanah.
Kaum Muslim dengan semangat yang luar biasa
dapat menyelesaikan penggalian parit itu meskipun kehidupan sangat
keras dan mereka merasakan kelaparan karena kekurangan harta. Namun
semangat pasukan Islam tetap meninggi. Mereka percaya akan datangnya
kemenangan dan pertolongan dari Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
"Dan tatkala orang-orang mukmin melihat
golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: 'lnilah yang
dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.' Dan benarlah Allah dan
Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali
iman dan ketundukan." (QS. al-Ahzab: 22)
Pasukan Quraisy mulai mendekati Madinah dan
tiba-tiba Madinah berubah menjadi jazirah cinta di tengah-tengah lautan
kebencian, lautan itu mulai menghantam jazirah dan berusaha
menenggelamkannya dari dalam. Kemudian bertebaranlah panah-panah kaum
Muslim untuk menghalau pasukan kafir yang cukup banyak. Pasukankafir
mulai berputar-putar di sekeliling parit dalam keadaan bingung: apa
gerangan yang telah dilakukan pasukan Islam, bagaimana mereka dapat
menggali parit ini?
Kuda-kuda musuh berusaha melalui parit itu
namun pasukan Muslim segera menyerangnya. Demikianlah peperangan Ahzab
terus berlangsung. Pada hakikatnya ia adalah peperangan urat syaraf.
Pasukan musuh mengepung Madinah selama tiga minggu di mana serangan demi
serangan terus dilakukan sepanjang siang dan mata mereka tetap terjaga
sepanjang malam. Bahkan saking dahsyatnya pertempuran itu sehingga kaum
Muslim tidak mengetahui apakah pasukan musuh berhasil menduduki Madinah
atau tidak, dan apakah para musuh berhasil menembus lubang yang mereka
bangun? Allah SWT menggambarkan keadaan peperangan Ahzab dalam
firman-Nya:
"(Yaitu) ketiha mereka datang kepadamu dari
atas dan dari bawahmu, dan ketiha tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan
hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap
Allah dengan bermacam-macam persangkaan. Di situlah diuji orang-orang
mukmin dan digoncangkan hatinya dengan goncangan yang dahysat." (QS.
al-Ahzab: 10-11)
Keadaan semakin buruk di mana orang-orang
Yahudi membatalkan perjanjian mereka dengan kaum Muslim dan mereka
bergabung dengan al-Ahzab. Demikianlah Bani Quraizhah membatalkan
perjanjiannya dan mereka lupa terhadap pengkhianatan bani Nadhir dan
pembalasan Nabi saw terhadap mereka. Setiap hari keadaan semakin buruk.
Kaum Muslim benar-benar mengalami ujian
yang berat di mana pikiran mereka benar-benar kacau. Ketika keadaan
mencapai puncaknya kaum Muslim bertanya kepada Rasul saw, "apa yang
harus mereka katakan?" Rasulullah saw memberitahu agar mereka
mengatakan: "Ya Allah, kalahkanlah mereka dan tolonglah kami untuk
mengatasi mereka."
Doa tersebut keluar dari mulut-mulut kaum
yang telah melaksanakan kewajiban mereka dan telah membuat mukjizat
mereka dalam menghalau serangan. Jadi, mereka tidak memiliki apa-apa
selain doa dan Allah SWT-lah Yang Maha Mendengar permintaan hamba-Nya
dan Dia yang mengabulkannya. Dia mengetahui orang yang melaksanakan
kewajibannya dan akan mengabulkan orang yang berdoa.
Akhirnya, kaum Muslim benar-benar
mendapatkan rahmat Allah SWT. Kemudian perjalanan pertempuran bergerak
dengan cara yang tidak bisa dipahami. Para penyerang menyadari bahwa
mereka sebenamya telah kalah di mana mereka telah menyerang selama tiga
pekan namun serangan tersebut tidak memberikan hasil apa pun. Mereka
telah mencurahkan berbagai upaya namun tanpa memberikan hasil yang
diharapkan dan boleh jadi mereka akan tetap begini selama tiga tahun.
Kemudian datanglah suatu malam di mana kaum
Muslim belum pernah melihat malam segelap itu dan angin sekencang itu,
bahkan saking kerasnya angin sampai-sampai suaranya laksana halilintar.
Bahkan saking gelapnya malam itu sehingga tak seorang pun di antara umat
Islam yang mampu melihat jari-jari tangannya atau berdiri dari
tempatnya karena saking dinginnya cuaca. Kemudian Nabi saw datang
menemui Hudaifah bin Yaman. Beliau tidak mampu melihatnya meskipun
beliau berdiri di sebelahnya. Nabi saw bertanya: "Siapa ini?" Hudaifah
menjawab: "Aku adalah Hudaifah." Nabi saw berkata: "Oh, kamu Hudaifah."
Hudaifah tetap tinggal di tempatnya karena ia khawatir jika ia berdiri
ia akan tidak mampu karena saking dinginnya dan akan menabrak Rasul saw.
Rasul saw berkata kepada Hudaifah, "Aku kehilangan berita penting
tentang keadaan kaum yang menyerang kita."
Hudaifah sebagai mata-mata dari pasukan
Islam merasakan ketakutan di mana ia tidak mampu menahan cuaca yang
begitu dingin, lalu bagaimana ia dapat berdiri dan keluar dari Madinah
menuju ke tempat pasukan musuh dan menyusup di tengah barisan mereka
lalu kembali kepada Nabi saw dengan membawa berita tentang mereka.
Hudaifah bangkit dari tempatnya ketika Nabi saw selesai dari
pembicaraannya. Nabi saw memberikan doa kebaikan kepadanya. Hudaifah pun
pergi dan kehangatan keimanannya mengalahkan kegelapan malam dan
kedinginan cuaca. Ia keluar dari Madinah dan menyusup di tengah-tengah
pasukan musuh. Nabi saw memerintahkannya untuk tidak melakukan tindakan
apa pun selain mendapatkan berita dan kembali. Inilah tugas utamanya.
Hudaifah sampai di tengah-tengah musuh. Mereka berusaha menyalakan api
namun angin segera mematikannya sebelum menyala dan di dekat api itu
terdapat seorang lelaki yang berdiri sambil mengulurkan tangannya ke
arah api dengan maksud untuk menghangatkannya. Lelaki itu adalah
pemimpin kaum musyrik yaitu Abu Sofyan.
Melihat itu, Hudaifah segera memasang anak
panah pada busur yang dibawanya dan ia ingin memanahnya. Seandainya ia
berhasil membunuhnya, maka kaum Muslim dapat merasa tenang dengannya,
namun ia ingat pesan Rasulullah saw kepadanya agar ia tidak melakukan
tindakan apa pun. Kemudian ia kembali meletakkan anak panahnya dan
menyembunyikannya.
Abu Sofyan berkata: "Wahai orang-orang
Quraisy situasi saat ini tidak menguntungkan bagi kalian, maka pergilah
kalian karena aku pun akan pergi." Abu Sofyan melompat ke atas untanya
lalu mendudukinya dan memukulnya sehingga unta itu bangkit.
Hudaifah kembali menemui Rasulullah saw
dengan membawa berita mundumya pasukan Ahzab dan gagalnya serangan
mereka. Ketika mendengar peristiwa penarikan mundur pasukan musuh,
Rasulullah saw berkata: "Sekarang kita akan menyerang mereka dan mereka
tidak akan menyerang kita." Belum lama pasukan Ahzab kembali ke
negerinya dengan tangan hampa sehingga beliau keluar dari Madinah
bersama pasukannya menuju ke kaum Yahudi Bani Quraizhah. Orang-orang
Yahudi itu telah mengkhianati peijanjian mereka bersama Nabi saw. Mereka
menipu Islam di saat-saat genting. Oleh karena itu, mereka harus
membayar biaya pengkhianatan mereka sekarang.
Nabi saw memerintahkan agar para sahabat
tidak melaksanakan salat Ashar kecuali di Bani Quraizhah. Kaum Muslim
memahami bahwa perintah tersebut berarti mereka akan menerobos benteng
kaum Yahudi sebelum matahari tenggelam.
Orang-orang Yahudi menelan kekalahan pahit
lalu mereka datang kepada Sa'ad bin Mu'ad agar ia memutuskan perkara
mereka. Sa'ad adalah pemimpin kaum Aus dan kaum Aus adalah sekutu
orang-orang Yahudi Quraizhah di masa jahiliah. Kaum Yahudi mengharap
bahwa mereka dapat memanfaatkan hubungan yang terjalin selama ini
sebagaimana kaum Aus membayangkan bahwa tokoh mereka akan memberikan
keringanan terhadap sekutu-sekutu mereka. Sa'ad ketika itu terluka dan
ia sedang dirawat di kemahnya karena terkcna panah kauni Ahzab. Sebagian
kaunmya membujuknya agar ia bersikap baik terhadap orang-orang Yahudi,
sekutu-sekutu mereka, dan orang-orang Yahudi membujuknya agar ia
bersikap lembut terhadap mereka. Kemudian Sa'ad mengatakan pernyataannya
yang terkenal: "Telah tiba waktunya bagi Sa'ad untuk memutuskan hukum
sesuai dengan kehendak Allah tanpa peduli dengan celaan para pencela."
Sa'ad memutuskan agar kaum lelaki dibunuh dan keturunannya ditawan serta
harta-harta mereka dibagi-bagikan. Nabi pun menyetujui keputusan tegas
Sa'ad itu. Beliau berkata kepadanya: "Sungguh engkau telah memutuskan
kepada mereka dengan keputusan Allah SWT dari tujuh langit."
Sa'ad mengetahui bahwa perantaraan,
permohonan, harapan, dan menjaga berbagai pertimbangan lazim selayaknya
berada di suatu genggaman, dan masa depan Islam berada di genggaman yang
lain. Yahudi Bani Quraizhah adalah penyebab berkecamuknya peperangan
Ahzab dan sumpah mereka dan berbagai tipu daya mereka berusaha untuk
memblokade Islam dan menghancurkannya. Oleh karena itu, kini telah tiba
saatnya untuk mencabut pohon-pohon beracun dari akarnya tanpa
memperdulikan kasih sayang.
Demikianlah kaum Yahudi dibersihkan dari
Madinah. Nabi saw kembali melanjutkan pergulatannya. Puncak dari
perjuangan politiknya adalah perjanjian yang beliau lakukan bersama
orang-orang Quraisy. Nabi saw berjalan untuk melaksanakan umrah dan
mengunjungi Baitul Haram. Beliau keluar bersama seribu empat ratus kaum
lelaki yang bertujuan untuk berziarah ke Baitul Haram guna melaksanakan
umrah. Ketika mereka sampai di Hudaibiyah pinggiran kota Mekah,
tiba-tiba unta yang ditunggangi Nabi duduk dan ia tidak mau melangkah
menuju Mekah. Melihat itu para sahabat berkata: "Oh unta itu malas."
Nabi saw berkata: "Tidak Demikian namun ia ditahan oleh Zat yang menahan
laju gajah menuju Mekah. Sungguh jika hari ini orang Quraisy membuat
suatu rencana dan mereka meminta agar aku menyambung tali silaturahmi
niscaya aku akan menyetujuinya."
Nabi saw memerintahkan para sahabat agar
tetap tinggal di Hudaibiyah. Kaum Muslim beristirahat di sana dengan
harapan mereka dapat memasuki Mekah di waktu pagi. Peristiwa itu
bertepatan dengan bulan Haram. Mekah telah menetapkan agar tak seorang
pun dari kaum Muslim dapat memasukinya. Semua kaum Quraisy telah keluar
untuk memerangi kaum Muslim. Mereka mengutus utusan-utusan kepada Nabi
saw lalu beliau memberitahu mereka bahwa beliau tidak datang untuk
berperang namun beliau ingin melakukan urnrah sebagai bentuk pujian dan
syukur kepada Allah SWT dan mengagumkan kemuliaan rumah-Nya yang suci.
Mekah menetapkan untuk melakukan perjanjian bersama kaum Muslim di mana
mereka menginginkan agar jangan sampai kaum Muslim memasuki Baitul Haram
pada tahun ini kecuali setelah mereka kembali pada tahun depan.
Datanglah juru runding kaum Quraisy lalu
Rasul saw menyambutnya dan mendengarkan ia menyampaikan syarat-syarat
perjanjian yang intinya pelaksanaan perdamaian dan penarikan mundur
pasukan Muslim. Nabi saw menyetujui semua syarat-syarat perjanjian
meskipun tampak bahwa perjanjian tersebut tidak menguntungkan kaum
Muslim di mana itu dianggap sebagai titik kemunduran politik dan militer
kaum Muslim, dan yang menambah kebingungan kaum Muslim adalah bahwa
Rasul saw tidak melibatkan seseorang pun dari kalangan sahabatnya untuk
bermusyawarah dalam hal ini. Tidak biasanya beliau bersikap demikian.
Para sahabat menyaksikan beliau pergi menemui kaum musyrik dan bersikap
sangat lembut kepada mereka, dan beliau tidak kembali kecuali membawa
berita persetujuan dengan perjanjian yang di prakarsai orang-orang
musyrik, dan beliau pun membubuhkan tanda tangan di atasnya.
Para sahabat bergerak untuk menentang
Rasulullah saw. Mereka bertanya kepada beliau, "bukankah engkau utusan
Allah SWT? Bukankah kita kaum Muslim? Bukankah musuh-musuh kita kaum
musyrik?" Nabi saw hanya mengiyakan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Umar
bin Khatab kembali bertanya: "Mengapa kita harus menerima penghinaan
dalam agama kita?" Umar ingin mengungkapkan sesuai dengan bahasa kita
saat ini, "mengapa kita harus mundur kalau kita berada di atas
kebenaran? Mengapa kita menerima syarat-syarat perjanjian yang justru
menguntungkan kaum musyrik? Apakah kita takut terhadap mereka?"
Mendengar berbagai protes yang disampaikan
para sahabatnya, Rasul saw justru menyampaikan jawaban yang unik bagi
mereka di mana beliau berkata: "Aku adalah hamba Allah SWT dan Rasul-Nya
dan aku tidak mungkin menentang perintah-Nya dan Dia tidak mungkin akan
menyia-nyiakan aku." Makna dari kalimat beliau adalah, "taatilah apa
yang telah aku lakukan tanpa perlu memperdebatkannya dan hendaklah
kalian sedikit bersabar."
Perjalanan hari menetapkan bahwa perjanjian
yang menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah sahabat itu justru
membawa kemenangan politik paling gemilang yang pernah dicapai oleh umat
Islam. Kemenangan tersebut diperoleh sebagai hasil dari kebijaksanaan
sang Nabi saw yang mengalahkan kelihaian politik kaum Quraisy. Kaum
Quraisy telah memfokuskan semua kelihaian-nya agar kaum Muslim kembali
ke tempat mereka tanpa memasuki Masjidil Haram pada tahun ini, namun
hikmah Nabi saw justru mampu mencapai pengelihatan yang tidak dapat
dijangkau oleh kaum itu yang berkenaan dengan masa depan. Jika saat ini
perjanjian tersebut tampak membawa kekalahan bagi kaum Muslim, maka
setelah berlangsung beberapa bulan ia justru mendatangkan kemenangan
yang spektakuler.
Suhail bin Amr adalah wakil dari delegasi
kaum Quraisy dan Ali bin Abi Thalib adalah juru tulis dalam perjanjian
itu dari pihak Nabi saw. Rasulullah saw berkata kepada Ali: "Tulislah
dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang." Utusan
Quraisy berkata, aku tidak mengenal ini. Tapi tulislah dengan nama-Mu,
ya Allah. Rasulullah saw berkata kepada Ali: "Dengan nama-Mu, ya Allah."
Sikap keras kepala utusan Quraisy itu tidak berarti sama sekali karena
tidak ada perbedaan yang mencolok antara dengan namamu Allah dan dengan
nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang selain niat si
pembicara.
Nabi saw berkata kepada Ali: "Ini adalah
perundingan antara Muhammad saw utusan Allah dan Suhail bin Amr."
Mendengar itu dengan nada menentang Suhail bin Amr berkata: "Seandainya
aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah niscaya aku tidak akan
memerangimu, tetapi tulislah namamu dan nama ayahmu." Nabi berkata
kepada Ali tulislah: "Inilah kesepakatan antara Muhammad bin Abdillah
dan Suhail bin Amr."
Tampaknya itu adalah kemunduran yang kedua
dan dengan pandangan yang sekilas tampak menjatuhkan kaum Muslim tetapi
Nabi saw ingin mewujudkan suatu tujuan yang penting yaitu tujuan yang
belum terungkap saat itu. Alhasil, semuanya terjadi dengan ilham dari
Allah SWT. Ali kembali menulis bahwa Muhammad bin Abdillah dan Suhail
bin Amr sama-sama sepakat untuk menghentikan peperangan selama sepuluh
tahun di mana hendaklah masing-masing mereka memberikan keamanan
terhadap sesama mereka. Namun jika terdapat di antara orangorang Quraisy
seseorang yang masuk Islam lalu ia datang kepada Muhammad saw tanpa
izin walinya hendaklah kaum Muslim mengembalikannya kepada kaum Quraisy.
Sebaliknya, jika ada orang yang murtad dari sahabat Muhammad saw, maka
tidak ada keharusan bagi orang Quraisy untuk mengembalikannya kepada
Nabi.
Syarat tersebut sangat menyakitkan kaum
Muslim. Tampak bahwa orang-orang Quraisy memaksakan kehendaknya dalam
syarat-syarat perjanjian yang tidak adil itu. Ali melanjutkan
tulisannya, hendaklah Nabi saw pulang dari Mekah pada tahun ini dan
tidak memasukinya dan jika pada tahun depan orang-orang Quraisy keluar
darinya, maka beliau dapat memasukinya untuk melaksanakan umrah selama
tiga hari dan setelah itu beliau harus meninggalkannya. Persyaratan
tersebut sangat merugikan kaum Muslim dan terkesan membingungkan.
Di tengah-tengah perjanjian tersebut
terjadi suatu peristiwa yang menambah penderitaan dan kebingungan
Muslimin di mana anak dari juru runding Quraisy meminta perlindungan
kepada kaum Muslim. Ia masuk Islam dan ingin bergabung dengan kelompok
Islam namun ayahnya, Suhail segera bangkit menyusulnya bahkan memukulnya
dan mengembalikannya kepada kaumnya. Orang Mukalaf itu segera berteriak
dan meminta pertolongan kepada kaum Muslim agar mereka menyelamatkannya
dari kejahatan kaum Quraisy sehingga mereka tidak mengubah agamanya.
Rasulullah saw berbicara kepadanya dan meminta kepadanya untuk bersabar
dan tegar dalam menanggung penderitaan karena Allah SWT akan
menjadikannya dan orang-orang yang sepertinya suatu jalan keluar dan
kelapangan. Nabi memahamkannya bahwa beliau telah mengadakan suatu
peijanjian dengan kaum Quraisy dan bahwa kaum Muslim tidak mungkin
melanggar perjanjian mereka.
Akhirnya, anak Muslim itu dikembalikan ke
Mekah dalam keadaan tersiksa. Kemudian Selesailah penandatanganan
perjanjian antara pihak kaum Muslim dan pihak kaum musyrik. Setelah
penandatanganan perjanjian itu, Rasulullah saw memerintahkan para
sahabatnya agar mereka memotong hewan kurban dan mencukur rambut mereka
(tahalul) dari umrah mereka dan kembali ke Madinah. Namun tak seorang
pun bangkit menyambut perintah tersebut, lalu beliau mengulangi
perintahnya ketiga kali. Di tengah-tengah kaum Muslim yang tampak
membisu karena ketegangan dan kesedihan, beliau menyembelih unta dan
memanggil tukang cukurnya untuk mencukur rambutnya dan beliau tidak
berbicara dengan seorang pun. Ketika para sahabat mengetahui bahwa Nabi
saw tampak marah dan telah mendahului mereka dengan tahalul dari
umrahnya, maka mereka bangkit untuk menyembelih kurban dan memotong
rambut mereka.
Perjalanan hari menunjukkan bahwa
perundingan tersebut tidak seperti yang dibayangkan oleh kaum Muslim. Ia
justru membawa kemenangan dan bukan kekalahan. Persatuan kaum kafir di
jazirah Arab mulai runtuh sejak mereka menandatangani perjanjian itu.
Kaum Quraisy di anggap sebagai pimpinan kaum kafir dan pembawa bendera
penentangan terhadap Islam, maka ketika tersebar berita perjanjian
mereka bersama kaum Muslim, maka padamlah fitnah-fitnah kaum munafik
yang bekerja untuk mereka dan bercerai-berAllah kabilah-kabilah
penyembah patung di penjuru jazirah.
Saat aktivitas kaum Quraisy terhenti, maka
kaum Muslim mengalami peningkatan aktivitas di mana mereka berhasil
menarik orang-orang yang masih memiliki kemampuan untuk melihat
kebenaran. Sejak dua tahun dari masa penandatanganan perjanjian itu
jumlah penganut Islam semakin bertambah lebih dari jumlah sebelumnya.
Bukti dari itu adalah, bahwa saat Rasul saw keluar ke Hudaibiyah beliau
ditemani dengan seribu empat ratus Muslim namun ketika beliau keluar
pada tahun penaklukan kota Mekah beliau disertai dengan sepuluh ribu
Muslim. Penaklukan kota Mekah terjadi setelah dua tahun dari perundingan
tersebut. Penambahan jumlah kaum Muslim yang luar biasa ini adalah
dikarenakan hikmah sang Nabi saw dan kejauhan pandangannya. Nabi saw
keluar sebagai pemenang dalam pergulatan politiknya, dan syarat-syarat
yang tadinya merugikan kaum Muslim kini telah berubah menjadi
syarat-syarat yang merugikan kaum Quraisy. Barangsiapa murtad dari kaum
Muslim dan pergi ke kaum Quraisy, maka hendaklah mereka melindunginya
karena Allah SWT telah memampukan Islam darinya, dan barangsiapa yang
masuk Islam dari kaum kafir dan pergi ke kaum Muslim, maka hendaklah
mereka mengembalikannya ke kaum Quraisy di mana ia tinggal di dalamnya
sebagai mata-mata dari pihak Islam atau ia dapat lari dari kaum Quraisy
untuk menyatukan kelompok yang bertikai dan ia dapat hidup laksana duri
di tengah-tengah kaum Quraisy.
Belum lama waktu berjalan sehingga kaum
Quraisy mengutus utusannya kepada Nabi saw dan mengharap kepada beliau
agar melindungi orang Quraisy yang masuk Islam daripada membiarkan
mereka sebagai panah yang terbang menuju kaum Quraisy. Demikianlah kaum
Quraisy justru membatalkan syarat yang telah mereka diktekan dan Nabi
saw pun menerimanya dengan puas. Perundingan itu justru menguatkan
barisan Nabi savv.
Demikianlah Nabi saw terus menjalani mata
rantai pergulatan yang tiada henti-hentinya di mana kehidupan beliau
yang pribadi sekali pun tidak sunyi dari penderitaan. Nabi saw menikahi
sembilan orang istri. Perkawinan beliau dengan sembilan istri tersebut
merupakan keistimewaan pribadi yang hanya beliau miliki karena
berhubungan dengan sebab-sebab dakwah Islam. Yaitu suatu dakwah yang
membolehkan para pengikutnya untuk menikahi empat orang istri dengan
syarat jika yang bersangkutan mampu menciptakan keadilan di antara
mereka, dan ia menganjurkan untuk hanya puas dengan satu istri jika
seorang Muslim khawatir tidak dapat berbuat adil.
Kaum orentalis dan musuh-musuh Islam
mencoba untuk menghina Nabi dan memojokkannya, dan salah satu cela yang
mereka manfaatkan adalah perkawinan beliau dengan sembilan wanita. Kita
mengetahui bahwa pernikahan-pernikahan beliau terlaksana dengan
sebab-sebab politik atau kemanusiaan yang berhubungan dengan dakwah
Islam. Dan yang terkenal dari sejarah Nabi saw adalah bahwa beliau
menikah dengan Sayidah Khadijah saat beliau berusia dua puluh lima tahun
dan Khadijah berusia empat puluh tahun. Semasa hidup Khadijah beliau
tidak menikahi istri yang lain sampai Khadijah mencapai usia enam puluh
lima tahun. Saat Khadijah meninggal, Nabi berusia di atas lima puluh
tahun. Beliau menikahi Khadijah sebelum beliau diutus untuk menyebarkan
Islam. Beliau tetap setia bersama Khadijah sampai ia meninggal dan
beliau diangkat menjadi Nabi. Namun beban kenabian dan beratnya jihad,
kasih sayangnya kepada manusia, pengorbanannya terhadap Islam dan
perintah Allah SWT semua itu memaksanya untuk menikah lebih dari satu
orang istri sampai mencapai sembilan orang istri. Perkawinan beliau
dengan Aisyah yang saat itu masih belia merupakan usaha untuk menjalin
ikatan dengan Abu Bakar, ayah dari Aisyah dan perkawinan beliau dengan
Hafshah meskipun ia sedikit kurang cantik merupakan usaha beliau untuk
menjalin ikatan dengan Umar, ayahnya. Beliau juga menikah dengan Ummu
Salamah, janda dari pemimpin pasukannya yang mati syahid di jalan Allah
SWT dan wanita itu merasakan penderitaan bersama beliau saat hijrah di
Habasyah dan hijrah ke Madinah. Ketika suaminya meninggal dan ia
sendirian menghadapi berbagai persoalan kehidupan, maka Nabi saw segera
merangkulnya di rumah kenabian. Perkavvinan beliau dengan Sawadah
sebagai bentuk penghormatan terhadap keislaman wanita itu dan
kemuliannya dari kaum lelaki serta kesendiriannya dalam menjalani
kehidupan. Sementara itu, pernikahan beliau dengan Zainab bin Jahasy
merupakan ujian berat bagi beliau di mana perintah pernikahan itu datang
dari Allah SWT untuk mengharamkan suatu tradisi yang terkenal di
kalangan jahiliah yaitu tradisi adopsi. Zainab termasuk kerabat Rasul.
Jadi ia termasuk dari kalangan bani Hasyim. Ia merasa bangga dengan
nasab yang dimilikinya yang karenanya ia menolak ketika ditawari untuk
menikah dengan Zaid bin Harisah, seorang budak Nabi yang telah beliau
bebaskan, bahkan nasabnya telah beliau nisbatkan kepada dirinya dan
beliau telah mengadopsinya sehingga ia dipanggil dengan sebutan Zaid bin
Muhammad. Namun Zainab akhirnya menyetujui pendapat Nabi dan perintah
Allah SWT sehingga ia menikah dengan Zaid:
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang
mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukimin, apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetaphan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhahai Allah dan
Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. "
(QS. al-Ahzab: 36)
Sejak semula tampak jelas bahwa pernikahan
tersebut akan segera berakhir. Zainab tidak menyukai Zaid dan Zaid pun
bukan tipe lelaki yang mampu menahan kehidupan bersama seorang wanita
yang hatinya jauh darinya. Zaid datang kepada Nabi saw guna mengadu
kepada beliau dan meminta izin untuk menceraikan istrinya. Allah SWT
mewahyukan kepada Rasul-Nya agar membiarkan Zaid menceraikan istrinya,
lalu hendaklah beliau menikahinya. Nabi saw merasakan kesulitan yang
luar biasa dan beliau berbicara kepada Zaid agar ia terus melangsungkan
kehidupannya dan bersabar. Nabi saw membayangkan apa yang dikatakan
manusia kepadanya bahwa ia menikahi istri dari anaknya tetapi apa yang
dikhawatirkan oleh Nabi saw justru merupakan sesuatu yang ingin dihapus
oleh Allah SWT. Zaid bukanlah anaknya dan dalam Islam tidak ada sistem
adopsi. Oleh karena itu, Zaid dapat mencerai istrinya lalu Nabi dapat
menikahi Zainab untuk menetapkan apa yang diinginkan oleh Islam.
Rasulullah saw mampu bersabar dan menahan diri saat mendengar berbagai
ocehan yang akan dikatakan oleh manusia kepadanya. Ini bukanlah
pengorbanan pertama dan terakhir yang beliau persembahkan untuk Islam.
Berkenaan dengan itu, Allah SWT berfirman:
"Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada
orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga)
telah memberi nikmat kepadanya: 'Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah
kepada Allah,' sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah
akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah
yang lebih berrhak kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri
keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan kamu dengan
dia supaya tidak ada heberatan bagi orang-orang mukmin untuk (menikahi)
istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah
menyelesaikan keperluannya dari istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu
pasti terjadi. " (QS. al-Ahzab: 37)
Pemikahan beliau dipenuhi dengan unsur
politik dan usaha untuk menyebarkan kebaikan dan rahmat serta
penghormatan nilai-nilai yang tinggi dan menggabungkannya di rumah
kenabian. Sementara itu, Ummu Habibah binti Abu Sofyan bin Harb,
pemimpin Quraisy dalam memerangi Islam, berhijrah bersama suaminya ke
Habasyah.
Ia berhadapan dengan keterasingan dan
kekhawatiran dalam membela agama Allah SWT. Kemudian suaminya mati
meninggalkannya sendirian dalam menjalani kehidupan. Sikapnya yang mulia
demi menegakkan ajaran Islam dan hanya menentang ayahnya merupakan
nilai lebih yang menyebabkan Rasulullah saw tertarik untuk
menggabungkannya di rumah kenabian.
Pada suatu hari, Abu Sofyan menemuinya saat
ia telah menjadi istri Rasulullah saw. Abu Sofyan ingin duduk di atas
tempat tidur Nabi lalu Ummu Habibah berusaha menjauhkan tempt tidur itu
dari ayahnya. Melihat sikap anaknya itu, ayahnya bertanya kepadanya:
"Apakah engkau mulai membenciku?" Dengan penuh keberaniaan ia menjawab:
"Ini adalah tempat tidur Rasulullah saw dan engkau adalah seorang
musyrik, maka engkau tidak boleh menyentuhnya."
Adapun Shofiyah binti Huyay adalah anak
seorang raja Yahudi. Sedangkan Juwairiyah binti Haris, ayahnya seorang
pemimpin kabilah Bani Musthaliq. Bani Musthaliq menelan kekalahan saat
berhadapan dengan kaum muslim lalu kedua anak perempuan raja dan
pemimpin kabilah itu jatuh menjadi tawanan. Pemikahan Nabi dengan kedua
wanita itu terkesan dipaksa oleh orang-orang yang kalah itu dan sebagai
ajakan agar kaum Muslim memperlakukan mereka dengan baik. Mula-mula kaum
Muslim menolak untuk bersikap lembut terhadap ipar-ipar Nabi, namun
Nabi dengan kelembutan sikapnya ingin menyingkap aspek kemanusiaan dalam
peperangannya dan beliau mengisyaratkan kepada kaum Muslim agar mereka
menunjukkan persaudaraan sesama manusia. Peperangan itu sendiri bukan
sebagai tujuan namun ia sebagai usaha mempertahankan Islam dan aspek
tertinggi dari Islam adalah rahmat dan cinta.
Jadi Nabi saw menikahi wanita-wanita dari
orang-orang yang kalah itu dengan maksud agar kebebasan dan kemuliaan
kembali kepada keluarga mereka dan mereka dapat masuk Islam secara puas
dan sukarela. Kemudian beliau menikah dengan Maryam al-Qibtiyah.
Muqauqis telah memberikannya kepada Nabi sebagai budak di mana itu
merupakan simbol tali kasih yang diisyaratkan oleh Al-Qur'an antara
Islam dan Masehi dan sebagai bentuk hukum bagi kaum Muslim dengan
dihalalkannya pernikahan dengan wanita-wanita ahlul kitab.
Maryam memberikan anak kepada Nabi saw yang
bernama Ibrahim, nama dari kakeknya, bapak para nabi. Namun Ibrahim
tidak hidup lama. Ia meninggal saat masih menyusu. Kematiannya merupakan
ujian bagi Nabi dan sebagai isyarat dari Ilahi bahwa pewaris-pewaris
Rasul dari kaum pria adalah para pengikut Al-Qur'an dan para pembawa
Islam, bukan anak-anak dari sulbinya.
Salah jika ada orang yang membayangkan
bahwa Rasul saw mempunyai banyak waktu untuk mencari kesenangan meskipun
halal. Kesenangan diperbolehkan bagi orang lain namun beliau lebih
memilih untuk merasakan penderitaan berjihad, menegakkan hukum, dan
kesabaran. Salah jika ada orang yang membayangkan bahwa Rasul saw hidup
di rumahnya dengan keadaan ekonomi yang lebih baik daripada orang yang
termiskin dari kalangan Muslim di zamannya.
Kehidupan beliau di rumahnya penuh dengan
kezuhudan yang luar biasa sehingga sebagian istrinya mengeluhkan keadaan
tersebut. Di antara mereka ada yang berasal dari keluarga yang kaya
seperti keluarga Abu Bakar atau keluarga Umar bahkan sebagian istrinya
bersatu untuk meminta kepada beliau agar beliau menambah nafkah mereka
sehingga Nabi meninggalkan istri-istrinya, lalu tersebarlah isu yang
menyatakan bahwa beliau telah menceraikan semua istrinya. Kemudian
turunlah ayat Takhyir (yaitu ayat yang memberikan pilihan kepada
istri-istri Nabi untuk tetap menjadi istri beliau atau diceraikannya).
Turunlah Al-Qur'an al-Karim memberikan pilihan pada istri-istri Nabi
antara menjalani kehidupan di rumah kenabian dengan penuh kesederhanaan
atau menerima perceraian. Allah SWT berfirman:
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu:
'Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka
marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan
cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan
Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka Sesungguhnya Allah
menyediakan siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar. "
(QS. al-Ahzab: 28-29)
Selesailah fitnah. Demikianlah pergulatan
di rumah Rasul saw. Akhirnya, istri-istri beliau memilih kehidupan zuhud
dan bersabar serta akhirat daripada kehidupan dunia. Permintaan
istri-istri nabi tidak melebihi hal-hal yang bersifat mubah, namun Rasul
saw merupakan teladan bagi seluruh umat, karena itu beliau harus
menjadi teladan bagi umat sehingga beliau dapat menjadi cermin tertinggi
yang layak diemban oleh seorang yang memegang tampuk kepemimpinan
Muslimin. Allah SWT telah membalas pengorbanan istri-istri Nabi saw
dalam bentuk mengangkat kedudukan mereka dan menjadikan mereka sebagai
ibu dari kaum mukmin. Allah SWT berfirman:
"Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi
orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah
ibu-ibu mereka." (QS. al-Ahzab: 6)
Dan, sebagai penegasan terhadap keibuan
spiritual ini, Islam mewajibkan hijab yang teliti kepada mereka, yaitu
suatu hijab yang tidak diberlakukan seperti itu kepada Muslimah-Muslimah
lain. Nabi saw melanjutkan dakwahnya. Beliau mengirim surat ke
raja-raja dan para penguasa di mana beliau ingin menunjukkan
universalitas ajaran Islam. Nabi saw mengajak Kaisar Romawi untuk
mengikuti Islam, lalu beliau mengirim utusan ke Amir Damaskus
mengajaknya untuk memeluk Islam, dan beliau mengutus utusan ke Amir
Basrah bagian dari wilayah Romawi dan mengajaknya untuk mengikuti Islam,
dan beliau juga mengirim surat ke penguasa Qibti dan mengajaknya untuk
masuk Islam, dan beliau juga menulis surat ke Kisra, Raja Persia dan
mengajaknya untuk mengikuti Islam. Beliau juga mengirim utusan ke Amir
Bahrain dan mengajaknya untuk mengikuti Islam.
Lalu berbagai reaksi disampaikan berkenaan
dengan surat-surat Nabi itu. Di antara mereka ada yang berusaha
menyampaikan kepada pembawa surat bahwa ia masuk Islam dan
mengembalikannya dengan hadiah, dan di antara mereka ada yang
merobek-robek surat itu dan di antara mereka ada yang membalas surat itu
dengan jawaban yang baik, dan di antara mereka ada yang menerima
kebenaran. Demikianlah hari berlalu dalam pergulatan yang tidak pernah
padam, suatu pergulatan yang dipimpin oleh Nabi sehingga beliau
menaklukkan Mekah dan menyucikan jazirah Arab. Akhirnya, manusia masuk
dalam agama Allah SWT dalam keadaan berbondong-bodong, dan Allah SWT
menyempurnakan agama bagi kaum Muslim dan Nabi saw melaksanakan haji
wada' (haji yang terakhir) dan turunlah kepada beliau wahyu di Arafah
sebagaimana firman-Nya:
"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itujadi agama bagimu. " (QS. al-Maidah: 3)
Ayat tersebut dibacakan kepada Abu Bakar
sehingga ia menangis. Allah SWT merasa bahwa telah tiba waktunya untuk
mengakhiri misi Rasul-Nya. Aisyah berkata kepada anak-anak yang
berteriak dan bermain-main di luar rumah: "Diamlah kalian karena
Rasulullah saw sedang sakit." Anak-anak itu pun terdiam dan mereka
merasakan ketakutan yang luar biasa. Pada hari-hari terakhir, Rasulullah
saw tidak lagi bercanda dengan mereka sebagaimana yang biasa beliau
lakukan.
Mereka memperhatikan bahwa kepucatan yang
aneh menyelimuti Nabi saw yang biasanya wajah beliau dipenuhi dengan
senyuman hingga wajahnya laksana lempengan emas. Nabi saw yang terakhir
masuk dalam rumahnya dan hampir saja beliau tidak kuat menahan langkah
kedua kakinya. Beliau memasuki rumahnya dan bersandar kepada tangan Fadl
bin Abbas dan Ali bin Abu Thalib. Beliau merasakan keletihan dan
kesakitan. Kemudian Aisyah menidurkan beliau di atas ranjangnya yang
kasar dan Aisyah meletakkan tangannya di atas kening beliau. Kepala
beliau tampak panas karena saking hebatnya demam. Aisyah berkata dalam
keadaan kedua matanya mengucurkan air mata, "demi ayah dan ibuku, ya
Rasulullah apakah engkau merasakan sakit?" Nabi saw tersenyum untuk
menenangkan Aisyah lalu beliau tertidur. Kemudian mengalirlah dalam
memori Nabi saw berbagai gambar hidup: Jibril turun kepada beliau dengan
membawa wahyu di gua Hira. Beliau telah melewati waktu yang diberkati
selama dua puluh tiga tahun, yang sekarang tampak seperti mimpi. Bahkan
empat puluh tahun yang mendahuluinya tampak seperti gambar yang hanya
dilukis sesaat.
Segala sesuatu menjadi mudah bagi Allah SWT
dan Rasulullah saw telah berhasil melalui berbagai penderitaan dengan
penuh kesabaran, bahkan beliau tidak pernah mengeluh sekali pun. Beliau
mengajarkan akidah kepada para pengikutnya dengan penuh kemantapan.
Akhirnya, Islam menjadi mulia dan benderanya semakin berkibar. Kemudian
beliau bangun karena melihat tangisan yang tersembunyi dari Aisyah.
Beliau membuka kedua matanya dan melihat wajah Aisyah sambil beliau
sendiri berusaha melawan rasa pusing, demam, dan sakit yang
dirasakannya. Beliau kembali tersenyum untuk menenangkan Aisyah dan
beliau kembali memejamkan matanya dan tidak sadarkan diri. Apa gerangan
yang menyebabkan Aisyah menangis? Tidakkah Allah SWT memahkotai jihad
Nabi saw yang berat dengan penaklukan Mekah dan penyucian Baitul Haram?
Berbagai gambar hidup dan aktual
melayang-layang dalam memori Nabi saw. Beliau mengingat bagaimana
tindakan orang Quraisy ketika membantalkan perjanjian Hudaibiyah dan
mereka memerangi Khaza'ah yang saat itu bersekutu dengan kaum Muslim dan
akhirnya mereka membunuh semua sekutu kaum Muslim di Baitul Haram.
Kemudian beliau berjalan bersama pasukan yang berjumlah sepuluh ribu di
mana semua pasukan telah siap, dan tentara Muslim turun dari gunung
Mekah laksana air bah yang tidak berhenti sedikit pun. Telah lewatlah
masa para pembawa tombak, panah, dan pedang; telah lewatiah masa di mana
Rasulullah saw memimpim pasukan yang di dalamnya terdapat kaum
Muhajirin dan Anshar. Di tengah-tengah pasukan besar tersebut yang
berhasil menaklukkan Mekah, Nabi saw menunggangi untanya dan beliau
menundukkan kepalanya dengan penuh rendah diri di hadapan Allah SWT
sampai-sampai kepalanya hampir menyentuh punggung unta yang dinaiki.
Pintu Mekah terbuka untuk pasukan ini.
Para pemimpin Mekah dan pengikut-pengikut
mereka menyerahkan diri. Kalimat Allah SWT semakin meninggi di dalamnya.
Nabi saw memasuki Baitul Haram lalu beliau berkeliling di sekitar
Ka'bah. Beliau menghancurkan berbagai patung yang berbaris di
sekitarnya, lalu beliau memukulnya dengan kampaknya. Kemudian
patung-patung itu berjatuhan dan hancur. Setelah beliau membersihkan
masjid dari berbagai patung dan mengembalikannya sebagaimana yang
diciptakan oleh Allah SWT sebagai rumah tauhid yang mutlak, beliau
menoleh kepada orang Quraisy dan memaafkan mereka dan mengajak mereka
untuk kembali ke jalan Allah SWT. Kemudian tibalah waktu salat, lalu
Bilal naik di atas punggung Ka'bah dan mengumandangkan Azan. Penduduk
Mekah mende-ngarkan panggilan baru ini di mana gemanya berputar-putar di
antara gunung:
"Allah Maha Besar. Aku bersaksi bahwa tiada
Tuhan selain Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah. Marilah
melaksanakan salat. Marilah menuju keberuntungan. Allah Maha Besar.
Tiada Tuhan selain Allah."
Akhirnya, rumah itu dikembalikan
kehormatannya dan kemuliannya. Kemudian lagi-lagi arus berbagai gambar
terlintas dalam memorinya: itulah peperangan Hunain dengan kekalahannya,
kemenangannya, dan ganimahnya; Itulah Nabi saw yang memberikan ganimah
terhadap orang-orang yang bergabung dengan Islam hanya dua hari dari
penduduk Mekah, dan mencegah untuk memberi ganimah Hunaian kepada kaum
Anshar yang telah memberikan segalanya untuk Islam. Salah seorang di
antara mereka berkata: "Demi Allah, Rasulullah saw telah menemui
kaumnya." Sa'ad bin 'Ubadah berjalan ke arah Rasulullah saw dan
memberitahunya bahwa kaum Anshar sedang marah. Rasul saw bertanya:
"Mengapa marah?" Sa'ad menjawab: "Mereka protes saat engkau membagikan
ganimah ini pada kaummu dan pada seluruh orang Arab namun mereka tidak
mendapatkan apa-apa." Rasulullah saw bertanya kepada Sa'ad bin Ubadah:
"Kamu sendiri bagaimana pendapatmu wahai Sa'ad?" Sa'ad berkata: "Aku
tidak lain kecuali seseorang dari kaumku." Rasulullah saw berkata:
"Kumpulkanlah kepadaku kaummu untuk masalah yang penting ini dan jika
kalian telah berkumpul, maka beritahulah aku."
Sa'ad mengumpulkan seluruh kaum Anshar lalu
ia memberitahu Rasul saw bahwa ia telah mengumpulkan mereka. Rasulullah
saw keluar menemui mereka dan berdiri di hadapan mereka sambil memuji
Allah SWT dan kemudian berkata: "Wahai orang-orang Anshar, tidakkah aku
datang kepada kalian saat kalian dalam keadaan sesat lalu Allah SWT
memberikan petunjuk kepada kalian, dan kalian menjadi orang-orang yang
fakir lalu Allah SWT memampukan kalian, dan kalian dalam keadaan
bermusuhan lalu Allah SWT menyatukan hati kalian?" Mereka menjawab:
"Benar." Rasulullah saw berkata: "Mengapa kalian tidak menjawab wahai
kaum Anshar?" Mereka berkata: "Apa yang kita akan katakan wahai
Rasulullah dan dengan apa kita akan menjawabnya. Sungguh segala karunia
hanya milik Allah SWT dan Rasul-Nya."
Rasulullah saw berkata: "Demi Allah,
seandainya kalian mau niscaya kalian akan mengatakan dan benar apa yang
kalian katakan: Engkau datang kepada kami sebagai seorang yang terusir,
maka kami melingdungimu dan engkau datang dalam keadaan miskin lalu kami
menghiburmu dan engkau datang dalam keadaaan ketakutan lalu kami
mengamankanmu dan engkau datang dalam keadaan teraniaya lalu kami
menolongmu." Mereka berkata: "Segala puji dan karunia bagi Allah SWT dan
Rasul-Nya." Rasulullah saw berkata: "Wahai kaum Anshar, apakah kalian
akan marah terhadap harta yang telah aku berikan kepada suatu kaum
dengan harapan agar keimanan meresap dalam hati mereka dan kalian justru
melupakan karunia yang telah Allah SWT berikan kepada kalian dalam
bentuk nikmat Islam. Tidakkah kalian wahai kaum Anshar merasa puas
ketika manusia pergi untuk melakukan perjalanan di musim dingin
sedangkan kalian pergi dengan Rasulullah saw. Maka demi Zat yang jiwaku
di tangan-Nya, seandainya manusia melalui suatu jalan dan kaum Anshar
melalui jalan yang lain niscaya aku akan melalui jalan kaum Anshar. Ya
Allah, rahmatilah kaum Anshar dan anak-anak kaum Anshar dan cucu kaum
Anshar."
Mendengar doa itu, kaum tersebut menanggis
sehingga jenggot mereka terbasahi dengan air mata dan mereka berkata:
"Kami rela dengan Allah SWT sebagai Tuhan dan sangat puas dengan
pembagian Rasulullah saw." Kemudian Nabi saw pun meninggalkan mereka dan
mereka pergi dalam keadaan puas. Orang-orang Anshar memahami bahwa
Muslim yang hakiki di dunia adalah seorang yang datang di dunia untuk
memberi, bukan untuk mengambil. Nabi saw terbangun dan beliau mendapati
dirinya sendirian di kamar. Suhu tubuh beliau meningkat karena demam,
lalu beliau memanggil Aisyah dan meminta kepadanya untuk membawa air
yang dapat digunakannya untuk mendinginkan tubuhnya. Aisyah mulai
menuangkan air kepada Rasulullah saw sampai demam beliau
berangsur-angsur sedikit menurun. Tampak bahwa waktu berlalu cukup
lambat dan berat. Sakit Rasulullah saw semakin meningkat.
Beliau mulai merasa bahwa tidak mampu lagi
untuk salat bersama para sahabat, lalu beliau memerintahkan Abu Bakar
untuk salat bersama mereka. Pada saat Nabi mengalami antara keadaan
terjaga dan tidur, beliau selalu berpikir apa gerangan yang belum
disampaikannya kepada manusia. Beliau telah menyampaikan segala sesuatu
dan telah mengajari mereka segala sesuatu serta telah meninggalkan
sebuah Kitab yang siapa pun berpegangan dengannya ia tidak akan sesat.
Rasul saw mulai mengantuk dan berbagai
nostalgia terlintas di kepalanya. Beliau melihat dirinya di haji Wada'.
Selesailah perjanjian yang diberikan kepada kaum musyrik dan mereka
telah dilarang untuk memasuki Masjidil Haram dan sekarang Nabi saw
keluar sebagai pemimpin haji dan mengajari kaum Muslim cara manasiknya.
Rasulullah saw memperhatikan ribuan orang-orang yang bertauhid saat
mereka menuju Baitul Haram dalam keadaan memenuhi panggilan Tuhan dan
tunduk kepadanya. Mereka menghidupkan memori kakek mereka, Ibrahim
Khalilullah. Nabi saw berdiri dan berpidato di tengah-tengah keramaian
itu. Nabi saw mulai merasakan bahwa kehidupannya di dunia sebentar lagi
akan berakhir. Beliau mengetahui bahwa kafilah ini akan pergi sendirian
dalam menjalani kehidupan. Beliau kembali menanamkan nilai-nilai Islam
dan wasiat dakwah di jalan Allah SWT. Setelah berjuang selama dua puluh
tiga tahun menegakkan agama Allah SWT, beliau bertanya kepada mereka:
"Apakah aku telah menyampaikan amanat Tuhan?" Lalu manusia yang hadir
saat itu menyatakan bahwa beliau benar-benar telah menyampaikan dakwah.
Beliau memanggil Mu'ad bin Jabal dan mengajarinya bagaimana berdakwah
kepada manusia di jalan Allah SWT dan bagaimana mengenalkan agama kepada
mereka.
Kemudian beliau berwasiat kepadaa Mu'ad
saat ia menunggangi kendaraannya sedangkan Rasulullah saw beijalan di
sebelah untanya: "Sesungguhnya orang yang paling utama di sisiku adalah
orang-orang yang bertakwa, siapa pun mereka dan di mana pun mereka."
Nabi saw adalah rahmat bagi semua manusia dan sebagal cermin yang
tertinggi dari cermin persaudaraan dan kepatuhan. Beliau menegakkan
Al-Qur'an di tengah-tengah umat Islam namun beliau menolak segala bentuk
penampilan yang biasa melekat pada seorang penguasa atau raja atau
pemimpin apa pun. Beliau berkata kepada para sahabatnya: "Aku hanya
seorang hamba Allah SWT dan Rasul-Nya."
Beliau keluar menemui sekelompok sahabatnya
lalu sebagai bentuk penghormatan kepada beliau mereka berdiri. Kemudian
beliau memerintahkan kepada mereka agar tidak berdiri. Ketika beliau
keluar untuk menemui sahabat-sahabatnya dan murid-muridnya, maka beliau
duduk bersama mereka di tempat terakhir yang ditemukannya. Beliau sangat
bersahabat dan ramah dengan para sahabatnya, bahkan beliau bercanda
dengan anak-anak mereka dan mendudukkan mereka di ruangannya. Beliau
memenuhi panggilan orang dewasa maupun anak-anak. Beliau membesuk
orang-orang yang sakit meskipun berada di tempat yang jauh. Beliau
menerima alasan orang yang mempunyai uzur. Beliau mendahului orang yang
ditemuinya dengan salam bahkan beliau mendahului berjabat tangan dengan
para sahabatnya.
Ketika seseorang datang untuk menemuinya
saat beliau salat, maka beliau mempersingkat salatnya dan menanyakan
keperluan orang itu. Setelah menyelesaikan keperluan manusia, beliau
kembali menyelesaikan shalatnya. Beliau selalu menebar senyum kepada
kawan dan lawan dan memiliki kepribadian yang paling baik. Ketika beliau
berada di rumahnya, beliau melayani keluarganya. Beliau mencuci
bajunya. Beliau memperbaiki sandalnya dan memberi minum unta. Beliau
makan bersama pembantu. Beliau memenuhi kebutuhan orang yang lemah,
orang yang sedih, dan orang yang miskin. Bahkan kebaikan beliau dan
kasih sayangnya sampai pada tingkat di mana beliau membiarkan cucunya
menaiki punggungnya saat beliau sedang shalat.
Kasih sayang beliau tidak hanya terbatas
kepada manusia bahkan juga tertuju pada binatang dan pohon. Beliau
memberi makan binatang dengan tangannya sendiri bahkan beliau pernah
merawat anjing yang sakit. Beliau memerintahkan pasukan Islam saat
berperang demi menegakkan keadilan Islam agar mereka tidak membunuh anak
kecil, orang tua, kaum wanita dan hendaklah mereka tidak mencabut pohon
dan tidak pula merobohkan rumah.
Apa yang dibawa oleh Nabi saw bukan hanya
suatu undang-undang yang mengatur hubungan antara manusia dan manusia
yang lain, dan apa yang dibawa oleh Nabi saw bukan hanya berisi suatu
sistem untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan kemajuannya, ini semua
adalah hal relatif namun beliau datang dengan membawa peradaban yang
abadi yang mengatur hubungan antara manusia dan alam, dan mengembalikan
keserasian di alam wujud sehingga semua berjalan secara seimbang dan
mencapai kesempurnaan menuju Allah SWT. Meskipun pada titik terakhir
dari kehidupannya, beliau masih sibuk mengurusi masa depan dakwah dan
beliau sangat cemas terhadap masa depan agama dan sangat peduli dengan
problema kaum Muslim. Beliau khawatir suatu saat Islam hanya tinggal
namanya namun hakikatnya telah lenyap. Namun sebelum beliau meninggal,
Allah SWT telah memperlihatkan kepada beliau sesuatu yang membuat hati
beliau menjadi tenang. Dan di hari Senin dari bulan Rabiul Awal yang
mulia, beliau kembali kepada Tuhannya dalam keadaan ridha dan diridhai.
Salam kepadamu ya Rasulullah dan kepada
keluarga serta sahabat yang setia bersamamu.